Newsletter

Perang Dagang Mungkin Reda, Tapi Tetap Harus Waspada

Raditya Hanung & Hidayat Setiaji & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
20 September 2018 05:38
Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini
Ilustrasi Perdagangan Saham (REUTERS/Luisa Gonzalez)
Untuk perdagangan hari ini, investor perlu mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentunya kinerja Wall Street yang meski mixed tetapi cenderung menguat.  

Terlihat bahwa sentimen perang dagang AS-China sudah tidak lagi mempengaruhi bursa saham New York. Semoga sikap optimistis ini menular ke bursa saham Asia sehingga menciptakan penguatan lebih lanjut. 

Sentimen kedua, meski sudah sedikit mereda, adalah perang dagang AS vs China. Meski repons pelaku pasar masih positif, tetapi tetap ada risiko friksi Washington-Beijing mengarah ke skala yang lebih besar. 

Selain mengumumkan besaran bea masuk baru yang akan dikenakan bagi produk-produk made in USA, kemarin Menteri Perdagangan China juga menyampaikan protes kepada Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Aksi protes Beijing ini berisiko menyulut kemarahan Negeri Adidaya.  

Kemudian, kepemilikan China di obligasi pemerintah AS pada akhir Juli tercatat US$ 1,171 triliun. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu US$ 1,178 triliun. Posisi Juli merupakan yang terendah dalam 6 bulan terakhir. 


Data ini bisa dipandang sebagai salah satu langkah Negeri Panda untuk membalas kebijakan bea masuk terbaru AS. Sebagai informasi, China adalah investor asing terbesar di surat utang pemerintah AS. 

Lagi-lagi, hal ini juga berpeluang membuat AS lebih kebakaran jenggot. Melihat perilaku Presiden AS Donald Trump yang mudah panas, bukan tidak mungkin rencana tambahan bea masuk kepada produk China senilai US$ 267 miliar jadi dieksekusi. Bila ini terjadi, maka balas dendam China tinggal menunggu waktu. 

Mengingat AS dan China adalah dua perekonomian terbesar di planet bumi, friksi di antara keduanya tentu akan mempengaruhi seluruh negara. Apabila tensi antara kedua raksasa ekonomi itu tereskalasi, arus perdagangan global akan seret dan pertumbuhan ekonomi dipastikan melambat. 


Faktor kedua yang perlu diperhatikan adalah perkembangan nilai tukar dolar AS. Dalam 2 hari perdagangan terakhir, greenback bergerak labil dengan bolak-balik masuk zona merah dan hijau. 


Pada pukul 04:48 WIB, Dollar Index melemah 0,1%. Meski masih terkoreksi, tetapi sudah menipis dibandingkan kemarin yang sempat di kisaran 0,2%. 

Oleh karena itu, investor perlu mewaspadai pergerakan dolar AS. Greenback bisa kembali menguat sewaktu-waktu. 

Hal yang bisa menjadi stimulus bagi dolar AS adalah rapat The Federal Reserve/The Fed yang semakin dekat yaitu 26 September. Apalagi dalam rapat ini kemungkinan besar akan terjadi kenaikan suku bunga acuan. 

Mengutip CME Fedwatch, probabilitas kenaikan suku bunga acuan AS sebesar 25 basis poin pada rapat tersebut mencapai 94,4%. Agak turun dibandingkan sebelumnya yang sempat di kisaran 98-99%, tetapi masih sangat besar. Hampir pasti. 

Kenaikan suku bunga acuan akan membuat berinvestasi di dolar AS dan instrumen berbasis mata uang ini (terutama yang berpendapatan tetap) menjadi kian manis. Pelaku pasar tentu akan berkerumun di sekitar dolar AS saat terjadi kenaikan suku bunga, sehingga nilai mata uang ini naik atau semakin mahal. 

Jika sentimen suku bunga lebih dominan dibandingkan perang dagang, maka bersiaplah untuk menghadapi penguatan dolar AS. Namun selama isu perang dagang masih jadi perhatian utama, greenback akan bergerak labil cenderung melemah. 

Sentimen keempat adalah kewaspadaan yang perlu ditingkatkan karena ada kemungkinan investor kembali mencermati performa negara berkembang dengan seksama. Hal ini seiring dirilisnya data pertumbuhan ekonomi Argentina. 

Pada kuartal II-2018, ekonomi Negeri Tango terkontraksi alias minus 4,2%. Ini merupakan pencapaian terburuk sejak kuartal III-2014. 

Suku bunga acuan yang didongkrak sampai ke 60% hanya mampu memperlambat laju ekonomi, tapi tidak berhasil menyelamatkan mata uang peso. Sejak awal tahun, peso sudah ambrol 53,2%. 

Perkembangan di Argentina bisa membuat pasar menyoroti negara-negara berkembang lainnya seperti Turki, Afrika Selatan, bahkan Indonesia. Meski Indonesia belum sampai mengalami kontraksi ekonomi (amit-amit), tetapi ada satu hal yang bisa menjadi alasan bagi pasar untuk 'menghukum' Indonesia, yaitu transaksi berjalan (current account). 

Pada kuartal III-2018, transaksi berjalan Indonesia berpotensi mengalami defisit yang lumayan dalam. Indikasinya adalah defisit neraca perdagangan yang pada Juli dan Agustus masing-masing US$ 2,03 miliar dan US$ 1,02 miliar, cukup besar. 

Artinya, pasokan devisa dari sektor perdagangan semakin terbatas. Sementara dari pasar keuangan, arus devisa juga sudah 'dikavling' oleh AS. Ini membuat prospek rupiah menjadi suram, sulit untuk menguat karena kekurangan 'darah' yaitu pasokan devisa. 

Sentimen perang dagang boleh jadi sudah mereda. Namun bukan berarti kita tidak harus waspada, karena masih ada berbagai risiko yang menghantui pasar. 

(aji/aji)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular