Polling CNBC Indonesia

Konsensus Pasar: BI Diramal Tahan Bunga Acuan di 5,25%

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
14 August 2018 08:32
Turki Bikin Gamang
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki

Namun, sejatinya pelemahan rupiah yang lumayan dalam selama 2 hari perdagangan terakhir membuat pelaku pasar gamang. Akhir pekan lalu, rupiah melemah 0,45% dan kemarin pelemahannya lebih dalam menjadi 0,83%.

Penyebabnya adalah gonjang-ganjing di Turki. Depresiasi mata uang lira sudah begitu dalam, mencapai 41%. Pelemahan kurs mendatangkan risiko bagi korporasi di Negeri Kebab yang sebelumnya eksesif dalam menarik utang luar negeri. Saat lira melemah, tentu pembayaran utang luar negeri menjadi bengkak, padahal jumlah yang dipinjam tidak naik.

Investor cemas karena ada kekhawatiran gagal bayar (default) massal dari korporasi Turki, yang mempengaruhi kinerja perbankan global. Data dari Bank for Internasional Settlements (BIS) menunjukkan, perbankan di Spanyol meminjamkan US$ 83,3 miliar kepada perusahaan Turki. Sementara perbankan Prancis mengutangi US$ 38,4 miliar, Italia US$ 17 miliar, dan Inggris US$ 19,2 miliar.

Tidak hanya di Eropa, bank-bank AS dan Jepang juga banyak meminjamkan uang ke perusahaan di Turki. Utang perusahaan Turki di perbankan AS mencapai US$ 18 miliar dan di Jepang US$ 14 miliar.

Oleh karena itu, pasar mencemaskan akan terjadi efek penularan (contagion effect) terhadap sistem keuangan global. Risiko ini yang kemudian membuat investor memasang mode risk-off, ogah mengambil risiko. Hasilnya adalah rupiah dan mata uang negara berkembang lainnya amblas karena ditinggal investor.

“Kami mengakui bahwa kemungkinan kenaikan suku bunga acuan memang meningkat,” ujar Putera Satria Sambijantoro, Ekonom Bahana Sekuritas.

Meski begitu, Satria memperkirakan bahwa BI belum perlu menaikkan suku bunga pada RDG bulan ini. Sebab, dia menilai kepanikan akibat Turki hanya sentimen temporer.

“Dengan suku bunga acuan yang sudah dinaikkan, kami memperkirakan BI tetap menahan suku bunga acuan di 5,25%. Itu dengan asumsi faktor Turki akan selesai dalam beberapa hari ke depan,” katanya.

Menurut Satria, sebenarnya Indonesia tidak perlu terlalu khawatir terhadap ‘huru-hara’ di Turki. Pasalnya, hubungan Indonesia dengan Turki agak minim.

“Ekspor Indonesia ke Turki hanya US$ 620 juta selama Januari-Mei 2018 atau hanya 0,8% dari total impor,” tegasnya.

Oleh karena itu, Satria menilai kepanikan yang terjadi di pasar hanya faktor psikologis. Saat terjadi aksi jual yang masif di suatu negara, perilaku serupa menjangkiti negara lain dengan kondisi ekonomi yang relatif sama. Indonesia dan Turki bisa dibilang berada di kelompok ekonomi yang sama.

TIM RISET CNBC INDONESIA

(aji/aji)

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular