
Newsletter
Simak Dampak Kenaikan Bunga Acuan Sampai APBN Tahun Politik
Hidayat Setiaji & Raditya Hanung & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
16 August 2018 06:10

Sentimen ketiga adalah nilai tukar dolar AS. Kini greenback sedang sedikit tertekan, terlihat dari Dollar Index (yang menggambarkan posisi dolar AS di hadapan enam mata uang utama) yang melemah 0,02% pada pukul 05:26 WIB.
Kabar bantuan Qatar kepada Turki menjadi obat yang cespleng buat lira. Kemarin, lira ditutup menguat 0,13%. Mata uang ini sudah menguat 3 hari beruntun di hadapan dolar AS.
Pulihnya lira membuat investor berani mengambil risiko. Aliran modal tidak lagi terkonsentrasi di AS dan tempat-tempat aman lainnya, tetapi mulai merata. Ini membuat keperkasaan dolar AS agak memudar.
Apabila situasi ini berlanjut, maka rupiah punya harapan untuk menguat. Apalagi rupiah punya amunisi berupa kenaikan suku bunga acuan. Bisa jadi sentimen ini akan menjadi roket yang melambungkan rupiah ke langit.
Namun, dolar AS juga masih menyimpan peluru. Kementerian Perdagangan AS mengumumkan penjualan ritel meningkat 0,5% secara bulanan (month-to-month/MtM) pada Juli 2018. Capaian itu mampu mengungguli konsensus Reuters yang meramalkan kenaikan sebesar 0,1% MtM, serta membaik dari data Juni 2018 yang meningkat 0,2% MtM.
Sedangkan penjualan ritel inti, yang mengeluarkan komponen otomotif, bahan bakar minyak (BBM), bahan bangunan, dan jasa makanan, juga tercatat naik 0,5% MtM pada bulan lalu. Meningkat dari capaian Juni 2018 yang menurun sebesar 0,1% MtM.
Selain itu, Bank Sentral AS juga melaporkan bahwa produksi industri pengolahan AS masih tumbuh 0,3% MtM pada Juli 2018, setelah pada bulan sebelumnya malah naik kencang sebesar 0,8% MtM. Penguatan produksi industri bulan lalu didukung oleh kencangnya pertumbuhan produksi kendaraan bermotor (beserta suku cadangnya) dan barang komputer/elektronik.
Tidak sampai situ saja, Kementerian Tenaga Kerja AS melaporkan produktivitas non-pertanian, yang mengukur output pekerja per jam meningkat 2,9% YoY pada kuartal II-2018, mampu lebih baik dari ekspektasi pasar sebesar 2,3% YoY. Peningkatan itu juga merupakan yang tercepat sejak kuartal I-2015.
Data ini lantas memberikan fondasi yang kuat bagi pertumbuhan ekonomi AS. Sebelumnya, pertumbuhan ekonomi AS kuartal II-2018 mencapai 4,1% YoY, atau yang tercepat sejak kuartal III-2014.
Hal ini kemudian semakin membuka lebar peluang The Federal Reserve/The Fed untuk menaikkan suku bunga acuan sebanyak empat kali tahun ini, lebih kencang dari perkiraan semula yaitu tiga kali. Kenaikan suku bunga akan mencegah potensi perekonomian AS mengalami overheating.
Semakin besarnya potensi kenaikan suku bunga acaun AS yang lebih agresif tentunya akan menjadi obat kuat bagi dolar AS pada perdagangan hari ini. Saat greenback kembali perkasa, maka siap-siap mata uang Tanah Air kembali tertekan.
Sentimen keempat adalah harga komoditas, utamanya minyak. Pada pukul 05:35 WIB, harga minyak jenis light sweet turun 0.18% sementara brent anjlok 2,28%.
Penyebabnya adalah lonjakan stok minyak AS. US Energy Information Administration melaporkan, pekan lalu cadangan minyak AS naik 6,8 juta barel. Jauh di atas konsensus pasar yang dihimpun Reuters, yaitu turun 2,5 juta barel.
Penurunan harga minyak bukan berita baik bagi IHSG. Saat harga si emas hitam turun, biasanya emiten migas dan pertambangan jadi kurang mendapat apresiasi.
(aji/aji)
Kabar bantuan Qatar kepada Turki menjadi obat yang cespleng buat lira. Kemarin, lira ditutup menguat 0,13%. Mata uang ini sudah menguat 3 hari beruntun di hadapan dolar AS.
Pulihnya lira membuat investor berani mengambil risiko. Aliran modal tidak lagi terkonsentrasi di AS dan tempat-tempat aman lainnya, tetapi mulai merata. Ini membuat keperkasaan dolar AS agak memudar.
Apabila situasi ini berlanjut, maka rupiah punya harapan untuk menguat. Apalagi rupiah punya amunisi berupa kenaikan suku bunga acuan. Bisa jadi sentimen ini akan menjadi roket yang melambungkan rupiah ke langit.
Namun, dolar AS juga masih menyimpan peluru. Kementerian Perdagangan AS mengumumkan penjualan ritel meningkat 0,5% secara bulanan (month-to-month/MtM) pada Juli 2018. Capaian itu mampu mengungguli konsensus Reuters yang meramalkan kenaikan sebesar 0,1% MtM, serta membaik dari data Juni 2018 yang meningkat 0,2% MtM.
Sedangkan penjualan ritel inti, yang mengeluarkan komponen otomotif, bahan bakar minyak (BBM), bahan bangunan, dan jasa makanan, juga tercatat naik 0,5% MtM pada bulan lalu. Meningkat dari capaian Juni 2018 yang menurun sebesar 0,1% MtM.
Selain itu, Bank Sentral AS juga melaporkan bahwa produksi industri pengolahan AS masih tumbuh 0,3% MtM pada Juli 2018, setelah pada bulan sebelumnya malah naik kencang sebesar 0,8% MtM. Penguatan produksi industri bulan lalu didukung oleh kencangnya pertumbuhan produksi kendaraan bermotor (beserta suku cadangnya) dan barang komputer/elektronik.
Tidak sampai situ saja, Kementerian Tenaga Kerja AS melaporkan produktivitas non-pertanian, yang mengukur output pekerja per jam meningkat 2,9% YoY pada kuartal II-2018, mampu lebih baik dari ekspektasi pasar sebesar 2,3% YoY. Peningkatan itu juga merupakan yang tercepat sejak kuartal I-2015.
Data ini lantas memberikan fondasi yang kuat bagi pertumbuhan ekonomi AS. Sebelumnya, pertumbuhan ekonomi AS kuartal II-2018 mencapai 4,1% YoY, atau yang tercepat sejak kuartal III-2014.
Hal ini kemudian semakin membuka lebar peluang The Federal Reserve/The Fed untuk menaikkan suku bunga acuan sebanyak empat kali tahun ini, lebih kencang dari perkiraan semula yaitu tiga kali. Kenaikan suku bunga akan mencegah potensi perekonomian AS mengalami overheating.
Semakin besarnya potensi kenaikan suku bunga acaun AS yang lebih agresif tentunya akan menjadi obat kuat bagi dolar AS pada perdagangan hari ini. Saat greenback kembali perkasa, maka siap-siap mata uang Tanah Air kembali tertekan.
Sentimen keempat adalah harga komoditas, utamanya minyak. Pada pukul 05:35 WIB, harga minyak jenis light sweet turun 0.18% sementara brent anjlok 2,28%.
Penyebabnya adalah lonjakan stok minyak AS. US Energy Information Administration melaporkan, pekan lalu cadangan minyak AS naik 6,8 juta barel. Jauh di atas konsensus pasar yang dihimpun Reuters, yaitu turun 2,5 juta barel.
Penurunan harga minyak bukan berita baik bagi IHSG. Saat harga si emas hitam turun, biasanya emiten migas dan pertambangan jadi kurang mendapat apresiasi.
(aji/aji)
Pages
Most Popular