Newsletter

AS-China Siap 'Gencatan Senjata'?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
13 September 2018 05:40
AS-China Siap 'Gencatan Senjata'?
Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia bergerak variatif pada perdagangan kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup melemah, sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak bak roller coaster. 

Kemarin, IHSG melemah 0,57%. Namun bursa saham Asia pun cenderung ditutup di zona negatif. Nikkei 225 melemah 0,27%, Hang Seng turun 0,29%, Shanghai Composite berkurang 0,33%, Kospi minus 0,01%, dan KLCI (Malaysia) terpangkas 0,77%. 

Dari sisi eksternal, kekhawatiran perang dagang AS vs China membayangi bursa saham Benua Kuning. Dalam pernyataannya kepada para jurnalis, Presiden AS Donald Trump menegaskan AS akan tetap bersikap tegas terhadap China.  

"AS akan mengambil sikap yang sangat tegas terhadap China dalam hal perdagangan," cetusnya dalam konferensi pers menyikapi Badai Florence, dikutip dari Reuters. 

China pun tidak kalah garang, bahkan lebih konkret. Beijing telah melapor kepada Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) mengenai kebijakan AS yang dianggap merugikan, yaitu bea masuk anti-dumping, terhadap berbagai produk Negeri Tirai Bambu.  

China mengeluh karena kebijakan ini merugikan mereka hingga US$ 7,04 miliar per tahun. Oleh karena itu, China meminta restu kepada WTO untuk menerapkan kebijakan serupa dengan nilai yang sama bagi produk-produk made in USA. 

Perang dagang AS-China adalah isu yang sangat dipantau oleh pelaku pasar dunia, karena bisa menentukan nasib pertumbuhan ekonomi global. Jika hubungan AS-China terus memburuk dan saling hambat dalam perdagangan, maka dampaknya adalah kepada seluruh negara di dunia. 

Oleh karena itu, investor akan cenderung bermain aman saat tensi perang dagang meninggi. Aset-aset berisiko, apalagi di negara berkembang, akan ditanggalkan dan investor berlindung di bawah naungan safe haven. 

Sementara dari dalam negeri, sentimen pemberat IHSG adalah keputusan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang menaikkan suku bunga penjaminan. Rapat Dewan Komisioner LPS edisi September 2018 memutuskan suku bunga penjaminan simpanan rupiah naik 25 bps menjadi 6,5%. Sedangkan suku bunga penjaminan simpanan valas naik 50 bps menjadi 2%. 

Dinaikkannya suku bunga penjaminan memberi ruang bagi perbankan untuk terus menaikkan suku bunga Dana Pihak Ketiga (DPK). Jika ini yang terjadi, maka suku bunga kredit akan ikut terkerek naik dan menekan permintaan. Padahal, penyaluran kredit baru saja mulai menggeliat. 

Akibatnya saham-saham perbankan mengalami tekanan jual dan melemah signifikan. BBCA anjlok 3,43%, BMRI amblas 3,04, BNGA ambrol 2,76%, BBNI jatuh 2,06%, dan BBRI ambruk 2,02%.


Meski demikian, kenaikan bunga penjaminan LPS justru menjadi berkah bagi rupiah. Kemarin, US$ 1 kala penutupan pasar spot dibanderol Rp 14.820. Rupiah menguat 0,22% dibandingkan penutupan perdagangan sebelum libur Tahun Baru Hijriah. Mata uang Tanah Air bahkan menjadi yang terbaik kedua di Asia.

 
Padahal, rupiah masih terdepresiasi sebesar 0,22% pada tengah hari. Baru, menjelang penutupan perdagangan, rupiah berbalik arah dan berhasil menembus zona hijau.  

Kenaikan bunga penjaminan LPS berpotensi membuat suku bunga simpanan di tingkat nasabah ikut naik. Ada aturan dasar (golden rule) dalam penentuan kupon obligasi, yaitu harus di atas suku bunga deposito bank-bank milik negara alias BUMN.   

Artinya, saat suku bunga deposito naik maka imbalan investasi di obligasi pun bakal bertambah. Ini akan membuat pasar keuangan Indonesia, terutama instrumen berpendapatan tetap, semakin menarik di mata investor karena menjanjikan cuan yang lebih. Potensi arus modal yang masuk lantas mampu membuat rupiah berbalik arah. 

Dari Wall Street, tiga indeks utama berakhir variatif. Dow Jones Industrial Average (DJIA) naik 0,11%, S&P 500 bertambah 0,03%, tetapi Nasdaq Composite terkoreksi 0,26%. 

Koreksi Nasdaq disebabkan oleh penurunan saham Apple. Setelah kemarin naik di kisaran 2%, hari ini saham Apple turun 1,24%. 

Seperti yang sudah ditunggu-tunggu, Apple memperkenalkan iPhone terbarunya yaitu XS (dibaca Ten S) dalam sebuah acara di California. Dari sisi tampilan, XS adalah iPhone paling besar yang pernah dibuat dengan layar 5,8 inci. Varian lainnya yaitu XS Max bahkan punya layar 6,5 inci. 

Tidak hanya iPhone, Apple pun memperkenalkan Apple Watch seri terbaru yang dilengkapi fitur pendeteksi detak jantung penggunanya. Jam tangan ini akan memberi sinyal jika sang pengguna mengalami masalah jantung. 

Namun selain layar besar untuk seri XS dan pendeteksi detak jantung untuk Apple Watch, tidak ada gebrakan yang ditawarkan oleh perusahaan yang dibesarkan oleh mendiang Steve Jobs ini. Oleh karena itu, investor malah merespons negatif dan melepas saham Apple. 

"Sepertinya Wall Street justru mengantuk saat perkenalan iPhone, iWatch, dan iOS12. Investor bosan," ujar Daniel Morgen, Wakil Presiden di Synovus Trust Company yang berbasis di Atlanta, dikutip dari Reuters. 

DJIA dan S&P 500 masih mampu mencetak penguatan karena ada harapan damai dagang antara AS dan China. Reuters mengabarkan bahwa Washington telah mengontak Beijing untuk membahas rencana dialog perdagangan.

Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin diberitakan telah mengirim undangan kepada sejumlah pejabat teras di China, termasuk Perdana Menteri Liu He, untuk bicara soal isu-isu perdagangan. Sumber di lingkaran Gedung Putih mengungkapkan, waktu dan tempat pertemuan belum terlalu terlihat. Namun kemungkinan terjadi dalam waktu yang tidak terlalu lama. 

AS dan China baru mau bicara saja, belum ada perdamaian, pelaku pasar sudah bahagia. Saham-saham emiten yang mengandalkan China sebagai pasar ekspor utama pun mendapat apresiasi. Saham Boeing melesat 2,36% dan Caterpillar naik 1,58%. 


Untuk perdagangan hari ini, investor perlu mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentunya kinerja Wall Street yang meski mixed tetapi cenderung menguat. Semoga Wall Street dapat menjadi inspirasi bagi bursa saham Asia untuk kembali ke zona hijau, termasuk IHSG. 

Kedua adalah aura damai dagang AS-China. Investor perlu terus memonitor perkembangan kabar yang menciptakan euforia di Wall Street ini. 

"Dialog dagang AS-China bertujuan untuk memulihkan hubungan ekonomi bilateral," ujar seorang sumber di Gedung Putih, mengutip Reuters.  

Jika sampai ada konfirmasi, atau minimal tidak ada bantahan, maka kabar ini juga bisa menjadi pendorong pasar keuangan Asia. Optimisme akan merebak dan risk appetite akan kembali. Aset-aset berisiko di negara berkembang bisa kembali dilirik, dan ini tentu menguntungkan bagi IHSG dan rupiah. 

Sepertinya investor memang sudah memasang mode risk off, berani mengambil risiko. Ini terlihat dari dolar AS yang mengalami tekanan. Pada pukul 05:03 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback secara relatif terhadap enam mata uang utama) melemah sampai 0,44%. 

Dolar AS terpeleset karena arus modal yang mulai meninggalkannya. Hawa damai dagang berhasil menciptakan keberanian pelaku pasar untuk keluar dari zona nyaman di safe haven dan berani mengambil risiko. 

Apabila sikap risk off in terus bertahan, maka pasar keuangan Indonesia boleh bersiap untuk menerima aliran modal. IHSG dan rupiah akan mendapat berkah. 


Ketiga adalah rilis data ekonomi di AS yaitu indeks harga produsen atau inflasi di tingkat pabrik. Pada Agustus 2018, inflasi produsen AS tercatat 2,8% secara year-on-year (YoY). Melambat dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 3,3%. Angka 2,8% juga di bawah konsensus pasar yang dihimpun Reuters yaitu 3,2%. 

Namun, indeks harga produsen inti (yang mengeluarkan komponen makanan, energi, dan jasa perdagangan) masih tercatat naik 2,9% pada Agustus. Lebih cepat dibandingkan bulan sebelumnya yaitu  2,8%. 

Meski ada perlambatan di sisi produsen, tetapi inflasi AS di sisi konsumen masih cukup kuat. Hal ini terbukti dari positifnya indikator yang digunakan The Federal Reserve/The Fed dalam mengukur inflasi, yakni Personal Consumption Expenditure inti (Core PCE) dan upah per jam rata-rata. 

Core PCE meningkat 2% pada Juli, sesuai dengan target The Fed. Sepanjang tahun ini, sudah tiga kali Core PCE menyentuh target 2%. 

Sementara upah per jam rata-rata AS pada Agustus meningkat 2,9%. Capaian itu mampu melampaui konsensus yang dihimpun Reuters, yaitu 2,7%. Secara historis, peningkatan tahunan itu merupakan yang terbesar sejak Juni 2009. 

Artinya, peluang kenaikan suku bunga acuan AS sebanyak dua kali lagi hingga akhir tahun masih sangat terbuka. Mengutip CME Fedwatch, 95% pelaku pasar memperkirakan suku bunga acuan AS naik 25 basis poin menjadi 2-2,5% pada pertemuan The Fed bulan ini. Sedangkan 5% sisanya memperkirakan ada kenaikan 50 basis poin menjadi 2,25-2,5%. Tidak ada yang memperkirakan suku bunga ditahan di 1,75-2%. 

Kenaikan berikutnya diperkirakan terjadi pada Desember, di mana 77,8% pelaku pasar memperkirakan suku bunga acuan berubah menjadi 2,25-2,5%. Bahkan ada 4% suara yang memperkirakan suku bunga acuan pada akhir tahun menjadi 2,5-2,75%. 

Saat ada kabar suku bunga acuan naik, maka masih ada peluang dolar AS bisa menguat. Sebab meski bertujuan mengendalikan laju pertumbuhan ekonomi, kenaikan suku bunga punya dampak lain yaitu membuat pasar keuangan lebih menarik karena ada kenaikan imbalan investasi. Bila sampai ada aliran modal yang mengarah ke AS karena mencari keuntungan, maka dolar AS bisa kembali perkasa dan rupiah perlu waspada. 


Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
  • Menko Perekonomian Darmin Nasution dan sejumlah menteri Kabinet Kerja menggelar rapat koordinasi membahas biodiesel (09:00 WIB).
  • Rilis data tingkat pengangguran Australia periode Agustus 2018 (08:30 WIB).
  • Rilis data suku bunga acuan/Official Bank Rate Bank of England (18:00 WIB).
  • Rilis data suku bunga acuan/Main Refinancing Rate European Central Bank (18:45 WIB).
  • Rilis data Indeks Harga Konsumen/inflasi AS periode Agustus 2018 (19:30 WIB).
  • Rilis data klaim pengangguran AS dalam sepekan hingga 7 September 2018 (19:30 WIB).
  • Pidato anggota Dewan Gubernur The Fed Randal Quarles (21:00 WIB). 

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:  

IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (Q II-2018 YoY)5.27%
Inflasi (Agustus 2018 YoY)3.20%
Defisit anggaran (APBN 2018)-2.19% PDB
Transaksi berjalan (Q II-2018)-3.04% PDB
Neraca pembayaran (Q II-2018)-US$ 4.31 miliar
Cadangan devisa (Agustus 2018)US$ 117.9 miliar

Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.  

TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular