
Newsletter
IHSG di Antara Kencangnya Ekonomi AS dan Kebijakan Batu Bara
Hidayat Setiaji & Anthony Kevin & Raditya Hanung, CNBC Indonesia
30 July 2018 04:55

Ketiga adalah dari dalam negeri, yaitu keputusan pemerintah yang membatalkan kewajiban pasokan batu bara untuk pasar domestik dalam jumlah tertentu atau Domestic Market Obligation (DMO). Keputusan ini diambil seiring prioritas pemerintah dan BI dalam jangka pendek adalah menjaga stabilitas rupiah.
Dengan penghapusan DMO, tentu ekspor batu bara akan meningkat sehingga dapat membuat neraca perdagangan dan transaksi berjalan (current account) membaik. Devisa yang datang dari ekspor juga bisa menjadi penopang bagi rupiah untuk menguat.
Merespons kabar ini, saham-saham emiten pertambangan batu bara berpotensi mendapatkan sentimen positif. Ekspor mereka bisa meningkat, laba tumbuh, dan ini akan diapresiasi oleh investor.
Namun, ada beberapa risiko dari kebijakan ini. Pertama adalah kenaikan pasokan batu bara Indonesia di pasar global berpotensi membuat harga komoditas ini turun. Sebab, Indonesia merupakan eksportir batu bara terbesar kedua di dunia setelah Australia.
Tahun lalu, ekspor batu bara Indonesia mencapai US$ 17,9 miliar atau 16,1% dari total ekspor dunia. Hanya kalah dari Australia yaitu US$ 40,6 milar (36,6%).
Investor global sepertinya sudah agak merespons perkembangan di Indonesia. Akhir pekan lalu, harga batu bara dunia turun 0,21% karena kekhawatiran membanjirnya pasokan.
Penurunan harga batu bara bukan kabar yang baik. Jika volume ekspor meningkat tetapi harganya turun, maka hasilnya akan sama saja alias impas. Tidak akan ada peningkatan penerimaan ekspor yang mendukung kinerja emiten maupun menyokong rupiah.
Risiko kedua adalah Indonesia menjadi masih bergantung kepada menjual komoditas dan seakan tidak serius membangun industri pengolahan. Kebijakan DMO mulai berlaku pada 2009, seiring penerapan UU Mineral dan Batu Bara (Minerba). Tujuannya adalah memastikan kebutuhan dalam negeri tercukupi. Tujuan lainnya adalah untuk membatasi ekspor komoditas, agar Indonesia tidak lagi bergantung kepada menjual barang mentah.
Tujuan kedua itu yang sebenarnya sangat mulia. Indonesia memang sudah saatnya jangan lagi tergantung pada ekspor barang mentah. Sudah bukan saatnya Indonesia menjual 'tanah air', menggali tanah untuk mendapatkan komoditas dan menjualnya begitu saja tanpa proses lanjutan.
Hilirisasi dan industrialisasi adalah tujuan besar dari UU Minerba. Melalui UU ini, pemerintah mendapat amanat untuk membangun industri pengolahan berbasis sumber daya alam agar Indonesia bisa menikmati nilai tambahnya.
Harga barang yang dijual akan lebih mahal bila diolah, dan tentunya menciptakan lebih banyak lapangan kerja. Ekonomi Indonesia akan lebih berkualitas.
Kita tentu berharap agar kebijakan pencabutan DMO ini hanya sementara. Sebab jika terlalu lama, Indonesia akan kembali terlena dengan terus menjual 'tanah air' tanpa membangun industri pengolahan.
(aji/aji)
Dengan penghapusan DMO, tentu ekspor batu bara akan meningkat sehingga dapat membuat neraca perdagangan dan transaksi berjalan (current account) membaik. Devisa yang datang dari ekspor juga bisa menjadi penopang bagi rupiah untuk menguat.
Merespons kabar ini, saham-saham emiten pertambangan batu bara berpotensi mendapatkan sentimen positif. Ekspor mereka bisa meningkat, laba tumbuh, dan ini akan diapresiasi oleh investor.
Namun, ada beberapa risiko dari kebijakan ini. Pertama adalah kenaikan pasokan batu bara Indonesia di pasar global berpotensi membuat harga komoditas ini turun. Sebab, Indonesia merupakan eksportir batu bara terbesar kedua di dunia setelah Australia.
Tahun lalu, ekspor batu bara Indonesia mencapai US$ 17,9 miliar atau 16,1% dari total ekspor dunia. Hanya kalah dari Australia yaitu US$ 40,6 milar (36,6%).
Investor global sepertinya sudah agak merespons perkembangan di Indonesia. Akhir pekan lalu, harga batu bara dunia turun 0,21% karena kekhawatiran membanjirnya pasokan.
Penurunan harga batu bara bukan kabar yang baik. Jika volume ekspor meningkat tetapi harganya turun, maka hasilnya akan sama saja alias impas. Tidak akan ada peningkatan penerimaan ekspor yang mendukung kinerja emiten maupun menyokong rupiah.
Risiko kedua adalah Indonesia menjadi masih bergantung kepada menjual komoditas dan seakan tidak serius membangun industri pengolahan. Kebijakan DMO mulai berlaku pada 2009, seiring penerapan UU Mineral dan Batu Bara (Minerba). Tujuannya adalah memastikan kebutuhan dalam negeri tercukupi. Tujuan lainnya adalah untuk membatasi ekspor komoditas, agar Indonesia tidak lagi bergantung kepada menjual barang mentah.
Tujuan kedua itu yang sebenarnya sangat mulia. Indonesia memang sudah saatnya jangan lagi tergantung pada ekspor barang mentah. Sudah bukan saatnya Indonesia menjual 'tanah air', menggali tanah untuk mendapatkan komoditas dan menjualnya begitu saja tanpa proses lanjutan.
Hilirisasi dan industrialisasi adalah tujuan besar dari UU Minerba. Melalui UU ini, pemerintah mendapat amanat untuk membangun industri pengolahan berbasis sumber daya alam agar Indonesia bisa menikmati nilai tambahnya.
Harga barang yang dijual akan lebih mahal bila diolah, dan tentunya menciptakan lebih banyak lapangan kerja. Ekonomi Indonesia akan lebih berkualitas.
Kita tentu berharap agar kebijakan pencabutan DMO ini hanya sementara. Sebab jika terlalu lama, Indonesia akan kembali terlena dengan terus menjual 'tanah air' tanpa membangun industri pengolahan.
(aji/aji)
Next Page
Simak Agenda dan Data Berikut Ini
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular