Newsletter

Awas, Ekonomi AS Terancam Mandek Gara-gara Shutdown!

Hidayat Setiaji & Anthony Kevin & M Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
24 January 2019 05:40
Awas, Ekonomi AS Terancam Mandek Gara-gara <i>Shutdown</i>!
Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia bergerak variatif pada perdagangan kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup merah, sementara nilai tukar rupiah kembali mencetak penguatan di hadapan dolar Amerika Serikat (AS). 

Kemarin, IHSG yang sempat merasakan manisnya zona hijau harus rela mengakhiri perdagangan dengan pelemahan sebesar 0,27%. Kinerja IHSG berbanding terbalik dengan mayoritas bursa saham utama kawasan Asia yang menguat seperti Shanghai Composite (0,05%), Hang Seng (0,01%), atau Kospi (0,47%). 


Sedangkan nlai tukar rupiah finis dengan apresiasi 0,25% terhadap greenback. Seperti rupiah, berbagai mata uang utama Asia pun bergerak menguat. 


Sentimen positif bagi pasar keuangan Asia datang dari China. Kementerian Keuangan China menegaskan komitmennya untuk menggelontorkan stimulus fiskal pada tahun ini, termasuk pemotongan tarif pajak. 

Tahun lalu, China memberikan stimulus fiskal berupa pemotongan tarif pajak dan sebagainya senilai CNY 1,3 triliun. Untuk tahun ini, besaran stimulus diperkirakan mencapai CNY 2 triliun. Plus pemerintah pusat akan memberikan restu kepada daerah untuk menerbitkan obligasi dengan nilai total CNY 2 triliun untuk pembiayaan proyek-proyek strategis. 

Sentimen positif lainnya adalah terkait hubungan AS-China. Sempat beredar kabar yang bersumber dari Financial Times bahwa AS membatalkan dialog dagang dengan China. Namun Gedung Putih membantah berita tersebut. 

"Dengan segala hormat, berita itu tidak benar," tegas Lawrence 'Larry' Kudlow, Penasihat Ekonomi Gedung Putih, mengutip Reuters. 

Angin segar dari Gedung Putih membuat pelaku pasar semakin yakin bahwa prospek damai dagang AS-China bukan sekadar harapan kosong. Ada peluang yang cukup besar ke arah sana.  

Apalagi rencana kedatangan Wakil Perdana Menteri China Liu He ke Washington pada 30-31 Januari masih terjadwal. Kunjungan Liu semakin menegaskan kemesraan poros Washington-Beijing dan sangat mungkin berujung ke damai dagang. 

Dua sentimen ini berhasil membuat risk appetite di pasar membuncah. Arus modal mengalir deras ke aset-aset berisiko di negara berkembang, tidak ada istilah bermain aman. Rupiah, mata uang Asia, dan bursa saham Asia berhasil memanfaatkan momentum ini dengan membukukan penguatan.  

Namun sepertinya IHSG terserang 'penyakit' ambil untung (profit taking). Maklum, IHSG sudah menguat 6 hari beruntun. Dalam 6 hari tersebut, IHSG sudah melonjak 2,09%. 

Investor asing yang sebelumnya membukukan beli bersih sejak awal 2019 kemarin mulai mencairkan cuan. Hingga akhir perdagangan kemarin, jual bersih investor asing di pasar saham Tanah Air tercatat Rp 142,4 miliar. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Dari Wall Street, tiga indeks utama berhasil membukukan penguatan meski dalam rentang yang relatif terbatas. Dow Jones Indstrial Average (DJIA) naik 0,7%, S&P 500 menguat 0,22%, dan Nasdaq Composite bertambah 0,08%. 

Laju bursa saham New York didorong oleh laporan keuangan emiten yang memuaskan. Saham Proctor & Gamble melesat dengan penguatan 4,82% setelah membukukan laba per saham (Earnings per Share/EPS) US$ 1,25 pada kuartal II tahun fiskal 2018 yang berakhir pada 31 Desember. Lebih baik dibandingkan konsensus pasar yang dihimpun Reuters yaitu US$ 1,21. 

