
Newsletter
Wall Street Porak-Poranda, IHSG Disikat Habis Hari Ini?
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
10 December 2018 06:36

Sentimen keempat yang perlu diperhatikan pelaku pasar adalah pergerakan dolar AS. Memang, buruknya data-data ekonomi di AS membuka peluang untuk mendorong The Federal Reserve supaya tak terlalu agresif dalam melakukan normalisasi suku bunga acuan.
Bahkan, pelaku pasar sejatinya sudah meyakini hal ini. Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak Fed Fund futures per 9 Desember 2018, probabilitas kenaikan suku bunga acuan sebanyak 3 kali pada tahun depan hanyalah sebesar 2,8% (dengan asumsi ada kenaikan sebesar 25 bps dulu pada bulan ini), anjlok dari posisi 1 bulan lalu yang sebesar 19,4%.
Justru, pelaku pasar kini meyakini bahwa The Fed tak akan menaikkan suku bunga acuan pada tahun depan. Probabilitas FFR berada di level 2,25-2,5% pada tahun 2019 adalah sebesar 38,3%, naik dari posisi bulan lalu yang hanya sebesar 10,7%.
Probabilitas untuk kenaikan suku bunga acuan sebesar 1 kali juga cukup besar, yakni 34,6%. Untuk kenaikan 2 kali, probabilitasnya adalah 13,6%.
Pada kondisi normal, hal ini tentu berpotensi membuat dolar AS loyo. Tapi jangan senang dulu. Pasalnya ya itu tadi, sinyal resesi di AS masih kental terasa. Kala perekonomian AS mengalami resesi, tentu negara-negara Asia akan merasakan dampaknya. Akibatnya, dolar AS selaku safe haven bisa menjadi incaran investor.
Sejatinya, AS menjadi pihak yang paling dirugikan ketika resesi terjadi di sana. Saham-saham di Wall Street dan dolar AS akan dilepas investor.
Namun, mengingat kini resesi belum benar-benar terjadi (bahkan belum ‘dikonfirmasi’ oleh inversi spread yield obligasi tenor 3 bulan dan 10 tahun), dolar AS selaku safe haven masih bisa menjadi pilihan oleh investor.
Ketika resesi memang benar-benar terjadi nantinya, saham-saham di Wall Street dan dolar AS akan dilepas dan investor akan beralih memeluk emas yang juga merupakan safe haven. Hal ini terjadi pada krisis subprime mortgage tahun 2007-2009.
Sentimen kelima datang dari pergerakan harga minyak mentah dunia. Pada perdagangan hari Jumat (7/12/2018), harga minyak WTI kontrak pengiriman Januari 2019 menguat 1,24% ke level US$ 52,13/barel, sementara minyak brent kontrak pengiriman Februari 2019 menguat 2,68% ke level US$ 61,67/barel.
Harga minyak mentah menguat pasca negara-negara eksportir minyak dunia, baik OPEC maupun non-OPEC, menyepakati pemotongan produksi sebanyak 1,2 juta barel per hari. Rincinya adalah 15 negara OPEC sepakat memangkas produksi sebanyak 800 ribu barel per hari, sementara Rusia dan produsen minyak sekutu lainnya mengurangi produksi sebanyak 400 ribu barel per hari.
Kesepakatan itu lebih rendah dari yang awalnya direncanakan. Sebelumnya, Arab Saudi mengindikasikan ingin OPEC dan sekutunya menahan pasokan paling tidak 1,3 juta barel per hari.
Namun begitu, pemotongan yang saat ini disepakati tetap saja besar, sehingga berpotensi mendorong naik harga minyak mentah dengan signifikan pada perdagangan hari ini.
Melesatnya harga minyak mentah akan memunculkan kekhawatiran bahwa defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) masih akan tertekan pada kuartal-IV 2018. Sebelumnya pada kuartal-II dan III, CAD membengkak di atas 3% dari PDB, seiring dengan besarnya defisit dagang di pos minyak dan gas.
Pada akhirnya, rupiah dan IHSG bisa dibawa ke zona merah.
NEXT
(ank/prm)
Bahkan, pelaku pasar sejatinya sudah meyakini hal ini. Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak Fed Fund futures per 9 Desember 2018, probabilitas kenaikan suku bunga acuan sebanyak 3 kali pada tahun depan hanyalah sebesar 2,8% (dengan asumsi ada kenaikan sebesar 25 bps dulu pada bulan ini), anjlok dari posisi 1 bulan lalu yang sebesar 19,4%.
Justru, pelaku pasar kini meyakini bahwa The Fed tak akan menaikkan suku bunga acuan pada tahun depan. Probabilitas FFR berada di level 2,25-2,5% pada tahun 2019 adalah sebesar 38,3%, naik dari posisi bulan lalu yang hanya sebesar 10,7%.
Probabilitas untuk kenaikan suku bunga acuan sebesar 1 kali juga cukup besar, yakni 34,6%. Untuk kenaikan 2 kali, probabilitasnya adalah 13,6%.
Pada kondisi normal, hal ini tentu berpotensi membuat dolar AS loyo. Tapi jangan senang dulu. Pasalnya ya itu tadi, sinyal resesi di AS masih kental terasa. Kala perekonomian AS mengalami resesi, tentu negara-negara Asia akan merasakan dampaknya. Akibatnya, dolar AS selaku safe haven bisa menjadi incaran investor.
Sejatinya, AS menjadi pihak yang paling dirugikan ketika resesi terjadi di sana. Saham-saham di Wall Street dan dolar AS akan dilepas investor.
Namun, mengingat kini resesi belum benar-benar terjadi (bahkan belum ‘dikonfirmasi’ oleh inversi spread yield obligasi tenor 3 bulan dan 10 tahun), dolar AS selaku safe haven masih bisa menjadi pilihan oleh investor.
Ketika resesi memang benar-benar terjadi nantinya, saham-saham di Wall Street dan dolar AS akan dilepas dan investor akan beralih memeluk emas yang juga merupakan safe haven. Hal ini terjadi pada krisis subprime mortgage tahun 2007-2009.
Sentimen kelima datang dari pergerakan harga minyak mentah dunia. Pada perdagangan hari Jumat (7/12/2018), harga minyak WTI kontrak pengiriman Januari 2019 menguat 1,24% ke level US$ 52,13/barel, sementara minyak brent kontrak pengiriman Februari 2019 menguat 2,68% ke level US$ 61,67/barel.
Harga minyak mentah menguat pasca negara-negara eksportir minyak dunia, baik OPEC maupun non-OPEC, menyepakati pemotongan produksi sebanyak 1,2 juta barel per hari. Rincinya adalah 15 negara OPEC sepakat memangkas produksi sebanyak 800 ribu barel per hari, sementara Rusia dan produsen minyak sekutu lainnya mengurangi produksi sebanyak 400 ribu barel per hari.
Kesepakatan itu lebih rendah dari yang awalnya direncanakan. Sebelumnya, Arab Saudi mengindikasikan ingin OPEC dan sekutunya menahan pasokan paling tidak 1,3 juta barel per hari.
Namun begitu, pemotongan yang saat ini disepakati tetap saja besar, sehingga berpotensi mendorong naik harga minyak mentah dengan signifikan pada perdagangan hari ini.
Melesatnya harga minyak mentah akan memunculkan kekhawatiran bahwa defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) masih akan tertekan pada kuartal-IV 2018. Sebelumnya pada kuartal-II dan III, CAD membengkak di atas 3% dari PDB, seiring dengan besarnya defisit dagang di pos minyak dan gas.
Pada akhirnya, rupiah dan IHSG bisa dibawa ke zona merah.
NEXT
(ank/prm)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular