
Newsletter
Hari Ini Masih Soal Resesi
Hidayat Setiaji & M Taufan Adharsyah & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
26 March 2019 05:23

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia mengalami koreksi pada perdagangan kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), nilai tukar rupiah, sampai harga obligasi pemerintah seluruhnya melemah.
Kemarin, IHSG ditutup anjlok 1,75%. IHSG bergerak searah dengan indeks saham utama Asia yang juga terkoreksi dalam seperti Nikkei 225 (-3,02%), Hang Seng (-2,03%), Shanghai Composite (-1,97%), Kopsi (-1,92%), dan Straits Times (-0.91%).
Sementara rupiah mengakhiri perdagangan pasar spot dengan depresiasi 0,11% terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Setidaknya dolar AS masih bisa dijaga di bawah Rp 14.200.
Kemudian imbal hasil (yield) obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun naik 5 basis poin (bps). Kenaikan yield adalah pertanda harga instrumen ini sedang turun akibat terjadi aksi jual.
Dari sisi domestik, IHSG, rupiah, dan Surat Berharga Negara (SBN) menjalani reli yang cukup panjang pada pekan lalu. Penguatan yang sudah signifikan menyebabkan pasar keuangan Indonesia rentan terkoreksi karena aksi ambil untung.
Apalagi kemudian ada justifikasi sentimen eksternal yaitu kekhawatiran pasar terhadap risiko resesi di AS. Risiko ini datang dari pasar obligasi pemerintah Negeri Paman Sam, di mana yield surat utang tenor 3 bulan lebih tinggi ketimbang tenor 10 tahun.
Yield dua seri obligasi ini sering dijadikan alat untuk mengukur risiko terjadinya resesi. Ketika terjadi inversi (yield jangka pendek lebih tinggi dibandingkan jangka panjang), maka kemungkinan akan terjadi resesi setidaknya dalam 18 bulan ke depan. Sebab, investor meminta 'jaminan' yang lebih tinggi untuk obligasi jangka pendek yang artinya risiko akan lebih besar dalam waktu dekat.
Akibatnya investor pun cemas dan mencari selamat masing-masing. Aset-aset berisiko di negara berkembang mengalami tekanan jual massal alias sell-off dan arus modal menyemut di instrumen aman (safe haven) seperti dolar AS atau emas.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Kemarin, IHSG ditutup anjlok 1,75%. IHSG bergerak searah dengan indeks saham utama Asia yang juga terkoreksi dalam seperti Nikkei 225 (-3,02%), Hang Seng (-2,03%), Shanghai Composite (-1,97%), Kopsi (-1,92%), dan Straits Times (-0.91%).
Sementara rupiah mengakhiri perdagangan pasar spot dengan depresiasi 0,11% terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Setidaknya dolar AS masih bisa dijaga di bawah Rp 14.200.
Kemudian imbal hasil (yield) obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun naik 5 basis poin (bps). Kenaikan yield adalah pertanda harga instrumen ini sedang turun akibat terjadi aksi jual.
Dari sisi domestik, IHSG, rupiah, dan Surat Berharga Negara (SBN) menjalani reli yang cukup panjang pada pekan lalu. Penguatan yang sudah signifikan menyebabkan pasar keuangan Indonesia rentan terkoreksi karena aksi ambil untung.
Apalagi kemudian ada justifikasi sentimen eksternal yaitu kekhawatiran pasar terhadap risiko resesi di AS. Risiko ini datang dari pasar obligasi pemerintah Negeri Paman Sam, di mana yield surat utang tenor 3 bulan lebih tinggi ketimbang tenor 10 tahun.
Yield dua seri obligasi ini sering dijadikan alat untuk mengukur risiko terjadinya resesi. Ketika terjadi inversi (yield jangka pendek lebih tinggi dibandingkan jangka panjang), maka kemungkinan akan terjadi resesi setidaknya dalam 18 bulan ke depan. Sebab, investor meminta 'jaminan' yang lebih tinggi untuk obligasi jangka pendek yang artinya risiko akan lebih besar dalam waktu dekat.
Akibatnya investor pun cemas dan mencari selamat masing-masing. Aset-aset berisiko di negara berkembang mengalami tekanan jual massal alias sell-off dan arus modal menyemut di instrumen aman (safe haven) seperti dolar AS atau emas.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Next Page
Masih Khawatir Resesi, Wall Street Sepi
Pages
Most Popular