Kemudian sahan United Technologies (induk usaha pembuat mesin pesawat terbang Pratt & Whistney serta pembuat eskalator dan elevator Otis) menguat sampai 5,38%. Pada kuartal IV-2018, perseroan mencatatkan EPS U$$ 1,95, cukup jauh di atas konsensus pasar yaitu US$ 1,53%. 

Lalu saham Comcast (perusahaan induk CNBC International) melejit 5,49% setelah melaporkan EPS pada kuartal IV-2018 sebesar US$ 64 sen. Lebih baik ketimbang konsensus pasar yang memperkirakan US$ 62 sen. 

Namun lompatan Wall Street membentur plafon karena kekhawatiran investor terhadap penutupan sebagian (partial shutdown) pemerintahan AS. Hingga pukul 04:30 WIB, shutdown sudah berlangsung selama 32 hari, 16 jam, 30 menit. 

Shutdown sedikit banyak mempengaruhi perekonomian AS secara keseluruhan. Ada sekitar 800.000 abdi negara yang belum menerima bayaran, dan kontrak-kontrak swasta dengan pemerintah pun tidak berjalan. Roda ekonomi tidak berputar sesuai dengan potensinya, ada yang menghambat. 

Dalam wawancara dengan CNN, Kevin Hassett, Kepala Penasihat Ekonomi Gedung Putih, memperkirakan ekonomi AS bisa tumbuh 0% alias stagnan apabila shutdown berlangsung penuh selama kuartal I-2018. Namun untuk keseluruhan 2019, pemerintahan Presiden Donald Trump masih yakin AS bisa mencapai pertumbuhan ekonomi  sekitar 3%. 

"Orang-orang mencemaskan shutdown. Investor juga masih menyimpan tanda tanya besar terhadap perkembangan ekonomi global," kata Robert Pavlik, Chief Investment Strategist di SlateStone Wealth yang berbasis di New York, mengutip Reuters. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu perkembangan positif dari Wall Street. Hijaunya bursa saham New York diharapkan mampu menjadi motivasi bagi bursa saham Asia untuk mencapai prestasi serupa. 

Sentimen kedua, juga yang mempengaruhi Wall Street, adalah perkembangan shutdown di AS. Apalagi kalau perkiraan Hassett terwujud, yaitu AS mengalami stagnasi ekonomi gara-gara shutdown

Jika ekonomi AS benar-benar mandek, maka dampaknya akan amat sangat mengglobal. AS adalah perekonomian terbesar di planet ini, sehingga stagnasi di sana akan mengganggu arus perdagangan dan rantai pasok dunia. Pertumbuhan ekonomi global terancam semakin melambat. 

Untuk mengakhiri shutdown, berbagai opsi ditaruh di atas meja perundingan. Isu utamanya adalah soal pengamanan perbatasan. Presiden Trump ngotot ingin membangun tembok di perbatasan AS-Meksiko, sesuatu yang ditentang oleh kubu oposisi Partai Demokrat. 

Teranyar, Partai Demokrat mengusulkan penggunaan teknologi dan penambahan personel di perbatasan daripada harus membangun tembok. Pemanfaatan drone, mesin pemindai (x-ray scanner), dan lebih banyak penegak hukum di perbatasan dinilai lebih ideal, meski anggarannya sama dengan membangun tembok yaitu sekitar US$ 5,7 miliar. 

"Jika Presiden ingin anggaran US$ 5,7 miliar itu digunakan untuk peningkatan pengamanan perbatasan, maka kami akan penuhi. Namun saya mengusulkan sesuatu yang saya sebut Smart Wall karena memanfaatkan teknologi," kata James Clyburn, orang nomor 3 di House of Representatives dari Partai Demokrat, mengutip Reuters. 

Kubu Partai Republik menilai usulan tersebut cukup masuk akal dan bisa dipertimbangkan. "Segala bentuk ide, diskusi, akan sangat membantu. Kita harus segera menyudahi perdebatan soal tembok," tegas Tom Cole, anggota House of Representatives dari Partai Demokrat. 

Trump belum merespons usulan ini. Investor patut terus memantau perkembangan kisruh politik anggaran di Washington, karena dampaknya tidak main-main. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 4)


Sentimen ketiga adalah yaitu nilai tukar dolar AS. Akibat shutdown yang bisa melukai perekonomian AS secara keseluruhan, greenback ikut tertekan.  

Pada pukul 05:01 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi dolar AS di hadapan enam mata uang utama dunia) melemah 0,17%. Pelemahan dolar AS bisa membuka jalan bagi rupiah dan mata uang Asia untuk kembali membukukan apresiasi.  

Namun jika investor kemudian memilih melihat dari perspektif yang lebih luas, di mana shutdown di AS bisa memperlambat laju perekonomian global, maka ada pula kemungkinan untuk memilih bermain aman. Bila ini yang terjadi maka bukan kabar baik buat rupiah cs di Asia.  

Sentimen keempat membawa harapan bagi rupiah, yaitu harga minyak yang masih mengalami koreksi. Pada pukul 05:05 WIB, harga minyak jenis brent anjlok 1,01% dan light sweet berkurang 0,38%. 

Shutdown di AS yang dikhawatirkan membawa dampak ke perekonomian global membuat investor menahan diri. Ada kekhawatiran ekonomi global akan semakin melambat sehingga menurunkan permintaan energi. Ini membuat harga si emas hitam terkoreksi. 

Sepertinya shutdown pemerintahan AS akan menjadi isu yang penting untuk hari ini. Belum adanya solusi membuat shutdown menjadi bola salju yang terus menggelinding, membesar, dan menggilas apa saja yang ada di hadapannya.  

Selain itu, penurunan harga juga disebabkan oleh rencana Uni Eropa agar bisa tetap mendatangkan minyak dari Iran. Saat ini Negeri Persia masih menjalani sanksi dari AS, yang berlaku mulai 4 November 2018. 

Jean-Yves Le Drian, Menteri Luar Negeri Prancis, mengusulkan skema perdagangan minyak antara Uni Eropa dan Iran tanpa menggunakan mata uang dolar AS. Dengan begitu, sanksi AS tidak dilanggar dan Teheran tetap bisa mengekspor minyaknya ke Benua Biru. 

Uni Eropa berencana membentuk unit khusus (Special Purpose Vehicle/SPV) untuk perdagangan minyak dengan Iran. "Ini semestinya bisa dimulai dalam beberapa waktu ke depan. SPV ini akan menjadi semacam pusat kliring yang mengalirkan euro ke Iran," ungkap Le Drian, mengutip Reuters. 

Kedatangan minyak dari Iran ke pasar dunia tentu membuat pasokan berlimpah. Dibayangi kekhawatiran kelebihan pasokan (oversupply), harga minyak pun terkoreksi. 

Apabila harga minyak sudah memasuki siklus koreksi, maka ini akan menjadi kabar baik bagi rupiah. Sebagai negara net importir minyak, Indonesia tentu diuntungkan jika harga minyak turun karena biaya impor akan lebih murah. 

Defisit transaksi berjalan (current account deficit) bisa dikurangi. Rupiah pun akan punya ruang untuk menguat karena ada lebih banyak pasokan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 5)


Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
  • Rilis angka klaim tunjangan pengangguran Amerika Serikat untuk minggu yang berakhir pada 19 Januari (20:30 WIB).
  • Rilis angka Purchasing Manager's Index (PMI) manufaktur Amerika Serikat periode Januari versi Markit (21:45 WIB).
  • Rilis data cadangan minyak Amerika Serikat periode 11-18 Januari versi EIA (23:00 WIB).
  • Rilis angka PMI manufaktur Jepang periode Januari versi Nikkei (07:30 WIB).
  • Pengumuman suku bunga acuan Bank of Korea (08:00 WIB). 

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (Q III-2018 YoY)5,17%
Inflasi (Desember 2018 YoY)3,13%
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Januari 2019)6%
Defisit anggaran (APBN 2019)-1,84% PDB
Transaksi berjalan (Q III-2018)-3,37% PDB
Neraca pembayaran (Q III-2018)-US$ 4,39 miliar
Cadangan devisa (Desember 2018)US$ 120,7 miliar

Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.  


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular