Newsletter

Nantikan Pengumuman Bunga Acuan, ke Mana Arah Pasar Hari Ini?

Hidayat Setiaji & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
25 April 2019 05:39
Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu dinamika di Wall Street yang kurang imperesif. Merahnya Wall Street dikhawatirkan menjadi start yang buruk bagi pasar keuangan Asia. 

Sentimen kedua, rupiah perlu hati-hati karena dolar AS masih saja perkasa. Pada pukul 05:00 WIB, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama) menguat 0,44%. Dalam sebulan terakhir, indeks ini terdongrak 1,02%. 

Sumber kekuatan dolar AS adalah perkembangan di Eropa yang kian suram. Angka pembacaan awal indeks iklim bisnis Jerman untuk periode April adalah 99,2. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 99,7. 

"Optimisme pada Maret sudah menguap. Ekonomi Jerman masih kehilangan kekuatan" kata Presiden Ifo Economic Institute, dikutip dari Reuters. 

Jerman adalah perekonomian terbesar di Eropa. Jika Jerman lesu, maka seluruh Benua Biru bisa ikut lesu. Akibatnya mata uang euro dihantam aksi jual, dan aliran modal memihak kepada dolar AS. 

Apabila tren penguatan dolar AS terus bertahan, maka rupiah masih akan dalam posisi yang sulit. Menguat sepertinya akan menjadi sebuah mission impossible

Namun, rupiah bisa diuntungkan dengan sentimen ketiga yaitu koreksi harga minyak. Pada pukul 05:07 WIB, harga minyak jenis brent turun 0,04% sementara light sweet turun lumayan dalam yaitu 0,83%. 

Penurunan harga si emas hitam disebabkan oleh kenaikan inventori AS. US Energy Information Administration melaporkan inventori minyak AS pekan lalu naik sampai 5,5 juta barel. Jauh di atas konsensus pasar yang dihimpun Reuters yang memperkirakan kenaiikan 1,3 juta barel. Akibatnya, terjadi persepsi kelebihan pasokan sehingga harga bergerak turun.  

Bagi rupiah, penurunan harga minyak adalah berkah. Sebab, Indonesia mau tidak mau harus mengimpor minyak untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri karena produksi yang tidak kunjung mencukupi. 

Kalau harga minyak turun, berarti biaya importasi komoditas ini akan lebih murah. Tekanan di transaksi berjalan (current account) akan berkurang dan rupiah punya ruang untuk menguat. 

Sentimen keempat, kali ini dari dalam negeri, adalah pengumuman suku bunga acuan oleh Bank Indonesia. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan Gubernur Perry Warjiyo dan sejawat masih mempertahankan BI 7 Day Reverse Repo Rate sebesar 6%. 

Sepertinya pertimbangan utama BI menahan suku bunga acuan adalah perkembangan transaksi berjalan. Kalau hanya melihat inflasi, bisa saja BI sudah menurunkan 7 Day Reverse Repo Rate. Risiko inflasi sudah begitu kecil, tidak ada isu. 

Namun transaksi berjalan masih menjadi salah satu risiko besar di perekonomian Indonesia dan pengaruhnya bisa menjalar ke mana-mana, termasuk nilai tukar rupiah. 

Pada Maret, Indonesia memang mencatat surplus neraca perdagangan US$ 540 juta. Namun perlu dicatat bahwa ekspor anjlok dengan penurunan 10,01% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. 

Hawa perlambatan ekonomi global sudah begitu terasa mempengaruhi kinerja ekspor Indonesia. Data-data ekonomi di sejumlah negara mitra dagang utama Indonesia memberikan alarm yang mencemaskan. 

Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan ekonomi China pada 2019 tumbuh 6,3%. Cukup jauh melambat dibandingkan 2018 yaitu 6,6%, itu saja sudah menjadi laju terlemah sejak 1990. 

Sementara ekonomi AS tahun ini diperkirakan tumbuh 2,3%, turun lumayan drastis ketimbang 2018 yang sebesar 2,9%. Kemudian pertumbuhan ekonomi di negara-negara ASEAN-5 pada 2019 diramal 5,1%, melambat dibandingkan 2018 yaitu 5,2%. 

Transaksi berjalan adalah neraca yang mencerminkan pasokan valas dari sisi perdagangan, ekspor-impor barang dan jasa. Ketika ekspor terancam karena penurunan permintaan akibat perlambatan ekonomi, maka defisit transaksi berjalan berpotensi melebar sehingga rupiah bisa kekurangan modal untuk menguat. 

Kalau urusannya sudah menyangkut rupiah, maka BI tentu tidak bisa tinggal diam. Transaksi berjalan yang sejatinya adalah fenomena sektor riil berubah menjadi fenomena moneter yang membutuhkan campur tangan bank sentral. 

(BERLANJUT KE HALAMAN 4)

(aji/aji)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular