
Newsletter
Menanti Kabar Baik dari Beijing
Hidayat Setiaji & Raditya Hanung & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
07 January 2019 05:25

Jakarta, CNBC Indonesia - Pekan lalu, pasar keuangan Indonesia menunjukkan performa yang memuaskan. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan nilai nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sama-sama menguat signifikan.
Sepanjang minggu kemarin, IHSG menguat 1,29% secara point-to-point. Di level Asia, IHSG menjadi yang terbaik kedua, hanya kalah dari Filipina.
Sementara rupiah menguat tajam 1,99% di hadapan greenback. Bahkan rupiah menjadi mata uang terbaik di Benua Kuning, mengalahkan yen Jepang yang saat ini menjadi idola baru.
Secara umum, pekan pertama 2019 sebenarnya bukan periode yang indah bagi pasar keuangan Asia. Tingginya risiko perekonomian global membuat investor cenderung enggan bermain api di instrumen berisiko seperti saham.
Sentimen negatif datang dari perlambatan ekonomi yang semakin nyata. Khusus di Asia, data ekonomi yang melempem bertebaran di mana-mana.
Angka PMI China versi Caixin pada Desember 2018 tercatat 49,7, turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 50,2. Angka di bawah 50 berarti pelaku usaha tengah pesimistis.
Kemudian dari Korea Selatan, PMI versi Nikkei/Markit pada periode yang sama tercatat 49,8. Turun dibandingkan November 2018 yang sebesar 49,9. Lagi-lagi ada aura pesimisme di kalangan dunia usaha Negeri Ginseng.
Sementara angka PMI Taiwan versi Nikkei pada Desember berada di 47,7, turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 48,4. Angka ini menjadi yang terendah sejak September 2015.
Lalu di Singapura, pembacaan awal untuk pertumbuhan ekonomi kuartal IV-2018 adalah 2,2% secara tahunan (year-on-year/YoY). Jauh di bawah konsensus pasar yang dihimpun Reuters yaitu 3,2% YoY.
Kemudian, penjualan ritel di Hong Kong pada November 2018 hanya tumbuh 1,4% YoY. Jauh melambat dibandingkan bulan sebelumnya yang mencatat pertumbuhan 5,9%. Pertumbuhan November juga menjadi yang terlemah sejak Juni 2017.
Data-data tersebut membuat investor memilih untuk bermain aman. Saat ini, 'bunker' perlindungan bagi investor tidak lagi berada di dolar AS. Pelaku pasar lebih memilih beralih ke yen Jepang, dibuktikan dengan penguatan mata uang Negeri Sakura hingga 1,57% di sepanjang pekan lalu.
Namun, ada sentimen positif besar yang mampu membuat kinerja pasar keuangan Asia (termasuk Indonesia) membaik. Mengutip Reuters, AS dan China dikabarkan akan melangsungkan pertemuan tingkat wakil menteri di Beijing pada 7-8 Januari.
Kedua negara akan berdialog mengenai isu-isu perdagangan, menindaklanjuti hasil pertemuan Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping di Argentina awal bulan lalu. Di sela-sela KTT G20 tersebut, Trump dan Xi menyepakati 'gencatan senjata' selama 90 hari.
"Delegasi AS yang dipimpin oleh Wakil Perwakilan Dagang Jeffrey Gerrish akan mengunjungi China untuk melakukan diskusi yang positif dan konstruktif dengan pemerintah China," sebut keterangan tertulis Kementerian Perdagangan China.
Selepas pertemuan Trump-Xi di Buenos Aires, hubungan Washington-Beijing memang semakin mesra. Pertemuan di Beijing pekan depan diharapkan menjadi pembuka jalan menuju damai dagang, sesuatu yang saat diimpikan oleh pelaku pasar. Akibatnya sikap risk aversion pun sirna, dan investor berbondong-bondong masuk ke instrumen berisiko di negara berkembang Asia.
Sementara di Indonesia, sepertinya rilis data inflasi juga memberikan sentimen positif. Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan laju inflasi 2018 sebesar 3,13% YoY. Melambat signifikan dibandingkan 2017 yaitu 3,61% dan di bawah asumsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 yang sebesar 3,5%.
Laju inflasi yang lebih lambat ini mendapatkan apresiasi dari investor. Indonesia tidak seperti Jepang yang mendambakan inflasi. Sebagai negara berkembang, inflasi yang rendah dan terkendali menjadi hal yang penting.
Sepanjang minggu kemarin, IHSG menguat 1,29% secara point-to-point. Di level Asia, IHSG menjadi yang terbaik kedua, hanya kalah dari Filipina.
Sementara rupiah menguat tajam 1,99% di hadapan greenback. Bahkan rupiah menjadi mata uang terbaik di Benua Kuning, mengalahkan yen Jepang yang saat ini menjadi idola baru.
Secara umum, pekan pertama 2019 sebenarnya bukan periode yang indah bagi pasar keuangan Asia. Tingginya risiko perekonomian global membuat investor cenderung enggan bermain api di instrumen berisiko seperti saham.
Sentimen negatif datang dari perlambatan ekonomi yang semakin nyata. Khusus di Asia, data ekonomi yang melempem bertebaran di mana-mana.
Angka PMI China versi Caixin pada Desember 2018 tercatat 49,7, turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 50,2. Angka di bawah 50 berarti pelaku usaha tengah pesimistis.
Kemudian dari Korea Selatan, PMI versi Nikkei/Markit pada periode yang sama tercatat 49,8. Turun dibandingkan November 2018 yang sebesar 49,9. Lagi-lagi ada aura pesimisme di kalangan dunia usaha Negeri Ginseng.
Sementara angka PMI Taiwan versi Nikkei pada Desember berada di 47,7, turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 48,4. Angka ini menjadi yang terendah sejak September 2015.
Lalu di Singapura, pembacaan awal untuk pertumbuhan ekonomi kuartal IV-2018 adalah 2,2% secara tahunan (year-on-year/YoY). Jauh di bawah konsensus pasar yang dihimpun Reuters yaitu 3,2% YoY.
Kemudian, penjualan ritel di Hong Kong pada November 2018 hanya tumbuh 1,4% YoY. Jauh melambat dibandingkan bulan sebelumnya yang mencatat pertumbuhan 5,9%. Pertumbuhan November juga menjadi yang terlemah sejak Juni 2017.
Data-data tersebut membuat investor memilih untuk bermain aman. Saat ini, 'bunker' perlindungan bagi investor tidak lagi berada di dolar AS. Pelaku pasar lebih memilih beralih ke yen Jepang, dibuktikan dengan penguatan mata uang Negeri Sakura hingga 1,57% di sepanjang pekan lalu.
Namun, ada sentimen positif besar yang mampu membuat kinerja pasar keuangan Asia (termasuk Indonesia) membaik. Mengutip Reuters, AS dan China dikabarkan akan melangsungkan pertemuan tingkat wakil menteri di Beijing pada 7-8 Januari.
Kedua negara akan berdialog mengenai isu-isu perdagangan, menindaklanjuti hasil pertemuan Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping di Argentina awal bulan lalu. Di sela-sela KTT G20 tersebut, Trump dan Xi menyepakati 'gencatan senjata' selama 90 hari.
"Delegasi AS yang dipimpin oleh Wakil Perwakilan Dagang Jeffrey Gerrish akan mengunjungi China untuk melakukan diskusi yang positif dan konstruktif dengan pemerintah China," sebut keterangan tertulis Kementerian Perdagangan China.
Selepas pertemuan Trump-Xi di Buenos Aires, hubungan Washington-Beijing memang semakin mesra. Pertemuan di Beijing pekan depan diharapkan menjadi pembuka jalan menuju damai dagang, sesuatu yang saat diimpikan oleh pelaku pasar. Akibatnya sikap risk aversion pun sirna, dan investor berbondong-bondong masuk ke instrumen berisiko di negara berkembang Asia.
Sementara di Indonesia, sepertinya rilis data inflasi juga memberikan sentimen positif. Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan laju inflasi 2018 sebesar 3,13% YoY. Melambat signifikan dibandingkan 2017 yaitu 3,61% dan di bawah asumsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 yang sebesar 3,5%.
Laju inflasi yang lebih lambat ini mendapatkan apresiasi dari investor. Indonesia tidak seperti Jepang yang mendambakan inflasi. Sebagai negara berkembang, inflasi yang rendah dan terkendali menjadi hal yang penting.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Next Page
Wall Street Awali 2019 dengan impresif
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular