Indonesia Masih Mengidap "Penyakit Belanda", Apa Itu?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
17 November 2018 19:38
Belum mampunya Indonesia mengembangkan manufaktur membuat barang impor membanjir saat ekonomi tumbuh.
Foto: S1AEUITDZFAAREUTERS/File Photo
Solo, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak melemah sepanjang tahun ini, karena transaksi berjalan (current account) yang masih defisit. Penyebabnya adalah perekonomian nasional yang masih bergantung kepada komoditas.

Budi Hikmat, Kepala Ekonom TCW Investment Management, menyatakan Indonesia masih mengidap penyakit Belanda alias Dutch Desease. Artinya, Indonesia hanya mendapat manfaat dari menjual komoditas dan tenaga kerja berketerampilan rendah.

"Kita harusnya bisa hijrahkan masyarakat kita ke manufaktur. China, India, Malaysia, Thailand, ekspornya manufaktur. Kita masih ekstraktif, ini yang disebut penyakit Belanda. Dapat duit dari ekstraktif dan low skilled labor," tegas Budi dalam acara Pelatihan Wartawan Ekonomi di Solo, Sabtu (17/11/2018).

Belum mampunya Indonesia mengembangkan manufaktur membuat barang impor membanjir saat ekonomi tumbuh. Akibatnya neraca perdagangan dan transaksi berjalan mengalami defisit sehingga membebani rupiah.

Bagi investor, lanjut Budi, pelemahan rupiah adalah hal yang krusial. Sebab ketika rupiah melemah, keuntungan investor akan berkurang kala hasil investasi dikonversikan ke mata uang asing. Investor tentu tidak ingin menanamkan modal di aset yang tidak cuan.

"Investor tetap mau datang dengan syarat, jangan sampai rupiah melemah. Jadi current account harus dikendalikan," tuturnya.

Kunci untuk menolong transaksi berjalan, tambah Budi, adalah meningkatkan produktivitas dan mengembangkan industri manufaktur. Dengan begitu, ekspor Indonesia lebih berkualitas dan impor bisa dikurangi karena kenaikan permintaan mampu dipenuhi industri dalam negeri.

"Mata uang itu cerminan eksternal dan dalam negeri. Eksternal itu strong dollar, dolar AS memang menguat. Domestik itu cerminan dosa dan pahala yaitu current account. Kita defisit, negara yang melemah itu umumnya defisit current account-nya gede. Jadi kalau ingin rupiah menguat, tingkatkan produktivitas. Kalau current account surplus, maka rupiah menguat," papar Budi.

Hal serupa dikemukakan oleh Dody Budi Waluyo, Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI). Menurut Dody, ekonomi Indonesia memang belum bisa lepas dari komoditas.

"Investasi masih tumbuh walau suku bunga dinaikkan. Investasi non-bangunan juga tumbuh karena harga komoditas yang masih positif. Memang konteks komoditas belum bisa terlepas," katanya.

Oleh karena itu, demikian Dody, tantangan Indonesia adalah melepaskan diri dari ketergantungan terhadap komoditas. "Menjadi tantangan bagaimana investasi non-komoditas bisa tumbuh," ujarnya.
(aji/hps) Next Article Hitungan Sri Mulyani: Ekonomi RI 2019 Tumbuh 5,05%

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular