Polling CNBC Indonesia

Konsensus Pasar: BI Diramal Tahan Bunga Acuan di 5,25%

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
14 August 2018 08:32
Konsensus Pasar: BI Diramal Tahan Bunga Acuan di 5,25%
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki
Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) diperkirakan masih menahan suku bunga acuan 7 day reverse repo rate. Meski nilai tukar rupiah melemah tajam dalam 2 hari perdagangan terakhir, tetapi sepertinya BI masih bisa menahan suku bunga acuan setidaknya sampai bulan depan.

Esok hari, BI akan mengakhiri Rapat Dewan Gubernur (RDG) edisi Agustus 2018 dan mengumumkan suku bunga acuan. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan BI masih menahan suku bunga acuan di 5,25%. Dari 12 ekonom yang berpartisipasi dalam pembentukan konsensus, seluruhnya memperkirakan tidak ada kenaikan.

InstitusiBI 7 Day Reverse Repo Rate (%)
CIMB Niaga5.25
ING5.25
DBS5.25
Mirae Asset5.25
Bank Permata5.25
Danareksa5.25
BCA5.25
Maybank Indonesia5.25
Bahana Sekuritas5.25
Bank Danamon5.25
Standard Chartered5.25
Moody's Analytics5.25

"BI telah menaikkan suku bunga acuan 100 basis poin sejak Mei, dan mungkin kali ini saatnya menghela nafas. BI juga perlu memastikan dulu bagaimana dampak kenaikan suku bunga yang sudah dilakukan sebelumnya," sebut riset Moody's Analytics.

Namun, Moody's menilai BI masih mempertahankan kartu kenaikan suku bunga acuan di atas meja. Kartu itu akan digunakan pada tahun ini, setidaknya untuk mengantisipasi kenaikan suku bunga acuan di AS yang mungkin dua kali lagi sampai akhir 2018.

"Kenaikan (suku bunga acuan) lebih lanjut pada 2018 sangat memungkinkan. Langkah ini bukan hanya untuk menjaga nilai aset, tetapi juga secara simbolis menegaskan bahwa BI siap berada di garda terdepan untuk menangkal arus modal keluar," lanjut riset Moody's.

Radhika Rao, Ekonom DBS, memperkirakan BI bakal menaikkan suku bunga acuan dua kali lagi, masing-masing sekali pada kuartal III dan kuartal IV. Hal ini dilakukan sesuai dengan arah kebijakan moneter BI yang preemtif, front loading, dan ahead the curve. Kenaikan BI 7 Day Reverse Repo Rate sepertinya akan mengikuti pola kenaikan Federal Funds Rate.

"Adanya sedikit tekanan inflasi pada Juli ditambah pertumbuhan ekonomi kuartal II-2018 yang di atas ekspektasi memperbesar kenaikan suku bunga lebih lanjut. Kami memperkirakan BI akan berhenti sejenak untuk bulan ini, tetapi ruang kenaikan suku bunga cukup terbuka pada kuartal II dan IV," papar Rao.

Namun, sejatinya pelemahan rupiah yang lumayan dalam selama 2 hari perdagangan terakhir membuat pelaku pasar gamang. Akhir pekan lalu, rupiah melemah 0,45% dan kemarin pelemahannya lebih dalam menjadi 0,83%.

Penyebabnya adalah gonjang-ganjing di Turki. Depresiasi mata uang lira sudah begitu dalam, mencapai 41%. Pelemahan kurs mendatangkan risiko bagi korporasi di Negeri Kebab yang sebelumnya eksesif dalam menarik utang luar negeri. Saat lira melemah, tentu pembayaran utang luar negeri menjadi bengkak, padahal jumlah yang dipinjam tidak naik.

Investor cemas karena ada kekhawatiran gagal bayar (default) massal dari korporasi Turki, yang mempengaruhi kinerja perbankan global. Data dari Bank for Internasional Settlements (BIS) menunjukkan, perbankan di Spanyol meminjamkan US$ 83,3 miliar kepada perusahaan Turki. Sementara perbankan Prancis mengutangi US$ 38,4 miliar, Italia US$ 17 miliar, dan Inggris US$ 19,2 miliar.

Tidak hanya di Eropa, bank-bank AS dan Jepang juga banyak meminjamkan uang ke perusahaan di Turki. Utang perusahaan Turki di perbankan AS mencapai US$ 18 miliar dan di Jepang US$ 14 miliar.

Oleh karena itu, pasar mencemaskan akan terjadi efek penularan (contagion effect) terhadap sistem keuangan global. Risiko ini yang kemudian membuat investor memasang mode risk-off, ogah mengambil risiko. Hasilnya adalah rupiah dan mata uang negara berkembang lainnya amblas karena ditinggal investor.

“Kami mengakui bahwa kemungkinan kenaikan suku bunga acuan memang meningkat,” ujar Putera Satria Sambijantoro, Ekonom Bahana Sekuritas.

Meski begitu, Satria memperkirakan bahwa BI belum perlu menaikkan suku bunga pada RDG bulan ini. Sebab, dia menilai kepanikan akibat Turki hanya sentimen temporer.

“Dengan suku bunga acuan yang sudah dinaikkan, kami memperkirakan BI tetap menahan suku bunga acuan di 5,25%. Itu dengan asumsi faktor Turki akan selesai dalam beberapa hari ke depan,” katanya.

Menurut Satria, sebenarnya Indonesia tidak perlu terlalu khawatir terhadap ‘huru-hara’ di Turki. Pasalnya, hubungan Indonesia dengan Turki agak minim.

“Ekspor Indonesia ke Turki hanya US$ 620 juta selama Januari-Mei 2018 atau hanya 0,8% dari total impor,” tegasnya.

Oleh karena itu, Satria menilai kepanikan yang terjadi di pasar hanya faktor psikologis. Saat terjadi aksi jual yang masif di suatu negara, perilaku serupa menjangkiti negara lain dengan kondisi ekonomi yang relatif sama. Indonesia dan Turki bisa dibilang berada di kelompok ekonomi yang sama.

TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular