
Newsletter
The Time is Now, Rupiah?
Raditya Hanung & Hidayat Setiaji & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
04 September 2018 05:39

Bursa saham AS hari ini tutup karena peringatan Hari Buruh. Hal ini membuat investor melakukan ambil untung dengan melepas dolar AS untuk sementara. Hasilnya, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback secara relatif terhadap enam mata uang utama) terkoreksi tipis 0,02% pada pukul 04:29 WIB.
Bila pelemahan dolar AS terus berlanjut, maka ada harapan bagi rupiah untuk bangkit pada perdagangan hari ini. Apalagi sedang tidak ada rilis data di Negeri Paman Sam yang bisa mendukung penguatan dolar AS. Rupiah seharusnya mampu memanfaatkan kesempatan ini.
Data ekonomi AS berikutnya yang diantisipasi pelaku pasar adalah angka pengangguran yang diumumkan akhir pekan ini. Konsensus pasar yang dihimpun Reuters memperkirakan angka pengangguran pada Agustus 2018 adalah 3,8%, turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 3,9%.
Bila realisasi angka pengangguran betul-betul turun, maka The Fed semakin hampir pasti menaikkan suku bunga acuan pada rapat bulan ini. Saat kemungkinan kenaikan suku bunga acuan di AS kian membesar, maka greenback akan memperoleh kekuatannya lagi. Saat itu terjadi, maka rupiah dipastikan tertekan.
Sebelum data pengangguran AS diumumkan, rupiah punya waktu untuk mengumpulkan energi. Sekarang adalah saatnya bagi rupiah untuk bangkit. Mengutip kalimat pegulat profesional John Cena, the time is now.
Apakah rupiah mampu memanfaatkan peluang ini? Hanya waktu yang akan memberi jawabnya.
Namun, rupah juga perlu waspada karena sepertinya investor juga masih belum mau jauh-jauh dari greenback. Koreksi Dollar Index yang sangat terbatas cenderung stagnan (setidaknya sampai saat ini) menunjukkan bahwa sebenarnya dolar AS tidak terlalu ditinggalkan. Pasalnya, masih ada beberapa risiko yang menghantui pasar keuangan global.
Pertama adalah tensi perang dagang yang masih tinggi seiring perundingan dagang AS-Kanada pekan lalu yang nir hasil. Kabarnya dialog akan dilanjutkan pada Rabu waktu setempat. Namun sebelum ada hasil atau setidaknya arah pembicaraan yang positif, pasar cenderung akan bereaksi negatif.
Kedua adalah masih derasnya tekanan jual terhadap mata uang negara-negara berkembang, terutama di negara yang tengah bermasalah. Pada pukul 04:37 WIB, peso Argentina melemah 2,58% di hadapan dolar AS sementara lira Turki terdepresiasi 1,75% pada perdagangan kemarin.
Padahal Argentina tengah berusaha keras untuk mengembalikan kepercayaan pasar. Presiden Mauricio Macri memutuskan utuk menaikkan tarif pajak ekspor untuk mendongkrak penerimaan negara. Selain itu, Macri juga memotong anggaran belanja kementerian. Semua ini dilakukan agar fiskal Negeri Tango bisa lebih sehat.
"Ini bukan hanya krisis seperti sebelumnya, ini harus menjadi yang terakhir. Eksportir akan diminta untuk memberikan lebih banyak kontribusi. Sementara kita tidak bisa lagi mengeluarkan belanja yang melebihi apa yang kita punya, hidup dengan mengandalkan di luar penerimaan pajak," tegas Macri dalam pernyataan di televisi nasional, dikutip dari Reuters.
Bila program pengetatan ikat pinggang ini dilaksanakan secara konsisten, Macri memperkirakan anggaran negara Argentina akan mencatat surplus sekitar 1% dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2020. Tahun ini, target defisit anggaran adalah 2,7% dari PDB.
Namun reformasi fiskal a la Macri belum mampu mendongkrak posisi peso. Sepertinya sentimen negatif memang tengah menghantui Argentina dan negara berkembang lainnya.
Apa yang terjadi di Argentina dan Turki membuat pelaku pasar mengalihkan pandangan kepada negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Jika situasi di Argentina dan Turki memburuk, bisa jadi investor masih akan enggan masuk ke negara berkembang karena tidak mau mengambil risiko.
Apabila investor masih cenderung bermain aman, maka IHSG dan rupiah dalam bahaya. Koreksi lebih lanjut sudah menanti karena seretnya aliran modal masuk.
(aji/aji)
Bila pelemahan dolar AS terus berlanjut, maka ada harapan bagi rupiah untuk bangkit pada perdagangan hari ini. Apalagi sedang tidak ada rilis data di Negeri Paman Sam yang bisa mendukung penguatan dolar AS. Rupiah seharusnya mampu memanfaatkan kesempatan ini.
Data ekonomi AS berikutnya yang diantisipasi pelaku pasar adalah angka pengangguran yang diumumkan akhir pekan ini. Konsensus pasar yang dihimpun Reuters memperkirakan angka pengangguran pada Agustus 2018 adalah 3,8%, turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 3,9%.
Bila realisasi angka pengangguran betul-betul turun, maka The Fed semakin hampir pasti menaikkan suku bunga acuan pada rapat bulan ini. Saat kemungkinan kenaikan suku bunga acuan di AS kian membesar, maka greenback akan memperoleh kekuatannya lagi. Saat itu terjadi, maka rupiah dipastikan tertekan.
Sebelum data pengangguran AS diumumkan, rupiah punya waktu untuk mengumpulkan energi. Sekarang adalah saatnya bagi rupiah untuk bangkit. Mengutip kalimat pegulat profesional John Cena, the time is now.
Apakah rupiah mampu memanfaatkan peluang ini? Hanya waktu yang akan memberi jawabnya.
Namun, rupah juga perlu waspada karena sepertinya investor juga masih belum mau jauh-jauh dari greenback. Koreksi Dollar Index yang sangat terbatas cenderung stagnan (setidaknya sampai saat ini) menunjukkan bahwa sebenarnya dolar AS tidak terlalu ditinggalkan. Pasalnya, masih ada beberapa risiko yang menghantui pasar keuangan global.
Pertama adalah tensi perang dagang yang masih tinggi seiring perundingan dagang AS-Kanada pekan lalu yang nir hasil. Kabarnya dialog akan dilanjutkan pada Rabu waktu setempat. Namun sebelum ada hasil atau setidaknya arah pembicaraan yang positif, pasar cenderung akan bereaksi negatif.
Kedua adalah masih derasnya tekanan jual terhadap mata uang negara-negara berkembang, terutama di negara yang tengah bermasalah. Pada pukul 04:37 WIB, peso Argentina melemah 2,58% di hadapan dolar AS sementara lira Turki terdepresiasi 1,75% pada perdagangan kemarin.
Padahal Argentina tengah berusaha keras untuk mengembalikan kepercayaan pasar. Presiden Mauricio Macri memutuskan utuk menaikkan tarif pajak ekspor untuk mendongkrak penerimaan negara. Selain itu, Macri juga memotong anggaran belanja kementerian. Semua ini dilakukan agar fiskal Negeri Tango bisa lebih sehat.
"Ini bukan hanya krisis seperti sebelumnya, ini harus menjadi yang terakhir. Eksportir akan diminta untuk memberikan lebih banyak kontribusi. Sementara kita tidak bisa lagi mengeluarkan belanja yang melebihi apa yang kita punya, hidup dengan mengandalkan di luar penerimaan pajak," tegas Macri dalam pernyataan di televisi nasional, dikutip dari Reuters.
Bila program pengetatan ikat pinggang ini dilaksanakan secara konsisten, Macri memperkirakan anggaran negara Argentina akan mencatat surplus sekitar 1% dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2020. Tahun ini, target defisit anggaran adalah 2,7% dari PDB.
Namun reformasi fiskal a la Macri belum mampu mendongkrak posisi peso. Sepertinya sentimen negatif memang tengah menghantui Argentina dan negara berkembang lainnya.
Apa yang terjadi di Argentina dan Turki membuat pelaku pasar mengalihkan pandangan kepada negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Jika situasi di Argentina dan Turki memburuk, bisa jadi investor masih akan enggan masuk ke negara berkembang karena tidak mau mengambil risiko.
Apabila investor masih cenderung bermain aman, maka IHSG dan rupiah dalam bahaya. Koreksi lebih lanjut sudah menanti karena seretnya aliran modal masuk.
(aji/aji)
Pages
Most Popular