
Newsletter
Awas, Wall Street Masih Panas!
Hidayat Setiaji & Raditya Hanung & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
21 November 2018 05:46

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia patut bersyukur karena libur peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW kemarin. Kalau tidak, kemungkinan besar Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bakal melemah.
Kemarin, bursa saham Asia bagai lautan merah. Indeks Nikkei 225 ditutup anjlok 1,09%, Hang Seng amblas 2,02%, Shanghai Composite ambrol 2,13%, Kospi terkoreksi 0,86%, dan Straits Times jatuh 1,24%.
Kejatuhan bursa saham Benua Kuning senada dengan Wall Street yang terlebih dulu terperosok. Dow Jones Industrial Average (DJIA) anjlok 1,56%, S&P 500 turun 1,66%, dan Nasdaq Composite melemah signifikan 3,03%.
Sementara nilai tukar mata uang utama Asia terhadap dolar AS mayoritas juga melemah. Kemarin petang, yuan China melemah 0,02%, won Korea Selatan terdepresiasi 0,11%, dolar Taiwan minus 0,1%, dan dolar Singapura berkurang 0,03%.
'Kebakaran' yang terjadi di Wall Street memaksa investor bermain aman. Dolar AS (dan yen Jepang) menjadi aset-aset utama pilihan pelaku pasar. Apalagi tengah malam tadi ada lelang obligasi pemerintah AS untuk tenor pendek yaitu 4 dan 8 pekan.
Hasilnya adalah pemerintahan Presiden Donald Trump memenangkan US$ 55 miliar untuk tenor 4 pekan dan US$ 30 miliar untuk tenor 8 pekan. Angka ini US$ 5 miliar di atas target indikatif, tingginya permintaan memaksa pemerintah AS untuk menambah jumlah penerbitan.
Hasil tersebut menggambarkan bahwa investor memang sedang getol dan fokus untuk masuk ke pasar surat utang pemerintah Negeri Paman Sam. Instrumen-instrumen lain, apalagi yang berisiko di negara berkembang, menjadi nomor kesekian. Ini membuat bursa saham dan mata uang Asia kompak melemah.
Namun Indonesia (dan Malaysia) tidak perlu mengalami itu. Sekali lagi hari libur menjadi penyelamat pasar keuangan Tanah Air.
Aksi jual besar-besaran (sell off) kembali terjadi dan lagi-lagi menimpa saham-saham teknologi. Apple anjlok 4,78%, Amazon ambrol 1,11%, Netflix jatuh 1,34%, Microsoft amblas 2,78%, dan Intel terperosok 1,27%.
Isu yang membayangi masih sama dengan kemarin, yaitu kekhawatiran investor terhadap prospek Apple. Penjualan iPhone seri terbaru sepertinya kurang ciamik. Sejumlah pemasok komponen untuk iPhone dikabarkan mendapat instruksi untuk tidak menambah lini produksi karena memang permintaan kurang oke.
Tekanan hari ini bertambah karena saham-saham energi ikut jatuh. Saham Exxon Mobil anjlok 2,84% sedangkan Chevron amblas 2,78%.
Harga minyak yang jatuh dalam menyeret saham-saham energi ke zona merah. Pada pukul 04:53 WIB, harga minyak jenis brent melemah sampai 6,53% dan light sweet terkoreksi dalam yaitu 6,68%. Parah sekali.
Penyebab penurunan harga minyak adalah risiko perlambatan ekonomi global. Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan ekonomi dunia pada 2018 dan 2019 tumbuh 3,7%. Melambat dibandingkan proyeksi sebelumnya yaitu 3,9%.
Perang dagang AS vs China masih menjadi faktor penyebab perlambatan ekonomi global. Kala dua kekuatan ekonomi terbesar dunia saling hambat dalam perdagangan, maka rantai pasok global akan terpengaruh.
Selain itu, mesin pertumbuhan ekonomi dunia memang sedang pincang. AS boleh dibilang menjadi satu-satunya negara dengan pertumbuhan ekonomi yang melaju kencang sementara Eropa, Jepang, China, dan negara-negara berkembang malah melambat.
Saat ekonomi global melambat dan berjalan dengan satu mesin, maka permintaan energi juga akan berkurang. Artinya, permintaan minyak turun dan harganya ikut jatuh.
Kondisi ini diperparah dengan rencana Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) mengurangi produksi hingga 1,4 juta barel pada 2019. Hal ini didasari perhitungan bahwa permintaan minyak dunia pada 2019 naik 1,29 juta barel/hari menjadi 31,54 juta barel/hari. Sedangkan produksi minyak tahun depan diperkirakan naik 127.000 barel/hari menjadi 32,9 juta barel/hari. Artinya ada potensi kelebihan pasokan (over supply) sebesar 1,36 juta barel/hari.
Pengurangan produksi diharapkan bisa mendongkrak harga minyak. Namun dengan ekonomi global yang melambat, kenaikan harga minyak adalah bencana.
Bayangkan saja, ekonomi lesu tetapi harga minyak naik. Hasilnya malah harga minyak bisa semakin jatuh karena permintaan tambah turun.
"Pasokan di pasar saat ini sangat baik. Oleh karena itu, mengurangi produksi justru akan berdampak negatif karena pasar menjadi ketat. Saya harap produsen dan konsumen menggunakan akal sehat dalam situasi yang sulit seperti ini," tegas Fatih Birol, Ketua International Energy Agency (IEA), dikutip dari Reuters.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu 'kebakaran' di bursa saham New York.
Indonesia tidak bisa menghindar lagi ketika bursa saham Asia ikut terbakar. IHSG sepertinya akan berada di bibir jurang, sulit menghindari kejatuhan.
Kedua adalah harga minyak, yang sukses membuat Wall Street terkoreksi dalam. Namun bagi Indonesia, penurunan harga minyak bisa berarti kabar buruk atau kabar baik.
Kabar buruknya adalah penurunan harga minyak akan membuat emiten energi dan pertambangan kurang diapresiasi, layaknya Exxon dan Chevron di Wall Street. Jika harga saham emiten energi dan pertambangan turun, maka bisa saja membawa serta IHSG secara keseluruhan.
Kabar baiknya adalah penurunan harga minyak akan membuat impor migas menjadi lebih murah. Bagi negara net importir migas seperti Indonesia, ini tentu menjadi berkah. Tidak perlu banyak valas untuk mengimpor migas, sehingga mengurangi beban neraca perdagangan dan transaksi berjalan (current account). Artinya fundamental rupiah akan lebih kuat sehingga mata uang Tanah Air menjadi stabil.
Sentimen ketiga adalah nilai tukar dolar AS. Meski penurunan harga minyak positif buat rupiah, tetapi mata uang ini tetap akan sulit menguat kalau dolar AS sedang sangat perkasa. Pada pukul 05:03 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback terhadap enam mata uang utama) menguat cukup tajam yaitu 0,64%.
Sikap investor yang memilih bermain aman membuat dolar AS menjadi primadona. Permintaan terhadap mata uang ini meningkat dan nilainya menguat.
Risiko memang sedang tinggi, utamanya akibat hubungan AS-China yang kembali tegang. Penyebabnya adalah kegagalan Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) dalam menghasilkan komunike dalam KTT di Papua Nugini. Ini adalah kali pertama sepanjang sejarah APEC gagal menelurkan kesepakatan bersama.
AS dan China bersitegang karena masalah perdagangan. Sejak awal tahun, kedua negara ini memang terlibat perang dagang dengan saling berbalas mengenakan bea masuk.
China menuding AS memaksakan kehendak dan ingin membenarkan praktik proteksionisme untuk masuk dalam salah satu poin komunike APEC. Menurut Beijing, Washington menjadikan APEC sebagai arena untuk melampiaskan amarah. China pun terpaksa masuk ke arena pertandingan tersebut.
"Ada satu negara yang memaksa memasukkan ide mereka ke teks yang harus disepakati pihak-pihak lain, membenarkan proteksionisme dan unilateralisme. Tidak mau menerima masukan dari China dan negara-negara lainnya," tegas Wang Yi, Penasihat Negara China, seperti dikutip Reuters.
Namun AS membantah tuduhan itu. Gedung Putih menilai China 'memelintir' fakta yang sebenarnya.
"Ada 20 dari 21 negara yang siap menandatangani komunike, hanya China yang tidak bersedia. Kami berusaha menyelesaikan ini, tetapi mereka tidak mau," kata seorang pejabat pemerintah AS kepada Reuters.
Dikhawatirkan hubungan yang buruk ini berlanjut hingga ke pertemuan Presiden Trump dengan Presiden China Xi Jinping di sela-sela KTT G20 di Argentina akhir November hingga awal Desember mendatang. Padahal pelaku pasar sudah berharap banyak dari pertemuan ini.
"Gedung Putih melihat KTT ASEAN dan APEC adalah panggung pembuka untuk G20. Kami tidak ingin berharap banyak, saya rasa ekspektasi tidak akan terlalu tinggi setelah pengalaman ini (di APEC)," lanjut sang sumber.
Perkembangan ini membuat pelaku pasar panik dan mencari selamat masing-masing. Instrumen berisiko tidak menjadi pilihan utama, semua memilih aset aman (safe haven). Dolar AS pun kebanjiran peminat sehingga nilainya menguat.
Rupiah cs di Asia harus waspada. Jika pola ini berlanjut, maka dolar AS akan kembali digdaya di Benua Kuning.
Rupiah sudah menguat dalam 5 hari perdagangan. Apabila dolar AS terus sangar, maka kemungkinan streak penguatan rupiah akan terhenti hari ini.
(BERLANJUT KE HALAMAN 4)
Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
Investor juga perlu mencermati agenda korporasi yang akan diselenggarakan pada hari ini, yaitu:
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article IHSG Sudah Bangkit Saatnya Rupiah Menguat
Kemarin, bursa saham Asia bagai lautan merah. Indeks Nikkei 225 ditutup anjlok 1,09%, Hang Seng amblas 2,02%, Shanghai Composite ambrol 2,13%, Kospi terkoreksi 0,86%, dan Straits Times jatuh 1,24%.
Kejatuhan bursa saham Benua Kuning senada dengan Wall Street yang terlebih dulu terperosok. Dow Jones Industrial Average (DJIA) anjlok 1,56%, S&P 500 turun 1,66%, dan Nasdaq Composite melemah signifikan 3,03%.
Sementara nilai tukar mata uang utama Asia terhadap dolar AS mayoritas juga melemah. Kemarin petang, yuan China melemah 0,02%, won Korea Selatan terdepresiasi 0,11%, dolar Taiwan minus 0,1%, dan dolar Singapura berkurang 0,03%.
'Kebakaran' yang terjadi di Wall Street memaksa investor bermain aman. Dolar AS (dan yen Jepang) menjadi aset-aset utama pilihan pelaku pasar. Apalagi tengah malam tadi ada lelang obligasi pemerintah AS untuk tenor pendek yaitu 4 dan 8 pekan.
Hasilnya adalah pemerintahan Presiden Donald Trump memenangkan US$ 55 miliar untuk tenor 4 pekan dan US$ 30 miliar untuk tenor 8 pekan. Angka ini US$ 5 miliar di atas target indikatif, tingginya permintaan memaksa pemerintah AS untuk menambah jumlah penerbitan.
Hasil tersebut menggambarkan bahwa investor memang sedang getol dan fokus untuk masuk ke pasar surat utang pemerintah Negeri Paman Sam. Instrumen-instrumen lain, apalagi yang berisiko di negara berkembang, menjadi nomor kesekian. Ini membuat bursa saham dan mata uang Asia kompak melemah.
Namun Indonesia (dan Malaysia) tidak perlu mengalami itu. Sekali lagi hari libur menjadi penyelamat pasar keuangan Tanah Air.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Akan tetapi, Indonesia hari ini tidak bisa menghindar karena 'kebakaran' di Wall Street masih terjadi dan bahkan semakin parah. Pada perdagangan yang berakhir dini hari tadi, DJIA anjlok lebih dalam yaitu 2,21%. Sementara S&P 500 amblas 1,81%, dan Nasdaq jatuh 1,75%. Aksi jual besar-besaran (sell off) kembali terjadi dan lagi-lagi menimpa saham-saham teknologi. Apple anjlok 4,78%, Amazon ambrol 1,11%, Netflix jatuh 1,34%, Microsoft amblas 2,78%, dan Intel terperosok 1,27%.
Isu yang membayangi masih sama dengan kemarin, yaitu kekhawatiran investor terhadap prospek Apple. Penjualan iPhone seri terbaru sepertinya kurang ciamik. Sejumlah pemasok komponen untuk iPhone dikabarkan mendapat instruksi untuk tidak menambah lini produksi karena memang permintaan kurang oke.
Tekanan hari ini bertambah karena saham-saham energi ikut jatuh. Saham Exxon Mobil anjlok 2,84% sedangkan Chevron amblas 2,78%.
Harga minyak yang jatuh dalam menyeret saham-saham energi ke zona merah. Pada pukul 04:53 WIB, harga minyak jenis brent melemah sampai 6,53% dan light sweet terkoreksi dalam yaitu 6,68%. Parah sekali.
Penyebab penurunan harga minyak adalah risiko perlambatan ekonomi global. Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan ekonomi dunia pada 2018 dan 2019 tumbuh 3,7%. Melambat dibandingkan proyeksi sebelumnya yaitu 3,9%.
Perang dagang AS vs China masih menjadi faktor penyebab perlambatan ekonomi global. Kala dua kekuatan ekonomi terbesar dunia saling hambat dalam perdagangan, maka rantai pasok global akan terpengaruh.
Selain itu, mesin pertumbuhan ekonomi dunia memang sedang pincang. AS boleh dibilang menjadi satu-satunya negara dengan pertumbuhan ekonomi yang melaju kencang sementara Eropa, Jepang, China, dan negara-negara berkembang malah melambat.
Saat ekonomi global melambat dan berjalan dengan satu mesin, maka permintaan energi juga akan berkurang. Artinya, permintaan minyak turun dan harganya ikut jatuh.
Kondisi ini diperparah dengan rencana Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) mengurangi produksi hingga 1,4 juta barel pada 2019. Hal ini didasari perhitungan bahwa permintaan minyak dunia pada 2019 naik 1,29 juta barel/hari menjadi 31,54 juta barel/hari. Sedangkan produksi minyak tahun depan diperkirakan naik 127.000 barel/hari menjadi 32,9 juta barel/hari. Artinya ada potensi kelebihan pasokan (over supply) sebesar 1,36 juta barel/hari.
Pengurangan produksi diharapkan bisa mendongkrak harga minyak. Namun dengan ekonomi global yang melambat, kenaikan harga minyak adalah bencana.
Bayangkan saja, ekonomi lesu tetapi harga minyak naik. Hasilnya malah harga minyak bisa semakin jatuh karena permintaan tambah turun.
"Pasokan di pasar saat ini sangat baik. Oleh karena itu, mengurangi produksi justru akan berdampak negatif karena pasar menjadi ketat. Saya harap produsen dan konsumen menggunakan akal sehat dalam situasi yang sulit seperti ini," tegas Fatih Birol, Ketua International Energy Agency (IEA), dikutip dari Reuters.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu 'kebakaran' di bursa saham New York.
Indonesia tidak bisa menghindar lagi ketika bursa saham Asia ikut terbakar. IHSG sepertinya akan berada di bibir jurang, sulit menghindari kejatuhan.
Kedua adalah harga minyak, yang sukses membuat Wall Street terkoreksi dalam. Namun bagi Indonesia, penurunan harga minyak bisa berarti kabar buruk atau kabar baik.
Kabar buruknya adalah penurunan harga minyak akan membuat emiten energi dan pertambangan kurang diapresiasi, layaknya Exxon dan Chevron di Wall Street. Jika harga saham emiten energi dan pertambangan turun, maka bisa saja membawa serta IHSG secara keseluruhan.
Kabar baiknya adalah penurunan harga minyak akan membuat impor migas menjadi lebih murah. Bagi negara net importir migas seperti Indonesia, ini tentu menjadi berkah. Tidak perlu banyak valas untuk mengimpor migas, sehingga mengurangi beban neraca perdagangan dan transaksi berjalan (current account). Artinya fundamental rupiah akan lebih kuat sehingga mata uang Tanah Air menjadi stabil.
Sentimen ketiga adalah nilai tukar dolar AS. Meski penurunan harga minyak positif buat rupiah, tetapi mata uang ini tetap akan sulit menguat kalau dolar AS sedang sangat perkasa. Pada pukul 05:03 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback terhadap enam mata uang utama) menguat cukup tajam yaitu 0,64%.
Sikap investor yang memilih bermain aman membuat dolar AS menjadi primadona. Permintaan terhadap mata uang ini meningkat dan nilainya menguat.
Risiko memang sedang tinggi, utamanya akibat hubungan AS-China yang kembali tegang. Penyebabnya adalah kegagalan Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) dalam menghasilkan komunike dalam KTT di Papua Nugini. Ini adalah kali pertama sepanjang sejarah APEC gagal menelurkan kesepakatan bersama.
AS dan China bersitegang karena masalah perdagangan. Sejak awal tahun, kedua negara ini memang terlibat perang dagang dengan saling berbalas mengenakan bea masuk.
China menuding AS memaksakan kehendak dan ingin membenarkan praktik proteksionisme untuk masuk dalam salah satu poin komunike APEC. Menurut Beijing, Washington menjadikan APEC sebagai arena untuk melampiaskan amarah. China pun terpaksa masuk ke arena pertandingan tersebut.
"Ada satu negara yang memaksa memasukkan ide mereka ke teks yang harus disepakati pihak-pihak lain, membenarkan proteksionisme dan unilateralisme. Tidak mau menerima masukan dari China dan negara-negara lainnya," tegas Wang Yi, Penasihat Negara China, seperti dikutip Reuters.
Namun AS membantah tuduhan itu. Gedung Putih menilai China 'memelintir' fakta yang sebenarnya.
"Ada 20 dari 21 negara yang siap menandatangani komunike, hanya China yang tidak bersedia. Kami berusaha menyelesaikan ini, tetapi mereka tidak mau," kata seorang pejabat pemerintah AS kepada Reuters.
Dikhawatirkan hubungan yang buruk ini berlanjut hingga ke pertemuan Presiden Trump dengan Presiden China Xi Jinping di sela-sela KTT G20 di Argentina akhir November hingga awal Desember mendatang. Padahal pelaku pasar sudah berharap banyak dari pertemuan ini.
"Gedung Putih melihat KTT ASEAN dan APEC adalah panggung pembuka untuk G20. Kami tidak ingin berharap banyak, saya rasa ekspektasi tidak akan terlalu tinggi setelah pengalaman ini (di APEC)," lanjut sang sumber.
Perkembangan ini membuat pelaku pasar panik dan mencari selamat masing-masing. Instrumen berisiko tidak menjadi pilihan utama, semua memilih aset aman (safe haven). Dolar AS pun kebanjiran peminat sehingga nilainya menguat.
Rupiah cs di Asia harus waspada. Jika pola ini berlanjut, maka dolar AS akan kembali digdaya di Benua Kuning.
Rupiah sudah menguat dalam 5 hari perdagangan. Apabila dolar AS terus sangar, maka kemungkinan streak penguatan rupiah akan terhenti hari ini.
(BERLANJUT KE HALAMAN 4)
Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
- Rilis data pemesanan barang tahan lama AS periode Oktober 2018 (20:30 WIB).
- Rilis data klaim pengangguran AS dalam sepekan hingga tanggal 16 Oktober 2018 (20:30 WIB).
- Rilis data cadangan minyak mentah AS dalam sepekan hingga 16 Oktober 2018 (22:30 WIB).
Investor juga perlu mencermati agenda korporasi yang akan diselenggarakan pada hari ini, yaitu:
Perusahaan | Jenis Kegiatan | Waktu |
PT Bank Yudha Bhakti Tbk (BBYB) | RUPSLB | 10:00 |
PT Bakrie & Brothers Tbk (BNBR) | RUPSLB | 14:00 |
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (Q III-2018 YoY) | 5,17% |
Inflasi (Oktober 2018 YoY) | 3,16% |
BI 7 Day Reverse Repo Rate (November 2018) | 6% |
Defisit anggaran (APBN 2018) | -2,19% PDB |
Transaksi berjalan (Q III-2018) | -3,37% PDB |
Neraca pembayaran (Q III-2018) | -US$ 4,39 miliar |
Cadangan devisa (Oktober 2018) | US$ 115,16 miliar |
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article IHSG Sudah Bangkit Saatnya Rupiah Menguat
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular