
Waduh! IMF Gloomy, AS-Eropa di Ambang Perang Dagang...

Kemarin, IHSG finis dengan penguatan 0,91%. Indeks saham utama Asia lainnya juga naik, tetapi tidak ada yang setajam IHSG.
Sementara rupiah menutup perdagangan pasar spot dengan penguatan 0,21%. Bersama yen Jepang, rupiah menjadi mata uang terbaik di Benua Kuning.
Situasi kemarin memang kondusif bagi pasar keuangan Asia. Investor berbondong-bondong datang karena sedang tidak tertarik dengan dolar AS.
Dolar AS mulai tertahan akibat rilis data yang kurang oke. Pemesanan produk manufaktur made in the USA pada Februari turun 0,5% secara month-on-month (MoM).
Penyebab utamanya adalah penurunan permintaan pesawat terbang (-31,1% MoM) setelah apa yang dialami Boeing. Perusahaan dengan kode emiten BA tersebut memutuskan untuk mengurangi produksi pesawat jenis 737 MAX dari 52 unit/bulan menjadi 42 unit/bulan, akibat tragedi jatuhnya pesawat milik Ethiopian Airlines (dan sebelumnya Lion Air).
Dengan data kurang oke ini, peluang kenaikan suku bunga acuan menjadi pupus lagi. Justru yang ada The Federal Reserve/The Fed akan semakin sadar bahwa perekonomian AS masih butuh dorongan, dan itu tidak bisa dilakukan dengan menaikkan suku bunga acuan.
Peluang kenaikan Federal Funds Rate yang semakin kecil membuat dolar AS mundur teratur. Tanpa dukungan kenaikan suku bunga acuan, berinvestasi di mata uang Negeri Adidaya menjadi kurang menarik.
Investor juga menantikan rilis notulensi rapat (minutes of meeting) komite pengambil kebijakan The Fed (Federal Open Market Committee/FOMC) edisi Maret pada Kamis dini hari waktu Indonesia. Dalam rapat tersebut, Jerome 'Jay' Powell dan rekan memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan di 2,25-2,5% atau media 2,375%. The Fed juga mengubah proyeksi posisi suku bunga pada akhir 2019 dari 2,875% menjadi 2,375% alias kemungkinan tidak berubah dari saat ini.
Namun pelaku pasar ingin membaca seperti apa 'suasana kebatinan' dalam rapat itu. Bagaimana perdebatan di dalamnya? Apakah aura kalem (dovish) benar-benar kental di dalam rapat?
Sembari menantikan rilis notulensi ini, pelaku pasar memilih melepas dolar AS. Apalagi kalau nanti notulensi rapat benar-benar memperlihat bahwa The Fed sangat dovish. Dolar AS akan semakin tertekan.
Sedangkan dari dalam negeri, investor memberi apresiasi karena data penjualan ritel yang memuaskan. Pada Februari, penjualan ritel domestik tumbuh 9,1% year-on-year (YoY). Lebih baik ketimbang Januari yang membukukan pertumbuhan 7,2% YoY.
Bank Indonesia memperkirakan penjualan ritel pada kuartal I-2019 tumbuh 8,1% YoY. Juga lebih baik dibandingkan kuartal sebelumnya yang tumbuh 4,7% YoY.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Dari Wall Street, tiga indeks utama berakhir dengan koreksi. Dow Jones Industrial Average (DJIA) turun 0,72%, S&P 500 minus 0,61%, dan Nasdaq Composite berkurang 0,56%.
Ada dua faktor yang menyebabkan bursa saham New York gloomy. Pertama adalah rilis terbaru Dana Moneter Internasional (IMF) yang memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global.
Untuk 2019, Christine Lagarde dan kolega memperkirakan ekonomi dunia tumbuh 3,3%, laju terlemah sejak 2016. Melambat dibandingkan proyeksi sebelumnya yaitu 3,5%. Sementara untuk 2020, proyeksi pertumbuhan ekonomi global masih di 3,6%.
Sedangkan pertumbuhan ekonomi AS tahun ini diperkirakan 2,3%, melambat dibandingkan pencapaian 2018 yang sebesar 2,9%. Angka 2,3% berarti proyeksi pertumbuhan ekonomi AS turun dari pembacaan sebelumnya yaitu 2,5%. Dampak stimulus pemotongan tarif Pajak Penghasilan (PPh) yang sudah mereda menjadi penyebab perlambatan ekonomi Negeri Paman Sam.
"Dengan rilis dari IMF Ini, ada indikasi bahwa situasi akan melambat dalam beberapa bulan ke depan. Ini menjadi alasan investor untuk mengambil uangnya," kata Peter Tuz, Presiden Chase Investment Counsel yang berbasis di Virginia, mengutip Reuters.
Hawa perlambatan ekonomi di AS kian terasa dengan dirilisnya data ekonomi terbaru. Pembukaan lapangan kerja (job openings) di Negeri Adidaya pada Februari turun menjadi 7,09 juta dari bulan sebelumnya yang sebanyak 7,62 juta. Angka Februari menjadi yang terendah dalam 11 bulan.
Faktor kedua adalah risiko perang dagang AS-Uni Eropa. Presiden AS Donald Trump mengancam bakal mengenakan bea masuk kepada importasi produk-produk Benua Biru senilai US$ 11 miliar. Trump murka karena Uni Eropa dituding memberikan subsidi yang besar kepada Airbus, yang dinilainya sebagai praktik persaingan tidak sehat.
"Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) menemukan bahwa Uni Eropa memberikan subsidi kepada Airbus yang kemudian mempengaruhi AS. Kami akan menerapkan bea masuk kepada (impor) produk Uni Eropa senilai US$ 11 miliar. Uni Eropa sudah mengambil keuntungan dari perdagangan dengan AS selama bertahun-tahun. Ini akan segera berakhir!" tegas Trump melalui cuitan di Twitter.
Sebelumnya, Kantor Perwakilan Dagang AS telah mengajukan daftar produk-produk asal Uni Eropa yang bisa dikenakan bea masuk sebagai pembalasan atas subsidi kepada Airbus. Daftar tersebut antara lain berisi pesawat penumpang dan suku cadangnya, produk turunan susu, sampai anggur (wine).
Uni Eropa tidak tinggal diam. Maragaritis Schinas, Juru Bicara Komisi Uni Eropa, menegaskan Brussel akan menyiapkan langkah pembalasan jika AS jadi menerapkan bea masuk.
"Komisi akan memulai persiapan sehingga Uni Eropa bisa mengambil langkah balasan. Uni Eropa tetap terbuka untuk berdiskusi dengan AS, tanpa syarat dan bertujuan untuk mencapai keadilan," kata Schinas, dikutip dari Reuters.
Sejumlah pihak menyesalkan tensi yang meninggi antara AS dan Uni Eropa. Bruno Le Maire, Menteri Keuangan Prancis, menyatakan perang dagang adalah hal terakhir yang seharusnya terjadi di tengah aura perlambatan ekonomi global.
"Saat saya melihat situasi pertumbuhan ekonomi dunia, sepertinya kita semua tidak sanggup menerima konflik dagang. Bahkan untuk hal yang spesifik seperti isu di industri penerbangan," tegas Le Maire, dikutip dari Reuters.
Setelah AS-China hampir mencapai damai dagang, kini pelaku pasar dibuat cemas akan potensi friksi selanjutnya. Ditambah dengan ancaman perlambatan ekonomi global, perang dagang tentu menjadi sebuah ancaman yang menakutkan sehingga investor memilih mundur.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Untuk perdagangan hari ini, investor perlu menyimak sejumlah sentimen yang bisa menggerakkan pasar. Pertama tentu kabar kurang enak dari Wall Street yang melemah. Dikhawatirkan merahnya Wall Street bisa menurunkan gairah pelaku pasar di Asia.
Faktor kedua adalah respons terhadap proyeksi terbaru IMF. Memang proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk 2019 tetap di 5,2%, tetapi bukan berarti bisa berleha-leha.
Pasalnya proyeksi pertumbuhan ekonomi untuk beberapa mitra dagang utama Indonesia direvisi ke bawah. Misalnya Japang, di mana pertumbuhan ekonomi 2019 diperkirakan 1%, melambat dibandingkan proyeksi yang dibuat pada Januari lalu yaitu 1,1%.
Kemudian pertumbuhan ekonomi India tahun ini diramal 7,3%. Melambat dibandingkan perkiraan sebelumnya yaitu 7,5%.
Secara keseluruhan, pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang pada 2019 diperkirakan 4,4%. Melambat dibandingkan proyeksi sebelumnya yang sebesar 4,5%.
Ketika ekonomi di negara-negara tersebut kurang bergairah, tandanya ada penurunan permintaan. Kinerja ekspor Indonesia tentu akan terpengaruh, dan ini bisa merambat ke pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Oleh karena itu, kemungkinan proyeksi terbaru IMF ini akan membawa suasana murung ke pasar keuangan Indonesia (dan Asia secara keseluruhan). Sepertinya apa yang dialami Wall Street juga bisa menular ke Indonesia.
(BERLANJUT KE HALAMAN 4)
Sentimen ketiga, yang juga menimpa Wall Street, adalah risiko perang dagang AS-Uni Eropa. Pelaku pasar yang sempat lega karena perang dagang AS-China bisa berakhir dalam waktu dekat, kini harus kembali memasang mode siaga.
Bukan cuma Uni Eropa, Airbus pun tidak terima dengan rencana pengenaan bea masuk oleh AS. Menurut pihak Airbus, kebijakan tersebut tidak punya dasar hukum
“Angka US$ 11 miliar terlalu berlebihan. Jumlah itu seharusnya ditentukan oleh WTO, bukan AS. Uni Eropa bisa saja menerapkan pembalasan yang lebih berat,” tegas Rainer Ohler, Juru Bicara Airbus, mengutip Reuters.
Well, investor sepertinya memang harus bersiap untuk menghadapi kondisi terburuk. Sebab IMF juga memperingatkan bawah friksi dagang (di antara siapa pun) bisa semakin memperlambat laju perekonomian dunia. Sesuatu yang tentu tidak diinginkan.
Namun ada harapan dengan munculnya sentimen keempat. Uni Eropa disebut-sebut setuju untuk memberikan perpanjangan waktu bagi pelaksanaan Brexit. Sedianya Inggris akan keluar dari Uni Eropa pada 12 April, tetapi sepertinya mundur (lagi) karena belum ada kesepakatan antara Perdana Menteri Inggris Theresa May dengan parlemen.
Utusan dari negara-negara Uni Eropa berkumpul di Brussel untuk membahas nasib Brexit. Sejumlah anggota delegasi membisikkan kepada Reuters bahwa kemungkinan Uni Eropa akan memberi perpanjangan waktu sampai akhir Maret 2020.
“Inggris akan memfasilitasi kerja-kerja Uni Eropa dan tidak memperkeruh pencapaian tujuan Uni Eropa,” tulis draf kesepakatan Uni Eropa-Inggris, dikutip dari Reuters.
Namun sebenarnya kolom tanggal kapan Brexit terjadi masih kosong, belum diisi. Meski kemungkinan kolom itu diisi dengan tulisan Maret 2020, tetapi sepertinya PM May akan dihujani banyak pertanyaan kala bersidang dengan para pemimpin negara Uni Eropa pada 10 April waktu Brussel.
“Tidak ada yang berani mencabut steker pada 13 April. Namun sampai berapa lama? Prancis akan banyak bertanya pada pertemuan di Brussel nanti,” tegas salah seorang diplomat Uni Eropa, mengutip Reuters.
Apalagi Prancis sepertinya kurang setuju dengan perpanjangan waktu yang nyaris setahun tersebut. “Dalam hal perpanjangan waktu, setahun rasanya terlalu lama buat kami,” ujar seorang diplomat Prancis, mengutip Reuters.
Memang ada harapan bahwa Inggris masih punya waktu untuk bersiap meninggalkan Uni Eropa, itu sebuah perkembangan positif. Namun bisa jadi pasar juga lebih memilih menunggu keputusan pertemuan di Brussel. Ah, ruwet...
(BERLANJUT KE HALAMAN 5)
Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
- Rilis data pesanan mesin Jepang periode Maret (06:50 WIB).
- Rilis Indeks Harga Produsen Jepang periode Maret (06:50 WIB).
- Pengumuman suku bunga Bank Sentral Uni Eropa (18:30).
- Rilis data tingkat inflasi AS periode Maret (19:30 WIB).
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (2018 YoY) | 5,17% |
Inflasi (Maret 2019 YoY) | 2,48% |
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Maret 2019) | 6% |
Defisit anggaran (APBN 2019) | -1,84% PDB |
Transaksi berjalan (2018) | -2,98% PDB |
Neraca pembayaran (2018) | -US$ 7,13 miliar |
Cadangan devisa (Maret 2019) | US$ 124,54 miliar |
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Corona Makin Gawat, China & Negara Barat Malah Main 'Silat'
