
Ikhlas, Rupiah Jadi Mata Uang Terlemah Kedua Hari ini
Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
29 April 2019 17:12

Jakarta, CNBC Indonesia - Mata uang Merah Putih, Rupiah, hari ini harus menutup perdagangan pasar valas dengan depresiasi sebesar 15 poin atau 0,11% terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Pada penutupan perdagangan pasar spot hari Senin, 1 dolar AS dapat ditukarkan menjadi Rp 14.195.
Bahkan kali ini rupiah menjadi mata uang yang mengalami pelemahan paling dalam kedua di antara mata uang utama Asia lainnya. Masih untung ada yen Jepang yang mengalami koreksi hingga 0,12%. Akan tetapi memang pada hari ini sebagian besar mata uang Asia juga melemah.
Hanya dolar Taiwan, rupee India, dolar Singapura, dan baht Thailand yang mampu membuat dolar bertekuk lutut.
(taa/hps) Next Article Keren! Penguatan Rupiah Nomor Wahid di Dunia
Pada penutupan perdagangan pasar spot hari Senin, 1 dolar AS dapat ditukarkan menjadi Rp 14.195.
Bahkan kali ini rupiah menjadi mata uang yang mengalami pelemahan paling dalam kedua di antara mata uang utama Asia lainnya. Masih untung ada yen Jepang yang mengalami koreksi hingga 0,12%. Akan tetapi memang pada hari ini sebagian besar mata uang Asia juga melemah.
Mau bagaimana juga, greenback masih cukup perkasa pada hari ini. Nilai Dollar Index (DXY) yang mencerminkan posisi dolar terhadap enam mata uang utama dunia masih sebesar 97,97 hingga pukul 16:00 WIB. Itu merupakan posisi tertinggi sejak Mei 2017 atau hampir dua tahun lalu.
Kekuatan dolar tidak terlepas dari sejumlah rilis data ekonomi AS yang bisa dikatakan cemerlang.
Teranyar, pada akhir pekan lalu (26/4/2019) AS mengumumkan pertumbuhan ekonomi kuartal I-2019 yang mencapai 3,2% (QoQ annualized), jauh melampaui prediksi konsensus pasar yang sebesar 2,2%, seperti yang dilansir dari Reuters.
Bahkan capaian tersebut juga lebih tinggi dibanding prediksi Bank Sentral AS, The Fed yang berada di posisi 2,2%.
Data tersebut juga melengkapi sederet capaian ekonomi AS yang diungkapkan sebelumnya.
Pada hari Kamis (25/4/2019), data pemesanan barang tahan lama di pabrik-pabrik AS periode Maret meningkat hingga 2,7% dibanding bulan sebelumnya. Peningkatan tersebut jauh lebih tinggi dibanding prediksi pasar yang sebesar 0,8% MoM, mengutip Trading Economics. Padahal pada bulan sebelumnya pesanan barang tahan lama mengalami kontraksi hingga 1,1% MoM.
Dua hari sebelumnya (23/4/2019), data penjualan rumah baru pada bulan Maret secara mengejutkan dibacakan tumbuh sebesar 4,5% pada saat konsensus yang dihimpun Reuters memperkirakan adanya penurunan sebesar 2,5% MoM.
Industri perumahan merupakan salah satu indikator penting dalam perekonomian secara keseluruhan. Pasalnya industri tersebut melibatkan rantai pasokan industri lain di sekitarnya yang cukup kompleks.
Pekan sebelumnya, pada hari Kamis (18/4/2019) data penjualan ritel AS bulan Maret juga diumumkan tumbuh sebesar 1,6%. Membaik dibanding bulan sebelumnya dimana terjadi kontraksi sebesar 0,2%. Penjualan ritel juga tumbuh lebih besar ketimbang prediksi konsensus yang hany 0,9% MoM, mengutip Trading Economics.
Dengan data-data ekonomi yang demikian berkilau, makin sulit bagi pelaku pasar untuk membayangkan The Fed menurunkan suku bunga acuan (Fed Funds Rate/FFR) di tahun ini.
Dengan suku bunga yang ditahan, artinya dolar masih akan memiliki energi yang cukup untuk menahan tekanan mata uang lain. Bahkan untuk memberi tekanan balik.
Pasalnya data-data ekonomi Benua Kuning kurang mantap. Jepang sebagai negara ekonomi terbesar ke-3 di dunia mengumumkan output industrial bulan Maret yang terkontraksi hingga 4,6% YoY. Tentu saja saat pasar agak kecewa, karena sempat memprediksi penurunan output industrial hanya sebesar 0,6%, mengutip Trading Economics.
Tetangganya, Korea Selatan pun punya nasib yang serupa. Pembacaan awal pertumbuhan ekonomi kuartal I-2019 Negeri K-Pop hanya sebesar 1,8% YoY. Lebih kecil ketimbang prediksi konsensus yang sebesar 2,5%.
Alhasil investor cenderung enggan untuk masuk ke pasar-pasar keuangan negara berkembang, termasuk Indonesia. Membuat rupiah seakan tak mendapat asupan energi yang cukup.
Terbukti dari kondisi bursa saham Indonesia hari ini dimana investor asing membukukan jual bersih senilai Rp 336,7 miliar di pasar reguler.
Selain itu investor tampaknya masih ingin main aman dan melihat perkembangan damai dagang AS-China lebih lanjut.
Kepala Perwakilan Dagang AS, Robert Lighthizer dan Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin akan terbang menuju Beijing untuk melanjutkan perundingan dagang dengan negosiator China Selasa (30/4/2019) besok.
Topik pembicaraan yang diungkapkan Gedung Putih juga masih sama, yaitu seputar perlindungan terhadap hak dan kekayaan intelektual yang selama ini didesak oleh AS.
"Materi pembicaraan pekan depan akan mencakup isu-isu perdagangan termasuk hak kekayaan intelektual, alih teknologi paksa, halangan non-tarif, pertanian, jasa, pembelian, dan penegakan hukum," menurut pernyataan tertulis yang dirilis Gedung Putih.
Sudah lama diketahui bahwa AS memang bersikukuh menginginkan China untuk mengubah praktik dagang yang dinilai tidak adil. Salah satunya adalah kewajiban perusahaan AS untuk mengalihkan teknologi dan rahasia dagang kepada perusahaan lokal agar dapat berbisnis di China.
Pembahasan yang masih itu-itu saja menandakan bahwa hal tersebut cukup alot untuk diselesaikan.
Bahkan tak berhenti sampai di situ. Gedung Putih juga sudah menuliskan agenda dialog dagang pada 8 Mei 2019 mendatang, yaitu kedatangan Wakil Perdana Menteri China, Liu He ke Washington.
Semakin lama damai dagang tak disegel, maka risiko juga masih ada. Siapa yang tahu ada kejadian tak terduga di sepanjang penantian damai dagang yang hakiki.
TIM RISET CNBC INDONESIA
TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/hps) Next Article Keren! Penguatan Rupiah Nomor Wahid di Dunia
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular