
Newsletter
IHSG di Antara Kencangnya Ekonomi AS dan Kebijakan Batu Bara
Hidayat Setiaji & Anthony Kevin & Raditya Hanung, CNBC Indonesia
30 July 2018 04:55

Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentunya dari Wall Street, yang terkoreksi pada perdagangan akhir pekan lalu. Biasanya dinamika Wall Street akan memberikan warna yang signifikan kepada bursa saham Asia, termasuk Indonesia.
Kedua, masih dari AS, yaitu data pertumbuhan ekonomi Negeri Paman Sam pada kuartal II-2018. Kementerian Perdagangan mencatat ekonomi AS tumbuh mengesankan di 4,1% year-on-year (YoY) pada pembacaan pertama. Pencapaian ini mnjadi yang tercepat sejak kuartal II-2014 yang sebesar 4,6% YoY, dan menjadi pertumbuhan ekonomi kuartalan tertinggi ketiga sejak krisis krisis keuangan global.
Pasar AS belum terlalu merespons data ini, bahkan Dollar Index (yang mencerminkan posisi dolar AS terhadap enam mata uang utama) melemah 0,06% pada perdagangan akhir pekan lalu. Ada kemungkinan data ini sudah dikalkulasikan (priced in) karena angkanya sama dengan konsensus pasar yang dihimpun Reuters.
Pameo buy the rumour and sell the news juga sepertinya berlaku di sini. Saat sesuatu belum terjadi tetapi ekspektasi sudah beredar, lakukan akumulasi beli. Sementara saat sudah terjadi, apalagi sesuai dengan ekspektasi, segera jual.
Meski begitu, ada kemungkinan pasar Asia merespons berbeda. Bisa jadi yang muncul adalah persepsi laju perekonomian AS yang semakin cepat akan meyakinkan The Federal Reserve/The Fed untuk menaikkan suku bunga acuan lebih agresif.
Kini kemungkinan kenaikan suku bunga acuan empat kali menjadi kian terbuka. Lebih banyak dibandingkan proyeksi pasar sebelumnya yaitu tiga kali.
Rilis data ini membuat pelaku pasar kian percaya memegang greenback. Mengutip Reuters, investor menaikkan posisi kepemilikan dolar AS jangka panjang menjadi US$ 21,85 miliar pada akhir pekan lalu dari pekan sebelumnya yang sebesar US$ 19,74 miliar. Angka itu menjadi posisi tertinggi sejak Januari 2017.
Saat memegang untuk jangka panjang, investor percaya bahwa sebuah mata uang punya potensi menguat pada masa mendatang. Situasi ini tentunya semakin menekan mata uang global, termasuk rupiah.
"Perbedaan suku bunga akan tetap mendukung penguatan dolar AS. Kita melihat pertumbuhan ekonomi AS mencapai 4,1%, jauh lebih tinggi dibandingkan negara-negara maju lainnya. Fundamental ekonomi yang kuat ini akan membuat dolar AS tetap mahal dibandingkan para pesaingnya," tutur Greg Michalowski, Director of Technical Analysis diForexLive.com yang berbasis di Scottsdale, Arizona, seperti dikutip dari Reuters.
Perkembangan ini bisa menjadi risiko bagi IHSG. Jika dolar AS menguat, maka rupiah berpotensi tertekan. Pelemahan rupiah membuat berinvestasi di aset-aset berbasis mata uang ini menjadi kurang menarik karena nilainya berpotensi turun.
IHSG menjadi terancam karena investor asing bisa keluar sebelum keuntungannya semakin tergerus karena depresiasi rupiah. Ini tentu bukan kabar gembira.
(aji/aji)
Kedua, masih dari AS, yaitu data pertumbuhan ekonomi Negeri Paman Sam pada kuartal II-2018. Kementerian Perdagangan mencatat ekonomi AS tumbuh mengesankan di 4,1% year-on-year (YoY) pada pembacaan pertama. Pencapaian ini mnjadi yang tercepat sejak kuartal II-2014 yang sebesar 4,6% YoY, dan menjadi pertumbuhan ekonomi kuartalan tertinggi ketiga sejak krisis krisis keuangan global.
Pasar AS belum terlalu merespons data ini, bahkan Dollar Index (yang mencerminkan posisi dolar AS terhadap enam mata uang utama) melemah 0,06% pada perdagangan akhir pekan lalu. Ada kemungkinan data ini sudah dikalkulasikan (priced in) karena angkanya sama dengan konsensus pasar yang dihimpun Reuters.
Pameo buy the rumour and sell the news juga sepertinya berlaku di sini. Saat sesuatu belum terjadi tetapi ekspektasi sudah beredar, lakukan akumulasi beli. Sementara saat sudah terjadi, apalagi sesuai dengan ekspektasi, segera jual.
Meski begitu, ada kemungkinan pasar Asia merespons berbeda. Bisa jadi yang muncul adalah persepsi laju perekonomian AS yang semakin cepat akan meyakinkan The Federal Reserve/The Fed untuk menaikkan suku bunga acuan lebih agresif.
Kini kemungkinan kenaikan suku bunga acuan empat kali menjadi kian terbuka. Lebih banyak dibandingkan proyeksi pasar sebelumnya yaitu tiga kali.
Rilis data ini membuat pelaku pasar kian percaya memegang greenback. Mengutip Reuters, investor menaikkan posisi kepemilikan dolar AS jangka panjang menjadi US$ 21,85 miliar pada akhir pekan lalu dari pekan sebelumnya yang sebesar US$ 19,74 miliar. Angka itu menjadi posisi tertinggi sejak Januari 2017.
Saat memegang untuk jangka panjang, investor percaya bahwa sebuah mata uang punya potensi menguat pada masa mendatang. Situasi ini tentunya semakin menekan mata uang global, termasuk rupiah.
"Perbedaan suku bunga akan tetap mendukung penguatan dolar AS. Kita melihat pertumbuhan ekonomi AS mencapai 4,1%, jauh lebih tinggi dibandingkan negara-negara maju lainnya. Fundamental ekonomi yang kuat ini akan membuat dolar AS tetap mahal dibandingkan para pesaingnya," tutur Greg Michalowski, Director of Technical Analysis diForexLive.com yang berbasis di Scottsdale, Arizona, seperti dikutip dari Reuters.
Perkembangan ini bisa menjadi risiko bagi IHSG. Jika dolar AS menguat, maka rupiah berpotensi tertekan. Pelemahan rupiah membuat berinvestasi di aset-aset berbasis mata uang ini menjadi kurang menarik karena nilainya berpotensi turun.
IHSG menjadi terancam karena investor asing bisa keluar sebelum keuntungannya semakin tergerus karena depresiasi rupiah. Ini tentu bukan kabar gembira.
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular