
Newsletter
The Fed Masih Warnai Pasar
Hidayat Setiaji & Anthony Kevin & M Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
19 March 2019 05:52

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia ditutup menguat pada perdagangan kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), nilai tukar rupiah, dan harga obligasi pemerintah mencatatkan apresiasi.
Kemarin, IHSG berakhir dengan penguatan 0,75%. IHSG bergerak searah dengan indeks saham utama Asia yang juga mengarah ke utara seperti Nikkei 225 (0,62%), Hang Seng (1,37%), Shanghai Composite (2,47%), Kospi (0,16%), dan Straits Times (0,4%).
Sementara rupiah menutup perdagangan pasar spot dengan apresiasi 0,14% terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Seperti halnya rupiah, berbagai mata uang utama Benua Kuning juga berhasil menguat di hadapan greenback.
Lalu imbal hasil (yield) obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun turun 6,3 basis poin (bps). Penurunan yield adalah pertanda harga obligasi sedang naik karena tingginya permintaan.
Isu besar yang menggerakkan pasar keuangan Asia pada perdagangan kemarin adalah tekanan yang dialami dolar AS. Mata uang Negeri Paman Sam sedang dalam posisi bertahan jelang rapat komite pengambil kebijakan bank sentral AS, The Federal Reserves/The Fed (Federal Open Market Committee/FOMC). Pada Selasa-Rabu waktu setempat, Jerome 'Jay' Powell dan sejawat akan menggelar rapat bulanan untuk memutuskan suku bunga acuan plus mengumumkan pembacaan terkini mengenai kondisi perekonomian AS.
Investor berekspektasi The Fed akan mempertahankan Federal Funds Rate di 2,25-2,5%. Probabilitasnya mencapai 98,7%, mengutip CME Fedwatch.
Ditambah lagi sepertinya The Fed akan kembali mengeluarkan kalimat-kalimat bernada anteng (dovish). Peluang untuk kenaikan suku bunga acuan ke depan pun semakin kecil.
Pada akhir tahun ini, kemungkinan suku bunga acuan tetap di 2,25-2,5% tetap tinggi yaitu 73,6% menurut Fedwatch. Bahkan ada ruang bagi The Fed untuk menurunkannya ke 2-2,25% dengan peluang 23,2%.
Tanpa dukungan kenaikan suku bunga acuan (bahkan ada kemungkinan turun), berinvestasi di instrumen berbasis dolar AS menjadi kurang menarik. Dolar AS pun mengalami tekanan jual.
Pindah dari dolar AS, arus modal beterbangan ke segala penjuru termasuk ke Asia dan Indonesia tidak terkecuali. Di pasar saham Indonesia, investor asing mencatatkan beli bersih mencapai Rp 687,75 miliar.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Seperti halnya di Asia, Wall Street juga mencatatkan penguatan di perdagangan perdana pekan ini. Dow Jones Industrial Average (DJIA) naik 0,25%, S&P 500 menguat 0,37%, dan Nasdaq Composite bertambah 0,34%.
The Fed pun menjadi tema utama di bursa saham New York. Investor di pasar saham bersuka-cita karena The Fed diperkirakan tidak akan agresif. Maklum, saham adalah instrumen yang bekerja optimal di lingkungan suku bunga rendah.
Keyakinan bahwa The Fed semakin dovish bertambah dengan dirilisnya data ekonomi terbaru di AS. Indeks perumahan NAHB pada Maret 2019 berada di angka 62, tidak berubah dibandingkan bulan sebelumnya. Pencapaian Maret tersebut berada di bawah konsensus pasar yang memperkirakan kenaikan menjadi 63.
Artinya, gejala perlambatan ekonomi masih terlihat di Negeri Adidaya. Mengencangkan ikat pinggang dalam kondisi seperti ini mungkin kurang bijak, bahkan ada peluang untuk memberi sedikit kelonggaran.
"Selalu ada ketakutan jelang rapat The Fed. Apa saja yang mengarah ke potensi kenaikan suku bunga akan membuat pelaku pasar minggir," ujar Tim Ghriskey, Chief Investment Strategist di Inverness Counsel yang berbasis di New York, mengutip Reuters.
Selain The Fed, faktor lain yang menguatkan Wall Street adalah harga minyak. Pada pukul 04:41 WIB, harga minyak jenis brent dan light sweet naik masing-masing 0,4% dan 0,77%.
Akibatnya harga emiten energi pun melonjak. Saham Exxon Mobil naik 1,16% sementara Chevron menguat 0,45%.
Kemudian saham Apple juga menjadi pendorong laju Wall Street dengan penguatan 1,02%. Peluncuran iPad terbaru dengan layar 10,5 inci plus rencana rilis iPAd Mini terbaru pada 25 Maret sepertinya mendapat sambutan positif.
Harga jual iPad terbaru dimulai dari US$ 499. Sementara iPad Mini terbaru nantinya dibanderol mulai US$399.
"Peluncuran produk-produk ini mungkin tidak akan banyak membantu kinerja keuangan Apple. Namun menjadi bukti bahwa Apple masih mampu untuk membuat produk yang populer di pasar," kata Clement Thibault, Analis Senior di investing.com, seperti dikutip dari Reuters.
Sedangkan faktor yang menghambat laju Wall Street adalah anjloknya saham Boeing yang mencapai 1,77%. Penyebabnya masih terkait tragedi kejatuhan pesawat Boeing 737 MAX 8 milik Ethiopian Airlines.
Penyelidik menemukan bahwa insiden Ethiopian Airlines serupa dengan kejadian yang menimpa Lion Air tahun lalu. Data sudut serangan (angle of attack) dua kecelakaan ini sangat mirip.
Sudut serangan adalah besaran yang mengukur derajat kemiringan antara sayap pesawat dengan aliran udara. Jika terlalu tinggi, maka bisa membuat pesawat dalam posisi diam (stall) dan tidak bisa dikendalikan.
Apabila ditemukan kesalahan serupa di tragedi Ethiopian Airlines dan Lion Air, maka memang ada 'kecacatan' dalam produksi pesawat Boeing 737 MAX 8. Ini tentu bukan kabar gembira buat Boeing, yang sahamnya mendominasi indeks DJIA.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentunya hasil positif yang diraih Wall Street. Semoga setelah melihat angka-angka di Wall Street, investor di pasar keuangan Asia bisa termotivasi untuk meraih pencapaian yang sama atau bahkan melampauinya.
Sentimen kedua adalah nilai tukar dolar AS, yang kemungkinan masih melemah. Pada pukul 04:51 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama) melemah 0,08%.
Sepertinya dolar AS masih terbeban oleh sentimen jelang rapat The Fed. Semakin dekat ke pelaksanaan rapat, tekanan yang dirasakan mata uang Negeri Adidaya semakin terasa.
"Pelaku pasar ingin memastikan bahwa The Fed tetap dalam posisi dovish seperti yang mereka perkirakan. Dengan ekspektasi bahwa peluang kenaikan suku bunga semakin kecil, minat investor terhadap aset-aset berisiko akan meningkat," kata Dean Popplewell, Vice President di Oanda, mengutip Reuters.
Akan tetapi, kewaspadaan perlu dijaga karena dolar AS sudah mengalami tekanan yang cukup besar. Dalam sepekan terakhir, Dollar Index sudah terkoreksi 0,73%. Koreksi yang sudah lumayan itu membuka peluang bagi dolar AS untuk rebound.
Dolar AS tetaplah dolar AS, ketika harganya sudah murah pasti akan kembali menarik minat invesor untuk mengoleksinya. Ketika permintaan terhadap dolar AS meningkat, nilainya pun akan menguat dan ini mengancam mata uang negara-negara lain termasuk rupiah.
Kemudian, potensi tekanan terhadap rupiah juga bisa hadir dari sentimen keempat yaitu kenaikan harga minyak. Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, kenaikan harga si emas hitam menjadi salah satu faktor penguat Wall Street. Namun ceritanya akan berbeda dengan rupiah.
Pasalnya, Indonesia adalah negara net importir minyak, mau tidak mau harus mengimpor karena produksi dalam negeri yang belum memadai. Saat harga minyak naik, maka biaya impornya semakin mahal. Semakin banyak devisa yang 'terbakar' untuk mengimpor minyak, sehingga membuat defisit transaksi berjalan (current account) berpotensi melebar atau semakin dalam.
Transaksi berjalan adalah fondasi penting bagi stabilitas nilai tukar. Tanpa transaksi berjalan yang kuat, rupiah akan rawan terdepresiasi.
Investor bisa saja menjadi enggan untuk mengoleksi aset berbasis rupiah, karena khawatir nilainya akan turun pada kemudian hari. Risiko aksi jual akan terus membayangi rupiah jika masalah di transaksi berjalan tidak kunjung dipecahkan.
(BERLANJUT KE HALAMAN 4)
Sentimen keempat adalah terkait Brexit. Pekan ini, Perdana Menteri Inggris Theresa May dijadwalkan kembali membawa proposal Brexit ke parlemen untuk diputuskan melalui voting.
Namun parlemen memberi wanti-wanti bahwa May tidak boleh membawa proposal yang sama yang sudah ditolak pekan lalu. Yurisprudensi di parlemen menyatakan bahwa proposal yang sama tidak bisa diputuskan lebih dari sekali.
"Kesimpulan saya, pemerintah tidak bisa mengajukan kembali proposal yang sama atau hampir sama. Perbedaan di sini adalah dari sisi substansi dan konteks, bukan sekadar perbedaan kata-kata," tegas John Bercow, Ketua Parlemen Inggris, mengutip Reuters.
Perkembangan ini bisa membuat proses perceraian Inggris dengan Uni Eropa semakin rumit. Sepertinya Inggris tinggal memiliki dua pilihan, menunda Brexit yang sedianya terlaksana pada 29 Maret atau keluar dari Uni Eropa tanpa kesepakatan apa-apa (No Deal Brexit).
Brexit yang masih penuh dengan ketidakpastian tentu akan menjadi faktor risiko di pasar. Jika faktor risiko ini membesar, maka bisa membuat investor memilih bermain aman dan meninggalkan pasar negara berkembang, termasuk Indonesia.
Sentimen kelima adalah seputar perkembangan hubungan AS-China untuk menuju damai dagang. Sebelumnya muncul kabar bahwa pertemuan Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping diundur, tidak jadi terlaksana bulan ini. Kemungkinan pertemuan itu berlangsung pada April.
Namun kemudian datang kabar terbaru. South China Morning Post mengabarkan bahwa pertemuan Trump-Xi kembali diundur menjadi Juni.
Mengutip beberapa orang sumber, Washington dan Beijing diperkirakan sulit mencapai kesepakatan pada April sehingga pertemuan kedua pemimpin tidak bisa segera terlaksana. Oleh karena itu, Juni menjadi waktu yang lebih realistis untuk saat ini.
Berita ini bisa membuat pelaku pasar ketar-ketir. Damai dagang AS-China yang beberapa waktu lalu sepertinya sudah di depan mata kini kembali menjauh. Ditambah lagi ada risiko bisa gagal di tengah jalan jika kedua pihak tidak mencapai kesepakatan.
(BERLANJUT KE HALAMAN 5)
Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article IHSG Sudah Bangkit Saatnya Rupiah Menguat
Kemarin, IHSG berakhir dengan penguatan 0,75%. IHSG bergerak searah dengan indeks saham utama Asia yang juga mengarah ke utara seperti Nikkei 225 (0,62%), Hang Seng (1,37%), Shanghai Composite (2,47%), Kospi (0,16%), dan Straits Times (0,4%).
Sementara rupiah menutup perdagangan pasar spot dengan apresiasi 0,14% terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Seperti halnya rupiah, berbagai mata uang utama Benua Kuning juga berhasil menguat di hadapan greenback.
Lalu imbal hasil (yield) obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun turun 6,3 basis poin (bps). Penurunan yield adalah pertanda harga obligasi sedang naik karena tingginya permintaan.
Isu besar yang menggerakkan pasar keuangan Asia pada perdagangan kemarin adalah tekanan yang dialami dolar AS. Mata uang Negeri Paman Sam sedang dalam posisi bertahan jelang rapat komite pengambil kebijakan bank sentral AS, The Federal Reserves/The Fed (Federal Open Market Committee/FOMC). Pada Selasa-Rabu waktu setempat, Jerome 'Jay' Powell dan sejawat akan menggelar rapat bulanan untuk memutuskan suku bunga acuan plus mengumumkan pembacaan terkini mengenai kondisi perekonomian AS.
Investor berekspektasi The Fed akan mempertahankan Federal Funds Rate di 2,25-2,5%. Probabilitasnya mencapai 98,7%, mengutip CME Fedwatch.
Ditambah lagi sepertinya The Fed akan kembali mengeluarkan kalimat-kalimat bernada anteng (dovish). Peluang untuk kenaikan suku bunga acuan ke depan pun semakin kecil.
Pada akhir tahun ini, kemungkinan suku bunga acuan tetap di 2,25-2,5% tetap tinggi yaitu 73,6% menurut Fedwatch. Bahkan ada ruang bagi The Fed untuk menurunkannya ke 2-2,25% dengan peluang 23,2%.
Tanpa dukungan kenaikan suku bunga acuan (bahkan ada kemungkinan turun), berinvestasi di instrumen berbasis dolar AS menjadi kurang menarik. Dolar AS pun mengalami tekanan jual.
Pindah dari dolar AS, arus modal beterbangan ke segala penjuru termasuk ke Asia dan Indonesia tidak terkecuali. Di pasar saham Indonesia, investor asing mencatatkan beli bersih mencapai Rp 687,75 miliar.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Seperti halnya di Asia, Wall Street juga mencatatkan penguatan di perdagangan perdana pekan ini. Dow Jones Industrial Average (DJIA) naik 0,25%, S&P 500 menguat 0,37%, dan Nasdaq Composite bertambah 0,34%.
The Fed pun menjadi tema utama di bursa saham New York. Investor di pasar saham bersuka-cita karena The Fed diperkirakan tidak akan agresif. Maklum, saham adalah instrumen yang bekerja optimal di lingkungan suku bunga rendah.
Keyakinan bahwa The Fed semakin dovish bertambah dengan dirilisnya data ekonomi terbaru di AS. Indeks perumahan NAHB pada Maret 2019 berada di angka 62, tidak berubah dibandingkan bulan sebelumnya. Pencapaian Maret tersebut berada di bawah konsensus pasar yang memperkirakan kenaikan menjadi 63.
Artinya, gejala perlambatan ekonomi masih terlihat di Negeri Adidaya. Mengencangkan ikat pinggang dalam kondisi seperti ini mungkin kurang bijak, bahkan ada peluang untuk memberi sedikit kelonggaran.
"Selalu ada ketakutan jelang rapat The Fed. Apa saja yang mengarah ke potensi kenaikan suku bunga akan membuat pelaku pasar minggir," ujar Tim Ghriskey, Chief Investment Strategist di Inverness Counsel yang berbasis di New York, mengutip Reuters.
Selain The Fed, faktor lain yang menguatkan Wall Street adalah harga minyak. Pada pukul 04:41 WIB, harga minyak jenis brent dan light sweet naik masing-masing 0,4% dan 0,77%.
Akibatnya harga emiten energi pun melonjak. Saham Exxon Mobil naik 1,16% sementara Chevron menguat 0,45%.
Kemudian saham Apple juga menjadi pendorong laju Wall Street dengan penguatan 1,02%. Peluncuran iPad terbaru dengan layar 10,5 inci plus rencana rilis iPAd Mini terbaru pada 25 Maret sepertinya mendapat sambutan positif.
Harga jual iPad terbaru dimulai dari US$ 499. Sementara iPad Mini terbaru nantinya dibanderol mulai US$399.
"Peluncuran produk-produk ini mungkin tidak akan banyak membantu kinerja keuangan Apple. Namun menjadi bukti bahwa Apple masih mampu untuk membuat produk yang populer di pasar," kata Clement Thibault, Analis Senior di investing.com, seperti dikutip dari Reuters.
Sedangkan faktor yang menghambat laju Wall Street adalah anjloknya saham Boeing yang mencapai 1,77%. Penyebabnya masih terkait tragedi kejatuhan pesawat Boeing 737 MAX 8 milik Ethiopian Airlines.
Penyelidik menemukan bahwa insiden Ethiopian Airlines serupa dengan kejadian yang menimpa Lion Air tahun lalu. Data sudut serangan (angle of attack) dua kecelakaan ini sangat mirip.
Sudut serangan adalah besaran yang mengukur derajat kemiringan antara sayap pesawat dengan aliran udara. Jika terlalu tinggi, maka bisa membuat pesawat dalam posisi diam (stall) dan tidak bisa dikendalikan.
Apabila ditemukan kesalahan serupa di tragedi Ethiopian Airlines dan Lion Air, maka memang ada 'kecacatan' dalam produksi pesawat Boeing 737 MAX 8. Ini tentu bukan kabar gembira buat Boeing, yang sahamnya mendominasi indeks DJIA.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentunya hasil positif yang diraih Wall Street. Semoga setelah melihat angka-angka di Wall Street, investor di pasar keuangan Asia bisa termotivasi untuk meraih pencapaian yang sama atau bahkan melampauinya.
Sentimen kedua adalah nilai tukar dolar AS, yang kemungkinan masih melemah. Pada pukul 04:51 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama) melemah 0,08%.
Sepertinya dolar AS masih terbeban oleh sentimen jelang rapat The Fed. Semakin dekat ke pelaksanaan rapat, tekanan yang dirasakan mata uang Negeri Adidaya semakin terasa.
"Pelaku pasar ingin memastikan bahwa The Fed tetap dalam posisi dovish seperti yang mereka perkirakan. Dengan ekspektasi bahwa peluang kenaikan suku bunga semakin kecil, minat investor terhadap aset-aset berisiko akan meningkat," kata Dean Popplewell, Vice President di Oanda, mengutip Reuters.
Akan tetapi, kewaspadaan perlu dijaga karena dolar AS sudah mengalami tekanan yang cukup besar. Dalam sepekan terakhir, Dollar Index sudah terkoreksi 0,73%. Koreksi yang sudah lumayan itu membuka peluang bagi dolar AS untuk rebound.
Dolar AS tetaplah dolar AS, ketika harganya sudah murah pasti akan kembali menarik minat invesor untuk mengoleksinya. Ketika permintaan terhadap dolar AS meningkat, nilainya pun akan menguat dan ini mengancam mata uang negara-negara lain termasuk rupiah.
Kemudian, potensi tekanan terhadap rupiah juga bisa hadir dari sentimen keempat yaitu kenaikan harga minyak. Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, kenaikan harga si emas hitam menjadi salah satu faktor penguat Wall Street. Namun ceritanya akan berbeda dengan rupiah.
Pasalnya, Indonesia adalah negara net importir minyak, mau tidak mau harus mengimpor karena produksi dalam negeri yang belum memadai. Saat harga minyak naik, maka biaya impornya semakin mahal. Semakin banyak devisa yang 'terbakar' untuk mengimpor minyak, sehingga membuat defisit transaksi berjalan (current account) berpotensi melebar atau semakin dalam.
Transaksi berjalan adalah fondasi penting bagi stabilitas nilai tukar. Tanpa transaksi berjalan yang kuat, rupiah akan rawan terdepresiasi.
Investor bisa saja menjadi enggan untuk mengoleksi aset berbasis rupiah, karena khawatir nilainya akan turun pada kemudian hari. Risiko aksi jual akan terus membayangi rupiah jika masalah di transaksi berjalan tidak kunjung dipecahkan.
(BERLANJUT KE HALAMAN 4)
Sentimen keempat adalah terkait Brexit. Pekan ini, Perdana Menteri Inggris Theresa May dijadwalkan kembali membawa proposal Brexit ke parlemen untuk diputuskan melalui voting.
Namun parlemen memberi wanti-wanti bahwa May tidak boleh membawa proposal yang sama yang sudah ditolak pekan lalu. Yurisprudensi di parlemen menyatakan bahwa proposal yang sama tidak bisa diputuskan lebih dari sekali.
"Kesimpulan saya, pemerintah tidak bisa mengajukan kembali proposal yang sama atau hampir sama. Perbedaan di sini adalah dari sisi substansi dan konteks, bukan sekadar perbedaan kata-kata," tegas John Bercow, Ketua Parlemen Inggris, mengutip Reuters.
Perkembangan ini bisa membuat proses perceraian Inggris dengan Uni Eropa semakin rumit. Sepertinya Inggris tinggal memiliki dua pilihan, menunda Brexit yang sedianya terlaksana pada 29 Maret atau keluar dari Uni Eropa tanpa kesepakatan apa-apa (No Deal Brexit).
Brexit yang masih penuh dengan ketidakpastian tentu akan menjadi faktor risiko di pasar. Jika faktor risiko ini membesar, maka bisa membuat investor memilih bermain aman dan meninggalkan pasar negara berkembang, termasuk Indonesia.
Sentimen kelima adalah seputar perkembangan hubungan AS-China untuk menuju damai dagang. Sebelumnya muncul kabar bahwa pertemuan Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping diundur, tidak jadi terlaksana bulan ini. Kemungkinan pertemuan itu berlangsung pada April.
Namun kemudian datang kabar terbaru. South China Morning Post mengabarkan bahwa pertemuan Trump-Xi kembali diundur menjadi Juni.
Mengutip beberapa orang sumber, Washington dan Beijing diperkirakan sulit mencapai kesepakatan pada April sehingga pertemuan kedua pemimpin tidak bisa segera terlaksana. Oleh karena itu, Juni menjadi waktu yang lebih realistis untuk saat ini.
Berita ini bisa membuat pelaku pasar ketar-ketir. Damai dagang AS-China yang beberapa waktu lalu sepertinya sudah di depan mata kini kembali menjauh. Ditambah lagi ada risiko bisa gagal di tengah jalan jika kedua pihak tidak mencapai kesepakatan.
(BERLANJUT KE HALAMAN 5)
Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
- Rilis data pesanan pabrik AS periode Januari (21:00 WIB).
- Rilis Indeks Sentimen Ekonomi ZEW Jerman periode Maret (17:00 WIB).
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (2018 YoY) | 5,17% |
Inflasi (Februari 2019 YoY) | 2,57% |
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Februari 2019) | 6% |
Defisit anggaran (APBN 2019) | -1,84% PDB |
Transaksi berjalan (2018) | -2,98% PDB |
Neraca pembayaran (2018) | -US$ 7,13 miliar |
Cadangan devisa (Februari 2019) | US$ 123,27 miliar |
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article IHSG Sudah Bangkit Saatnya Rupiah Menguat
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular