Newsletter

Ekonomi AS Berjaya, Asia Perlu Waspada

Hidayat Setiaji & Anthony Kevin & M Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
29 April 2019 04:56
Ekonomi AS Berjaya, Asia Perlu Waspada
Ilustrasi Dolar AS dan Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pekan kemarin menjadi periode yang kelam bagi pasar keuangan Indonesia. Dalam sepekan, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok 1,63%, rupiah melemah 0,99% melawan dolar Amerika Serikat (AS), dan imbal hasil (yield) obligasi seri acuan tenor 10 tahun naik 19,6 basis poin (bps).  

Kinerja pasar keuangan Indonesia senada dengan negara-negara Asia lainnya yang juga melemah. Sepertinya investor memang sedang menghindari instrumen-instrumen berisiko di negara berkembang. 

Perdagangan pekan lalu dimulai lambat. Maklum, pelaku pasar masih agak jetlag setelah libur panjang karena memperingati Jumat Agung. 

Pasar keuangan Asia, termasuk Indonesia, mengalami koreksi pada awal-awal pekan karena sebelumnya sudah menguat cukup tajam. Sebagai catatan, IHSG sepekan sebelumnya melonjak sampai 1,58%. Di tengah suasana jetlag dan belum ada sentimen besar yang mempengaruhi pasar, investor pun memilih melakukan ambil untung (profit taking).  

Pekan pun berjalan, dan sentimen penggerak pasar masih belum ada yang 'nendang'. Malah yang ada adalah rilis data di berbagai negara yang agak mengkhawatirkan. 

Misalnya di Eropa. Produksi industrial di negara-negara Zona Euro pada Februari turun 0,3% secara year-on-year (YoY). Dengan demikian, produksi industrial Benua Biru sudah terkontraksi alias negatif selama empat bulan beruntun. 

Kemudian di Jepang, bank sentral Negeri Matahari Terbit (BoJ) kembali mempertahankan suku bunga acuan di angka -0,1%. Gubernur Haruhiko Kuroda dan kolega menyatakan kebijakan moneter ultra longgar ini kemungkinan akan bertahan cukup lama yaitu setidaknya hingga tahun depan.  

Sebab, sepertinya butuh waktu lebih lama untuk mencapai target inflasi yang disasar BoJ yaitu 2%. Untuk tahun fiskal 2019, BoJ menurunkan proyeksi inflasi dari 1,6% menjadi 1,1%. 

Perkembangan ini menunjukkan perekonomian Negeri Sakura masih terjebak dalam stagnasi. Inflasi yang rendah (bahkan kerap kali terjadi deflasi) menandakan dunia usaha enggan menaikkan harga karena permintaan yang begitu-begitu saja. 


Sementara di negara-negara lain situasinya bikin deg-degan, di Amerika Serikat (AS) justru sebaliknya. Penjualan rumah baru di Negeri Paman pada Maret naik 4,5% dibandingkan bulan sebelumnya menjadi 692.000 unit. Ini menjadi angka penjualan tertinggi sejak November 2017. 

Pada Maret, penjualan ritel di Negeri Paman Sam naik 1,6% secara bulanan, tertinggi sejak September 2017. Jauh membaik ketimbang bulan sebelumnya yang tumbuh 0,2%.  

Lalu pada Maret, pemesanan barang-barang tahan lama (durable goodsmade in the USA naik 2,7% dibandingkan bulan sebelumnya. Ini menjadi kenaikan paling tajam sejak Agustus 2018.

Kemudian pemesanan barang modal inti (non-pertahanan dan pesawat) naik 1,3% month-on-month (MoM) menjadi US$ 70 miliar, tertinggi sepanjang sejarah. Pertumbuhannya juga menjadi yang terbaik sejak Juli 2018. 
 

Data ekonomi AS yang membaik menjadi sinyal bahwa perekonomian Negeri Adidaya masih bergeliat. Walau ada perlambatan, tetapi konsumsi masih kuat sehingga kemungkinan besar tidak akan terjadi hard landing. Risiko resesi pun sudah semakin jauh. 

Akibatnya, arus modal berpihak ke AS. Sepanjang pekan lalu, indeks S&P 500 melonjak 1,2%. Sementara Dollar Index (yang mencerminkan posisi dolar AS secara relatif terhadap enam mata uang utama dunia) naik 0,55%. Kemudian yield obligasi pemerintah AS turun 5,4 bps dan menyentuh titik terendah sejak 10 April. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Pada perdagangan akhir pekan lalu, tiga indeks utama di Wall Street ditutup di zona hijau. DJIA naik 0,31%, S&P 500 menguat 0,47%, dan Nasdaq Composite bertambah 0,34%. 

Pelaku pasar di bursa saham New York semringah karena pertumbuhan ekonomi AS yang jauh di atas ekspektasi. Pada kuartal I-2019, angka pembacaan awal pertumbuhan ekonomi Negeri Paman Sam mencapai 3,2% secara kuartalan yang disetahunkan (quarterly annualized). 

Angka tersebut jauh melampaui kurtal sebelumnya yaitu 2,2%. Tidak hanya itu, juga cukup jauh di atas proyeksi The Federal Reserve/The Fed yang sebesar 2,4%. Sementara konsensus pasar yang dihimpun Reuters memperkirakan di angka 2%. 

"Angka pertumbuhan ekonomi ini seakan mengejek pernyataan bahwa akan ada perlambatan karena dampak stimulus fiskal yang mereda," ujar Paul Ashworth, Chief US Economist di Capital Economics yang berbasis di Toronto (Kanada), dikutip dari Reuters. 

"Baru saja keluar: PDB (Produk Domestik Bruto) kuartal-I tumbuh 3,2%. Ini jauh di atas ekspektasi atau proyeksi. Hal yang juga penting, inflasi SANGAT RENDAH. MAKE AMERICA GREAT AGAIN!" cuit Presiden AS Donald Trump. 


Faktor lain yang menambah optimisme di Wall Street adalah laporan keuangan emiten yang ciamik. Pada kuartal I-2019, laba bersih Amazon tercatat US$ 3,6 miliar atau jauh di atas konsensus pasar yang Reuters yaitu US$ 2,4 miliar. Akibatnya, harga saham perusahaan bersutan Jeff Bezos ini melesat 2,54%. 

Kemudian saham produsen mobil, Ford, meroket 10,92%. Pada kuartal I-2019, Ford membukukan laba per saham (Earnings Per Share/EPS) sebesar US$ 29 sen. Lebih tinggi ketimbang konsensus pasar yang dihimpun Reuters yaitu US$ 27 sen. 

Tidak lupa ikut mendongrak kinerja Wall Street adalah Wal Disney, yang harga sahamnya melejit 1,94%. Penyebabnya adalah sambutan yang sangat positif terhadap film superhero terbaru mereka, Avengers: Endgame. 

Mengutip Reuters, Disney melaporkan total penjualan tiket film ini selama dua hari pemutaran awal mencapai US$ 305 miliar. Sementara di AS dan Kanada, Iron Man dan kolega berhasil mendatangkan US$ 60 juta saat pemutaran perdana. 


Perdagangan akhir pekan yang positif berhasil membuat S&P 500 melesat 1,2% secara mingguan. Sementara Nasdaq terdongkrak 1,86%, tetapi DJIA turun tipis 0,06%. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu perkembangan dari Wall Street yang cenderung positif. Ini bisa menjadi bekal yang baik untuk memulai pekan yang baru. S

entimen kedua, pelaku pasar perlu mencermati dampak dari kuatnya data ekonomi AS. Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, pertumbuhan ekonomi AS pada kuartal I-2019 mencapai 3,2%. 


Data ekonomi yang kinclong tersebut membuat kemungkinan penurunan suku bunga acuan menjadi mengecil. Saat ekonomi tumbuh, The Fed tentu melihat 'monster' inflasi masih mengintai sehingga penurunan suku bunga acuan belum menjadi pertimbangan. 

Mengutip CME Fedwatch, probabilitas Jerome 'Jay' Powell dan sejawat menurunkan Federal Funds Rate 25% pada akhir 2019 adalah 40,8%. Turun dari posisi bulan yang lalu yaitu 41,1%.  

Oleh karena itu, sepertinya dolar AS akan kembali digdaya hari ini. Sesuatu yang bisa memperpanjang derita rupiah dkk di Asia. 

Sentimen ketiga adalah antisipasi investor terhadap dialog dagang AS-China di Beijing esok hari. Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin dan Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer akan bertandang ke China untuk melanjutkan proses negosiasi dagang. 


Pelaku pasar tentu berharap pertemuan ini semakin dekat membawa AS-China menuju damai dagang. Sesuatu yang sudah sangat diidamkan semua orang sejak tanda-tanda ke arah sana terlihat pada akhir tahun lalu. 

Respons investor terhadap isu ini bisa dua bentuk. Pertama adalah pelaku pasar semringah, berbunga-bunga, sehingga berani memborong aset-aset berisiko di negara berkembang, termasuk Indonesia. Kalau ini yang terjadi, maka IHSG, rupiah, dan Surat Berharga Negara (SBN) akan kebagian durian runtuh sehingga berpotensi menguat. 

Kedua, ada kemungkinan investor malah wait ad see. Sambil menunggu kabar terbaru dari Beijing, pelaku pasar enggan terlalu agresif karena belum tahu bagaimana perkembangan di sana. Bisa saja pembicaraan buntu karena kedua pihak tidak menemukan solusi kan

Kalau Washington dan Beijing hanya sekadar bertemu atau berdialog, pelaku pasar juga tampaknya sudah bosan. Sudah sering, sudah berkali-kali.

Kini yang ditunggu pasar adalah 'gong' dari dialog ini, kapan Trump dan Presiden China Xi Jinping akan bertemu untuk meneken perjanjian damai dagang. Jika 'hilal' ini belum kelihatan juga, maka bisa jadi investor memilih untuk menonton di pinggir lapangan saja, enggan berlaku agresif.

Jika ini kejadian, maka IHSG cs berpotensi melanjutkan koreksi. Tentu sesuatu yang sangat tidak kita harapkan. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 4)


Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
  • Rilis data pengeluaran konsumsi pribadi AS periode Maret (19:30 WIB).
  • Rilis Indeks Keyakinan Konsumen Zona Euro periode April (16:00 WIB).
 Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (2018 YoY)5,17%
Inflasi (Maret 2019 YoY)2,48%
BI 7 Day Reverse Repo Rate (April 2019)6%
Defisit anggaran (APBN 2019)-1,84% PDB
Transaksi berjalan (2018)-2,98% PDB
Neraca pembayaran (2018)-US$ 7,13 miliar
Cadangan devisa (Maret 2019)US$ 124,54 miliar
 
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular