
Newsletter
'Kebakaran' Wall Street Sudah Padam, Saatnya Balas Dendam?
Hidayat Setiaji & Raditya Hanung & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
22 November 2018 05:27

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia menjalani hari yang buruk kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) ditutup melemah.
Pada perdagangan kemarin, IHSG berakhir dengan koreksi yang cukup dalam yaitu 0,95%. Sementara bursa saham utama Asia ditutup variatif di mana indeks Nikkei 225 melemah 0,35% dan Kospi turun 0,29%. Namun Shanghai Composite mampu naik 0,21%, Hang Seng bertambah 0,51%, dan Straits Times menguat 0,39%.
Sedangkan rupiah ditutup melemah 0,1% di hadapan greenback. Seperti bursa saham, maya uang Benua Kuning juga bergerak mixed.
Mata uang yang mampu menguat adalah yuan China, dolar Taiwan, rupee India, dolar Singapura, baht Thailand, dan peso Filipina. Sementara selain rupiah, mata uang yang melemah adalah dolar Hong Kong, yen Jepang, won Korea Selatan, dan ringgit Malaysia.
Sejatinya, sentimen dari eksternal cukup mendukung. Pertama, ada berita baik dari Eropa. Reuters mengabarkan, pemerintah Italia bersedia berkompromi soal rancangan anggaran 2019.
Sebelumnya, Uni Eropa sudah menolak rencana anggaran tersebut karena dinilai terlalu agresif. Defisit anggaran ditargetkan mencapai 2,4% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Kenaikan defisit akan membuat utang pemerintah Italia semakin menggunung, dan risiko krisis fiskal ikut membesar.
Pemerintahan Perdana Menteri Giuseppe Conte kemudian mengirim kembali rancangan anggaran yang sama, tanpa perubahan. Sikap ngotot Roma sempat membuat hubungan dengan Brussel menegang.
Namun kini pemerintah Italia melunak. Wakil Perdana Menteri Matteo Salvini menyatakan membuka kemungkinan untuk mengkaji ulang rencana anggaran 2019. Pemerintah siap untuk mengurangi belanja negara. Kabar ini meredakan satu risiko di pasar keuangan global, yaitu kemungkinan krisis fiskal di Negeri Pizza.
Kedua, pelaku pasar mengapresiasi kabar positif terkait relasi antara AS dengan Arab Saudi. Sebelumnya, sumber-sumber dari intelijen AS menyebut bahwa pembunuhan Kolumnis Washington Post Jamal Khashoggi merupakan perintah dari Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman.
Namun, Presiden AS Donald Trump mengatakan bahwa AS ingin tetap menjadi "mitra yang solid" dari Arab Saudi, terlepas dari dirinya yang juga mengatakan bahwa Putra Mahkota mungkin sudah tahu mengenai rencana untuk membunuh Khashoggi. Trump dalam pernyataannya, mengindikasikan bahwa dia tidak punya niat untuk menghentikan kontrak militer dengan Riyadh.
Dengan 'pengampunan' yang diberikan oleh Trump kepada Putra Mahkota Arab Saudi, maka risiko besar lainnya yang menghantui pasar keuangan dunia bisa dibilang sirna. Arab Saudi jauh dari sanksi.
Namun ada pula sentimen negatif yang menghantui pasar keuangan dunia. Pertama adalah hubungan AS-China yang kembali tegang. KTT Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) pekan lalu yang gagal menghasilkan komunike ternyata berbuntut panjang.
"Ada satu negara yang memaksa memasukkan ide mereka ke teks yang harus disepakati pihak-pihak lain, membenarkan proteksionisme dan unilateralisme. Tidak mau menerima masukan dari China dan negara-negara lainnya," tegas Wang Yi, Penasihat Negara China, seperti dikutip Reuters.
Namun AS membantah tuduhan itu. Gedung Putih menilai China 'memelintir' fakta yang sebenarnya.
"Ada 20 dari 21 negara yang siap menandatangani komunike, hanya China yang tidak bersedia. Kami berusaha menyelesaikan ini, tetapi mereka tidak mau," kata seorang pejabat pemerintah AS kepada Reuters.
Dikhawatirkan hubungan yang buruk ini berlanjut hingga ke pertemuan Presiden Trump dengan Presiden China Xi Jinping di sela-sela KTT G20 di Argentina akhir November hingga awal Desember mendatang. Padahal pelaku pasar sudah berharap banyak dari pertemuan ini.
"Gedung Putih melihat KTT ASEAN dan APEC adalah panggung pembuka untuk G20. Kami tidak ingin berharap banyak, saya rasa ekspektasi tidak akan terlalu tinggi setelah pengalaman ini (di APEC)," lanjut sang sumber.
Kedua adalah harga minyak. Setelah anjlok 6%, harga minyak brent dan light sweet melesat di kisaran 1%.
Investor menilai bisa saja harga minyak memulai fase kebangkitan alias rebound. Harga minyak yang sudah murah, bahkan secara year-to-date sudah minus, bisa menarik minat investor untuk memborong komoditas ini.
Bagi Indonesia, kenaikan harga minyak bukan berita baik. Sebab Indonesia adalah negara net importir migas, sehingga lonjakan harga minyak akan membuat impor semakin mahal. Saat harga minyak naik, maka impor migas akan lebih mahal dan defisit neraca migas semakin parah.
Neraca migas menjadi biang kerok defisit yang dialami neraca perdagangan dan transaksi berjalan (current account). Bila transaksi berjalan terus-menerus defisit karena beban di neraca migas, maka rupiah akan sulit menguat karena pasokan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa seret cenderung kurang.
Pada perdagangan kemarin, IHSG berakhir dengan koreksi yang cukup dalam yaitu 0,95%. Sementara bursa saham utama Asia ditutup variatif di mana indeks Nikkei 225 melemah 0,35% dan Kospi turun 0,29%. Namun Shanghai Composite mampu naik 0,21%, Hang Seng bertambah 0,51%, dan Straits Times menguat 0,39%.
Sedangkan rupiah ditutup melemah 0,1% di hadapan greenback. Seperti bursa saham, maya uang Benua Kuning juga bergerak mixed.
Mata uang yang mampu menguat adalah yuan China, dolar Taiwan, rupee India, dolar Singapura, baht Thailand, dan peso Filipina. Sementara selain rupiah, mata uang yang melemah adalah dolar Hong Kong, yen Jepang, won Korea Selatan, dan ringgit Malaysia.
Sejatinya, sentimen dari eksternal cukup mendukung. Pertama, ada berita baik dari Eropa. Reuters mengabarkan, pemerintah Italia bersedia berkompromi soal rancangan anggaran 2019.
Sebelumnya, Uni Eropa sudah menolak rencana anggaran tersebut karena dinilai terlalu agresif. Defisit anggaran ditargetkan mencapai 2,4% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Kenaikan defisit akan membuat utang pemerintah Italia semakin menggunung, dan risiko krisis fiskal ikut membesar.
Pemerintahan Perdana Menteri Giuseppe Conte kemudian mengirim kembali rancangan anggaran yang sama, tanpa perubahan. Sikap ngotot Roma sempat membuat hubungan dengan Brussel menegang.
Namun kini pemerintah Italia melunak. Wakil Perdana Menteri Matteo Salvini menyatakan membuka kemungkinan untuk mengkaji ulang rencana anggaran 2019. Pemerintah siap untuk mengurangi belanja negara. Kabar ini meredakan satu risiko di pasar keuangan global, yaitu kemungkinan krisis fiskal di Negeri Pizza.
Kedua, pelaku pasar mengapresiasi kabar positif terkait relasi antara AS dengan Arab Saudi. Sebelumnya, sumber-sumber dari intelijen AS menyebut bahwa pembunuhan Kolumnis Washington Post Jamal Khashoggi merupakan perintah dari Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman.
Namun, Presiden AS Donald Trump mengatakan bahwa AS ingin tetap menjadi "mitra yang solid" dari Arab Saudi, terlepas dari dirinya yang juga mengatakan bahwa Putra Mahkota mungkin sudah tahu mengenai rencana untuk membunuh Khashoggi. Trump dalam pernyataannya, mengindikasikan bahwa dia tidak punya niat untuk menghentikan kontrak militer dengan Riyadh.
Dengan 'pengampunan' yang diberikan oleh Trump kepada Putra Mahkota Arab Saudi, maka risiko besar lainnya yang menghantui pasar keuangan dunia bisa dibilang sirna. Arab Saudi jauh dari sanksi.
Namun ada pula sentimen negatif yang menghantui pasar keuangan dunia. Pertama adalah hubungan AS-China yang kembali tegang. KTT Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) pekan lalu yang gagal menghasilkan komunike ternyata berbuntut panjang.
"Ada satu negara yang memaksa memasukkan ide mereka ke teks yang harus disepakati pihak-pihak lain, membenarkan proteksionisme dan unilateralisme. Tidak mau menerima masukan dari China dan negara-negara lainnya," tegas Wang Yi, Penasihat Negara China, seperti dikutip Reuters.
Namun AS membantah tuduhan itu. Gedung Putih menilai China 'memelintir' fakta yang sebenarnya.
"Ada 20 dari 21 negara yang siap menandatangani komunike, hanya China yang tidak bersedia. Kami berusaha menyelesaikan ini, tetapi mereka tidak mau," kata seorang pejabat pemerintah AS kepada Reuters.
Dikhawatirkan hubungan yang buruk ini berlanjut hingga ke pertemuan Presiden Trump dengan Presiden China Xi Jinping di sela-sela KTT G20 di Argentina akhir November hingga awal Desember mendatang. Padahal pelaku pasar sudah berharap banyak dari pertemuan ini.
"Gedung Putih melihat KTT ASEAN dan APEC adalah panggung pembuka untuk G20. Kami tidak ingin berharap banyak, saya rasa ekspektasi tidak akan terlalu tinggi setelah pengalaman ini (di APEC)," lanjut sang sumber.
Kedua adalah harga minyak. Setelah anjlok 6%, harga minyak brent dan light sweet melesat di kisaran 1%.
Investor menilai bisa saja harga minyak memulai fase kebangkitan alias rebound. Harga minyak yang sudah murah, bahkan secara year-to-date sudah minus, bisa menarik minat investor untuk memborong komoditas ini.
Bagi Indonesia, kenaikan harga minyak bukan berita baik. Sebab Indonesia adalah negara net importir migas, sehingga lonjakan harga minyak akan membuat impor semakin mahal. Saat harga minyak naik, maka impor migas akan lebih mahal dan defisit neraca migas semakin parah.
Neraca migas menjadi biang kerok defisit yang dialami neraca perdagangan dan transaksi berjalan (current account). Bila transaksi berjalan terus-menerus defisit karena beban di neraca migas, maka rupiah akan sulit menguat karena pasokan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa seret cenderung kurang.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Next Page
'Kebakaran' di Wall Street Sudah Padam
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular