
Newsletter
Perang Dagang, Perang Sungguhan, dan Nasib IHSG
Hidayat Setiaji & Anthony Kevin & Raditya Hanung, CNBC Indonesia
03 August 2018 05:44

Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah faktor yang berpotensi mempengaruhi pasar. Pertama tentunya kinerja Wall Street yang cenderung positif. Pencapaian itu diharapkan menular ke pasar saham Asia, termasuk Indonesia.
Kedua, yang harus sangat diwaspadai investor, adalah tren penguatan dolar AS yang sepertinya belum terhenti. Pada pukul 04:11 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi dolar AS relatif terhadap enam mata uang utama) melonjak 0,58%.
Penguatan dolar AS sebenarnya sudah agak keterlaluan karena seolah tanpa henti. Dalam sepekan terakhir, Dollar Index sudah naik 0,44%. Sementara dalam sebulan ke belakang penguatannya mencapai 0,52% dan sejak awal tahun adalah 3,3%.
Hari ini, penyebab apresiasi greenback adalah perang dagang. Isu ini membuat investor mundur teratur dari instrumen-instrumen berisiko di negara berkembang. Investor memilih bermain aman dan masuk ke aset-aset safe haven.
Dolar AS juga menjadi pilihan karena mata uang ini dalam kadar tertentu relatif aman. Aliran dana pun masuk ke instrumen-instrumen berbasis greenback.
Arus modal ini mendorong imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS turun. Untuk seri acuan tenor 10 tahun, yield turun 1,7 basis poin menjadi 2,9859%. Penurunan yield adalah pertanda harga sedang naik akibat tingginya permintaan.
Apalagi data-data ekonomi di Negeri Paman Sam terus positif. Sepanjang Juli 2018, angka penciptaan lapangan kerja sektor non-pertanian versi ADP mencapai 219.000, jauh lebih tinggi dari konsensus yang dihimpun oleh Reuters sebanyak 185.000.
Teranyar, jumlah warga AS yang mengajukan tunjangan pengangguran meningkat 1.000 orang ke 218.000 orang pada pekan lalu. Angka itu masih berada di bawah konsensus yang meramalkan peningkatan ke angka 220.000.
Penguatan dolar AS semakin menjadi kala mata uang lainnya yaitu poundsterling Inggris melemah seiring hasil rapat Bank of England (BoE) yang menaikkan suku bunga acuan 25 basis poin menjadi 0,75%. Kenaikan suku bunga acuan justru dikhawatirkan menekan perekonomian Negeri Ratu Elizabeth karena di sisi lain ada risiko dari kegagalan tercapainya kesepakatan Brexit dengan Uni Eropa.
Jika sampai no deal Brexit terjadi, maka dampaknya akan cukup luas. Inggris akan menjadi wilayah terpisah yang harus tunduk pada aturan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Artinya, produk Inggris yang diekspor ke wilayah Uni Eropa wajib terkena bea masuk, begitu pun produk Uni Eropa yang masuk ke Inggris. Selama ini, Inggris masuk dalam wilayah kepabeanan Uni Eropa sehingga tidak ada pengenaan bea.
Adanya bea masuk bisa membuat negara-negara Uni Eropa enggan berdagang dengan Inggris karena biayanya lebih mahal. Kalaupun produk-produk Uni Eropa masuk ke Inggris, membayar bea masuk artinya biaya importasi menjadi lebih tinggi. Pengusaha akan membebankan biaya ini kepada konsumen, dan ujungnya adalah inflasi.
Inggris bisa mengalami tekanan inflasi yang cukup besar jika barang dari Uni Eropa lebih mahal. Pasalnya, Uni Eropa adalah eksportir terbesar untuk Inggris.
Tahun lalu, impor dari Uni Eropa mencapai 8,7 miliar euro (Rp 145,47 triliun) atau 44% dari total impor Negeri Tiga Singa. Jika harga barang-barang ini naik, maka dampaknya akan luar biasa.
Selain itu, hal yang sering menjadi perdebatan adalah posisi Republik Irlandia dan Irlandia Utara. Kedua negara ini termasuk wilayah kepabeanan Uni Eropa tetapi secara geografis merupakan bagian dari Britania Raya.
Jika tanpa kesepakatan, maka hasilnya bisa menjadi rumit. Wilayah Irlandia dan Irlandia Utara bisa dihuni dua otoritas kepabeanan, yaitu dari Inggris dan Uni Eropa. Bila sampai terjadi gesekan, kemungkinan bentrok fisik cukup terbuka.
Inggris berkeras ingin meninggalkan sistem pabean dan pasar bebas Uni Eropa. Sementara Uni Eropa juga keukeuh mempertahankan dua sistem yang dibangun puluhan tahun tersebut.
Oleh karena itu, perundingan soal Brexit menjadi sangat sensitif dan alot karena melibatkan kepentingan nasional masing-masing pihak. Tentu tidak ada pihak yang ingin terkesan kalah atau mengalah.
Berbagai risiko tersebut ditambah dengan kenaikan suku bunga acuan bisa membuat ekonomi Inggris terancam kontraksi. Akibatnya, pelaku pasar ramai-ramai melepas poundsterling karena mata uang ini dipersepsikan punya masa depan suram.
Ujungnya, dolar AS kian menjadi kesayangan pelaku pasar sehingga nilainya bertambah mahal. Penguatan dolar AS sangat mungkin bakal menekan mata uang Asia, tidak terkecuali rupiah.
Saat rupiah terus melemah, maka berinvestasi di aset-aset berbasis mata uang ini menjadi kurang menarik karena nilainya berpotensi turun. Investor pun menghindari, dan ini bukan kabar baik buat IHSG.
(aji/aji)
Kedua, yang harus sangat diwaspadai investor, adalah tren penguatan dolar AS yang sepertinya belum terhenti. Pada pukul 04:11 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi dolar AS relatif terhadap enam mata uang utama) melonjak 0,58%.
Penguatan dolar AS sebenarnya sudah agak keterlaluan karena seolah tanpa henti. Dalam sepekan terakhir, Dollar Index sudah naik 0,44%. Sementara dalam sebulan ke belakang penguatannya mencapai 0,52% dan sejak awal tahun adalah 3,3%.
Hari ini, penyebab apresiasi greenback adalah perang dagang. Isu ini membuat investor mundur teratur dari instrumen-instrumen berisiko di negara berkembang. Investor memilih bermain aman dan masuk ke aset-aset safe haven.
Dolar AS juga menjadi pilihan karena mata uang ini dalam kadar tertentu relatif aman. Aliran dana pun masuk ke instrumen-instrumen berbasis greenback.
Arus modal ini mendorong imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS turun. Untuk seri acuan tenor 10 tahun, yield turun 1,7 basis poin menjadi 2,9859%. Penurunan yield adalah pertanda harga sedang naik akibat tingginya permintaan.
Apalagi data-data ekonomi di Negeri Paman Sam terus positif. Sepanjang Juli 2018, angka penciptaan lapangan kerja sektor non-pertanian versi ADP mencapai 219.000, jauh lebih tinggi dari konsensus yang dihimpun oleh Reuters sebanyak 185.000.
Teranyar, jumlah warga AS yang mengajukan tunjangan pengangguran meningkat 1.000 orang ke 218.000 orang pada pekan lalu. Angka itu masih berada di bawah konsensus yang meramalkan peningkatan ke angka 220.000.
Penguatan dolar AS semakin menjadi kala mata uang lainnya yaitu poundsterling Inggris melemah seiring hasil rapat Bank of England (BoE) yang menaikkan suku bunga acuan 25 basis poin menjadi 0,75%. Kenaikan suku bunga acuan justru dikhawatirkan menekan perekonomian Negeri Ratu Elizabeth karena di sisi lain ada risiko dari kegagalan tercapainya kesepakatan Brexit dengan Uni Eropa.
Jika sampai no deal Brexit terjadi, maka dampaknya akan cukup luas. Inggris akan menjadi wilayah terpisah yang harus tunduk pada aturan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Artinya, produk Inggris yang diekspor ke wilayah Uni Eropa wajib terkena bea masuk, begitu pun produk Uni Eropa yang masuk ke Inggris. Selama ini, Inggris masuk dalam wilayah kepabeanan Uni Eropa sehingga tidak ada pengenaan bea.
Adanya bea masuk bisa membuat negara-negara Uni Eropa enggan berdagang dengan Inggris karena biayanya lebih mahal. Kalaupun produk-produk Uni Eropa masuk ke Inggris, membayar bea masuk artinya biaya importasi menjadi lebih tinggi. Pengusaha akan membebankan biaya ini kepada konsumen, dan ujungnya adalah inflasi.
Inggris bisa mengalami tekanan inflasi yang cukup besar jika barang dari Uni Eropa lebih mahal. Pasalnya, Uni Eropa adalah eksportir terbesar untuk Inggris.
Tahun lalu, impor dari Uni Eropa mencapai 8,7 miliar euro (Rp 145,47 triliun) atau 44% dari total impor Negeri Tiga Singa. Jika harga barang-barang ini naik, maka dampaknya akan luar biasa.
Selain itu, hal yang sering menjadi perdebatan adalah posisi Republik Irlandia dan Irlandia Utara. Kedua negara ini termasuk wilayah kepabeanan Uni Eropa tetapi secara geografis merupakan bagian dari Britania Raya.
Jika tanpa kesepakatan, maka hasilnya bisa menjadi rumit. Wilayah Irlandia dan Irlandia Utara bisa dihuni dua otoritas kepabeanan, yaitu dari Inggris dan Uni Eropa. Bila sampai terjadi gesekan, kemungkinan bentrok fisik cukup terbuka.
Inggris berkeras ingin meninggalkan sistem pabean dan pasar bebas Uni Eropa. Sementara Uni Eropa juga keukeuh mempertahankan dua sistem yang dibangun puluhan tahun tersebut.
Oleh karena itu, perundingan soal Brexit menjadi sangat sensitif dan alot karena melibatkan kepentingan nasional masing-masing pihak. Tentu tidak ada pihak yang ingin terkesan kalah atau mengalah.
Berbagai risiko tersebut ditambah dengan kenaikan suku bunga acuan bisa membuat ekonomi Inggris terancam kontraksi. Akibatnya, pelaku pasar ramai-ramai melepas poundsterling karena mata uang ini dipersepsikan punya masa depan suram.
Ujungnya, dolar AS kian menjadi kesayangan pelaku pasar sehingga nilainya bertambah mahal. Penguatan dolar AS sangat mungkin bakal menekan mata uang Asia, tidak terkecuali rupiah.
Saat rupiah terus melemah, maka berinvestasi di aset-aset berbasis mata uang ini menjadi kurang menarik karena nilainya berpotensi turun. Investor pun menghindari, dan ini bukan kabar baik buat IHSG.
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular