Dolar AS Lengser Keprabon, Rupiah Menguat Hampir 2%

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
05 January 2019 08:54
Dolar AS <i>Lengser Keprabon</i>, Rupiah Menguat Hampir 2%
Ilustrasi Money Changer (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) berhasil menguat signifikan sepanjang pekan ini. Rupiah mampu membuktikan diri pada pekan pertama 2019. 

Sepanjang pekan ini, rupiah menguat 1,99% terhadap greenback secara point-to-point. Luar biasa, nyaris 2%. 

 

Penguatan rupiah begitu mencolok dibandingkan mata uang Asia lainnya. Alhasil, rupiah menjadi mata uang terbaik di Benua Kuning selama sepekan ini. Dalam hal menguat terhadap dolar AS, tidak ada yang sebaik rupiah. 


Berikut pergerakan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Asia dalam seminggu terakhir: 

 

Terlihat bahwa mayoritas mata uang utama Asia mampu mengangkangi greenback. Maklum, dolar AS memang sedang tertekan. Dollar Index (yang mengukur posisi dolar AS terhadap enam mata uang utama dunia) melemah 0,23% selama minggu ini. 

Investor sepertinya merealisasikan proyeksi yang mengemuka sejak akhir 2018, yaitu dolar AS akan lengser keprabon dari singgasana raja mata uang dunia. Sebab, tahun ini kemungkinan besar The Federal Reserve/The Fed tidak akan seagresif tahun lalu dalam hal menaikkan suku bunga acuan. 

Sepanjang 2018, Jerome 'Jay' Powell dan kolega menaikkan Federal Funds Rate sampai empat kali ke median 2,375%. Untuk tahun ini, target median suku bunga acuan The Fed adalah di kisaran 2,8% sehingga pelaku pasar memperkirakan setidaknya ada dua kali kenaikan. Laju kenaikan suku bunga acuan akan berkurang setengah dibandingkan tahun lalu. 

Akan tetapi, sebagian pelaku pasar juga menilai ada kemungkinan The Fed tidak akan menaikkan suku bunga acuan sepanjang 2019. Bahkan ada yang memperkirakan The Fed bakal menurunkannya! 


Ramalan itu bukan tanpa alasan. Data-data ekonomi AS akhir-akhir ini memang kurang ciamik. 

Kemarin malam, US Bureau of Labor Statistics merilis angka pengangguran Desember 2018 yang sebesar 3,9%. Naik dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 3,7%.  

Kemudian angka Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur AS versi ISM pada Desember 2018 tercatat 54,1. Angka ini menjadi yang terendah sejak November 2016. 

Untuk PMI versi IHS Markit, angka pada bulan lalu adalah 53,8. Ini merupakan laju paling lambat sejak September 2017. 

Lalu pada kuartal III-2018, ekonomi AS tumbuh 3,4% secara kuartalan yang disetahunkan (quarterly annualized). Melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yaitu 4,2%. Bahkan untuk kuartal IV-2014, The Fed hanya memperkirakan ekonomi Negeri Adidaya tumbuh 2,6%. 

Berbagai data tersebut seakan memberi konfirmasi bahwa perekonomian AS memang memasuki fase perlambatan. Dampak stimulus pemangkasan tarif Pajak Penghasilan (PPh) yang dirilis pada akhir 2017 sepertinya sudah selesai, ekonomi AS kehabisan nitro untuk melesat. 

Oleh karena itu, muncul pertanyaan apakah tepat bagi The Fed untuk mengencangkan ikat pinggang saat ekonomi memang sudah melambat? Apakah menaikkan suku bunga saat ekonomi lesu tidak menyebabkan perlambatan yang lebih parah, atau bahkan kontraksi? 

Didasari oleh argumen tersebut, maka menjadi masuk akal jika The Fed bisa saja tidak menaikkan suku bunga acuan pada 2019. Bahkan kemungkinan untuk menurunkan menjadi cukup terbuka. 

Kabar tersebut tentunya membuat dolar AS kehilangan keseksiannya. Tanpa kenaikan suku bunga acuan, tidak ada pemanis untuk berinvestasi di aset-aset berbasis dolar AS. Oleh karena itu, investor pun berbondong-bondong meninggalkan mata uang ini. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Faktor lain yang menyebabkan terpelesetnya dolar AS adalah pandangan investor bahwa perlambatan ekonomi bukan monopoli AS. Perlambatan ekonomi juga terjadi di belahan dunia lain. 

Angka PMI China versi Caixin pada Desember 2018 tercatat 49,7, turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 50,2. Angka di bawah 50 berarti pelaku usaha tengah pesimistis.  

Kemudian dari Korea Selatan, PMI versi Nikkei/Markit pada periode yang sama tercatat 49,8. Turun dibandingkan November 2018 yang sebesar 49,9. Lagi-lagi ada aura pesimisme di kalangan dunia usaha Negeri Ginseng. 

Sedangkan angka PMI versi Nikkei/Markit untuk Malaysia edisi Desember 2018 berada di 46,8. Tidak hanya menunjukkan pesimisme, tetapi angka itu menjadi catatan terendah sejak survei PMI dimulai pada 2012.  

Sementara angka PMI Taiwan versi Nikkei pada Desember berada di 47,7, turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 48,4. Angka ini menjadi yang terendah sejak September 2015.

Lalu di Singapura, pembacaan awal untuk pertumbuhan ekonomi kuartal IV-2018 adalah 2,2% secara tahunan (year-on-year/YoY). Jauh di bawah konsensus pasar yang dihimpun Reuters yaitu 3,2% YoY.   

Angka PMI manufaktur di India versi IHS Markit pada Desember tercatat 53,2. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 54. 

Kemudian penjualan properti di Thailand juga diperkirakan tumbuh melambat. Mengutip Bangkok Post, Real Estate Information Center (REIC) Thailand memperkirakan pertumbuhan penjualan properti residensial di wilayah Bangkok Raya pada semester I-2019 sebesar 4,5%. Berada di bawah rata-rata semester-I selama 5 tahun terakhir yaitu 4,6%. 

Sedangkan penjualan ritel di Hong Kong pada November 2018 hanya tumbuh 1,4% YoY. Jauh melambat dibandingkan bulan sebelumnya yang mencatat pertumbuhan 5,9%. Pertumbuhan November juga menjadi yang terlemah sejak Juni 2017. 

Di Eropa, laju inflasi Zona Euro pada November 2018 direvisi ke bawah dari 2% menjadi 1,9%. Ini menunjukkan adanya perlambatan permintaan di Benua Biru. 

Berbagai data ekonomi yang tidak enak tersebut membuat investor bermain aman. Namun tidak seperti biasanya, bermain aman bukan berarti investor berpaling ke dolar AS. Saat ini, yen Jepang menjadi safe haven aset favorit investor. 


Tekanan terhadap dolar AS pun bertambah, dan ini mampu dimanfaatkan oleh mata uang Asia. Termasuk rupiah, yang bahkan mampu menjadi yang terbaik di Benua Kuning.  


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular