Newsletter

Simak Data Perdagangan, Waspadai Profit Taking

Hidayat Setiaji & Anthony Kevin & Raditya Hanung, CNBC Indonesia
16 July 2018 05:00
Simak Data Perdagangan, Waspadai Profit Taking
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki
Jakarta, CNBC Indonesia - Pekan lalu menjadi periode yang indah bagi bursa saham domestik. Berbagai sentimen positif datang, baik dan dalam maupun luar negeri, yang mengantarkan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melesat signifikan dan menjadi yang terbaik di Asia. 

Dalam sepekan kemarin, IHSG mampu menguat 4,38%. Jauh membaik ketimbang pekan sebelumnya yang anjlok 1,79%. Bahkan dalam lima hari perdagangan selama pekan lalu IHSG selalu mengakhiri hari di zona hijau. 

Dari dalam negeri, berbagai rilis data menjadi sentimen positif bagi IHSG. Pertama adalah Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) periode Juni 2018 yang sebesar 128,1. Naik dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 125,1. Nilai IKK pada Juni merupakan rekor tertinggi sepanjang sejarah Indonesia. 

Secara bulanan (month-to-month/MtM), IKK Juni 2018 mampu tumbuh 2,4%, jauh lebih baik dari capaian Juni 2017 yang malah terkoreksi 2,78%. Namun, secara tahunan, pertumbuhan Juni 2018 yang sebesar 4,66% YoY masih lebih rendah dari Juni 2017 yaitu 7,18% YoY. 

Hal itu nampaknya disebabkan oleh rendahnya IKK pada 21016. Pada pertengahan 2016, pemerintah menaikkan tarif listrik rata-rata 0,81% sehingga sedikit banyak mempengaruhi konsumsi masyarakat. 

Namun secara umum, data IKK Juni 2018 bisa dibilang positif. Data ini semakin memperkuat asumsi bahwa konsumsi masyarakat sudah pulih. Sebelumnya, asumsi ini juga terlihat dengan tingginya impor barang konsumsi serta laju inflasi selama Ramadan-Idul Fitri yang lebih cepat dari konsensus pasar. 

Kedua, ada pula rilis data penjualan ritel. Penjualan ritel Indonesia tercatat naik 8,3% secara year-on-year (YoY) pada Mei 2018. Lebih baik ketimbang pencapaian bulan sebelumnya yaitu 4,1% YoY. 

Sementara dibandingkan Mei 2017, pertumbuhan tahun ini jauh lebih baik. Pada Mei 2017, penjualan ritel hanya tumbuh 4,3%. Tahun lalu, penjualan ritel memang agak tertekan. Ini tidak lepas dari perlambatan konsumsi masyarakat, utamanya karena kenaikan tarif listrik yang bisa lebih dari dua kali lipat. 

Sementara untuk penjualan ritel Juni 2018 diperkirakan tumbuh 6,8%. Tetap tumbuh tetapi melambat dibandingkan bulan sebelumnya. Namun lebih baik ketimbang Juni 2017 yang tumbuh 6,3% YoY. 

Sementara dari eksternal, sentimen positif utama datang dari meredanya perang dagang. Sejatinya pemerintahan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump kembali mengumumkan daftar barang-barang asal China senilai US$ 200 miliar (Rp 2.875 triliun) yang akan dikenakan bea masuk baru sebesar 10%.  

China pun kembali merespons dengan keras. Beijing menuding AS melakukan kebiasaannya, yaitu mem-bully negara lain. Oleh karena itu, Negeri Tirai Bambu pun siap melancarkan serangan balasan. China bahkan akan melaporkan kelakuan AS ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).  

Tidak hanya mengenakan bea masuk terhadap produk-produk AS, China juga mengancam membalas dengan kebijakan kualitatif. Misalnya membatasi kunjungan turis China ke AS, yang bisa mendatangkan devisa US$ 115 miliar bagi Negeri Paman Sam. 

Meski demikian, sentimen negatif ini ternyata tidak memberikan dampak yang signifikan pada pasar. Pasalnya, kini muncul pesimisme bahwa rencana AS untuk menerapkan bea masuk 10% kepada importasi produk China senilai US$ 200 miliar itu bisa terwujud. 

Sebab, rencana ini masih perlu digodok dan dibicarakan dengan seluruh pemangku kepentingan (stakeholders). Sepertinya proses tersebut tidak akan mulus karena mendapat tentangan dari legislatif, bahkan yang berasal dari Partai Republik pengusung Trump.  

"Pengumuman pemerintah sepertinya sangat gegabah. Lagi pula, sepertinya ini bukan pendekatan yang fokus," ujar Orrin Hatch, Ketua Komite Keuangan Senat AS dari Partai Republik, dikutip dari Reuters.  

"China memang menjalankan praktik perdagangan yang tidak adil. Namun saya rasa bea masuk bukan jalan keluarnya," kata Ketua Kongres AS Paul Ryan yang juga dari Partai Republik.  

Jika tidak disetujui oleh legislatif, maka rencana ini tidak akan terwujud. Dengan begitu, ada kemungkinan perang dagang AS-China tidak bertambah panas. 

Kemudian, pada akhir pekan ini, Menteri Keuangan AS Steve Mnuchin mengatakan Washington siap membuka kembali negosiasi perdagangan dengan China. Syaratnya, Beijing harus melakukan perubahan struktural dalam perekonomiannya.  

"Apabila China berkomitmen melakukan perubahan struktural, maka pemerintah siap setiap saat untuk berdiskusi," papar Mnuchin seperti dikutip dari Reuters.  

Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa pemerintahan AS terus mengkaji dampak dari penerapan bea masuk. "Kami memonitor dampak negatif dari bea masuk dengan seksama. Kami terus melakukan itu," kata Mnuchin.  

Pernyataan Mnuchin menegaskan bahwa bahwa AS menyadari adanya konsekuensi negatif yang harus ditanggung kala menerapkan bea masuk bagi produk-produk impor asal China. Jika dampak negatif dirasa lebih besar dari manfaat yang didapat, bukan tidak mungkin Presiden Trump berpikir ulang dan membatalkan rencananya tersebut. 

Faktor lainnya yang melunakkan tensi perang dagang adalah AS yang akhirnya secara resmi kembali mengizinkan ZTE (perusahaan telekomunikasi asal China) untuk melanjutkan operasinya. Sebelumnya, ZTE dijatuhi sanksi tidak boleh menjual produknya di AS selama 7 tahun karena terbukti mengirimkan barang secara ilegal ke Korea Utara dan Iran. 

Dinamika global yang positif tersebut juga mengangkat bursa saham Asia, meski IHSG tetap menjadi yang terbaik. Sepanjang pekan lalu, indeks Nikkei 225 melonjak 3,71%, Hang Seng menguat 0.74%, Shanghai Composite melaju 3,06%, Kospi lompat 1,67%, dan Straits Times menguat 2,15%. 

Dari Wall Street, tiga indeks utama pun mencatatkan kinerja impresif. Pada pekan lalu, Dow Jones Industrial Average (DJIA) naik 2,3%, S&P 500 menguat 1,5%, dan Nasdaq bertambah 1,79%. 

Selain ancaman perang dagang yang mereda, laju Wall Street juga didukung oleh sentimen dalam negeri yaitu musim laporan keuangan (earnings season). Konsensus pasar yang dihimpun Reuters memperkirakan laba bersih emiten di S&P 500 naik rata-rata 21% pada kuartal II-2018. 

Beberapa perusahaan di Negeri Adidaya yang sudah melaporkan kinerja keuangannya pada akhir pekan lalu, antara lain JPMorgan Chase yang mencatatkan pendapatan yang melebihi ekspektasi pasar, seiring peningkatan pendapatan perdagangan sebesar 13% YoY. Kemudian, Citigroup membukukan laba yang lebih tinggi dari estimasi, namun pendapatannya justru lebih rendah.  

Pertengahan pekan lalu, Pepsi sudah melaporkan kinerja yang lebih baik dari proyeksi pasar. Laba per saham (Earnings Per Share/EPS) Pepsi pada kuartal II-2018 tercatat US$ 1,61 sementara konsensus pasar berada di US$ 1,52. Pendapatan bersih adalah US$ 16,09 miliar, tumbuh 2,4% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.  

Investor juga sepertinya menyambut positif rilis data ekonomi AS terbaru. Inflasi AS pada periode Juni 2018 tercatat sebesar 0,1% MtM. Angka ini lebih rendah dari konsensus pasar yang dihimpun Reuters yaitu 0,2%. Inflasi Juni juga melambat dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 0,2% MtM.  

Sementara itu, inflasi inti (mengeluarkan komponen makanan bergejolak/volatile food dan energi) tercatat 0,2% MtM pada bulan Juni. Angka ini sama dengan capaian bulan sebelumnya maupun ekspektasi pasar.  

Data ini menunjukkan inflasi di Negeri Paman Sam masih terkenali, masih sesuai dengan kalkulasi pasar. Oleh karena itu, sepertinya The Federal Reserve/The Fed tidak akan memberi kejutan dengan menaikkan suku bunga acuan secara lebih agresif. Empat kali kenaikan sepanjang 2018 mungkin sudah cukup, bahkan lebih dari cukup.


Untuk perdagangan hari ini, investor perlu mencermati beberapa faktor. Dari dalam negeri, Badan Pusat Statistik (BPS) akan mengumumkan data perdagangan internasional periode Juni 2018. 

Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekspor tumbuh 16,38% YoY sementara impor masih tumbuh lebih cepat yaitu 30,17% YoY. Namun kini neraca perdagangan bisa mencatat surplus yang diperkirakan US$ 579,5 juta. 

Sebagai informasi, pertumbuhan ekpor pada bulan sebelumnya adalah 12,74% YoY dan impor tumbuh 28,12% YoY. Kala itu, neraca perdagangan membukukan defisit cukup dalam yaitu US$1,52 miliar. 

BI juga memperkirakan neraca perdagangan surplus pada bulan Juni. Bahkan surplusnya bisa lumayan besar yaitu di kisaran US$ 1 miliar. Surplus neraca perdagangan akan membawa persepsi bahwa aliran devisa ke Indonesia tetap terjaga sehingga mampu menopang penguatan mata uang Tanah Air. 


Ketika rupiah menguat, maka IHSG pun diuntungkan. Sebab, penguatan rupiah akan membuat aset-aset berbasis mata uang ini menjadi menguntungkan. Aksi beli (terutama oleh investor asing) bisa menjadi modal bagi penguatan IHSG lebih lanjut. 

Namun, investor juga patut waspada karena harga komoditas melemah pada pekan lalu dan bisa saja berlanjut hari ini. Sepanjang pekan lalu, harga minyak mentah jenis brent dan light sweet melemah masing-masing 2,31% dan 3,78%. 

Energi negatif utama yang membuat harga sang emas hitam babak belur datang pelabuhan utama di Libya yang siap dibuka kembali. Investor pun berharap pasokan minyak dari Libya akan pulih. Kenaikan pasokan berarti harga akan bergerak turun. 

Selain itu, faktor lainnya yang membebani harga minyak pekan ini adalah rencana pemerintah AS untuk meringankan sanksi bagi Iran. Awalnya, AS mengajak negara-megara sekutunya (termasuk China) untuk menghentikan pembelian minyak dari Iran pada November 2018. Namun kemudian sikap ini melunak.

"Ada beberapa negara yang datang ke AS dan meminta terkait hal tersebut (impor minyak dari Iran). Kami akan mempertimbangkannya," ucap Pompeo pada catatan wawancaranya dengan Sky News Arabia yang dirilis oleh Departemen Luar Negeri AS, seperti dikutip oleh CNBC International.

Ketika Negeri Persia tetap bisa mengekspor minyak, maka pasokan global tidak akan berkurang. Ini juga menjadi penyebab penurunan harga minyak, karena pasokannya yang memadai.

Pelaku pasar juga nampaknya mencerna laporan International Energy Agency (IEA) yang menyampaikan adanya kenaikan produksi di negara-negara Timur Tengah dan Rusia, yang berarti masih ada kapasitas minyak yang bisa mengguyur pasar global, dan memulihkan pasokan. Pernyataan IEA tersebut diperkuat oleh Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) yang melaporkan peningkatan produksi sebesar 173.000 barel per hari (bph) menjadi 32,3 juta bph, pada Juni 2018. Jumlah itu merupakan yang tertinggi sejak akhir 2016. 

Tidak hanya minyak, harga minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) pun melemah cukup dalam yaitu 5,25% dalam sepekan lalu. Harga CPO masih tertekan oleh loyonya harga minyak kedelai akibat tekanan isu perang dagang.

Harga minyak kedelai kontrak acuan di Chicago Board of Trade, sudah melemah 2,5% di sepanjang pekan ini. Minyak kedelai memang menjadi salah satu komoditas yang paling terdampak dari memburuknya hubungan perdagangan AS-China. Perusahaan-perusahaan asal Negeri Tirai Bambu diperkirakan akan membatalkan sebagian besar impor minyak kedelai yang rencananya akan dibeli dari AS, seiring bea masuk ekstra sebesar 25% . 

Harga CPO memang banyak dipengaruhi oleh pergerakan harga minyak nabati lainnya (seperti minyak kedelai), seiring mereka bersaing memperebutkan pangsa pasar minyak nabati global. Ketika harga minyak kedelai melemah, kecenderungannya adalah harga CPO akan ikut turun. 

Selain itu, dari sisi fundamental, ekspor minyak kelapa sawit Malaysa juga anjlok 12% secara bulanan pada Juni 2018, melansir data dari Malaysian Palm Oil Board (MPOB). Penurunan itu jauh lebih kencang dari ekspektasi pasar yang meramalkan koreksi sebesar 7,8%.

Sebagai informasi, ekspor Malaysia juga sudah turun 3 bulan berturut-turut. Hal ini lantas menjadi indikasi masih lemahnya permintaan minyak kelapa sawit global, dan akhirnya mampu membuat harga CPO semakin terpuruk. 

Penurunan harga komoditas (bila masih berlanjut) akan menjadi sentimen negatif bagi IHSG. Laba perusahaan-perusahaan migas, pertambangan, sampai agrikultur bisa tertekan. Tekanan terhadap emiten-emiten ini bisa berdampak kepada IHSG secara keseluruhan. 

Selain itu, ada pula risiko yang bisa menghantui IHSG. Sepanjang pekan lalu, IHSG sudah menguat lebih dari 4%. Selama Juli, penguatannya adalah 2,5%. 

Penguatan signifikan ini membuat IHSG rentan terkoreksi karena investor bisa melakukan ambil untung (profit taking) kapan saja. Saat pelaku pasar memutuskan untuk mencairkan keuntungan, maka akan terjadi aksi jual yang bisa menyeret IHSG ke teritori negatif. 

Harga aset di bursa saham Indonesia juga masih tergolong mahal. Valuasi IHSG yang terlihat dari indikator Price to Earnings Ratio (P/E) saat ini ada di 16,32 kali. Lebih tinggi ketimbang Hang Seng (11,2 kali), Shanghai Composite (12,25 kali), Kospi (12,1 kali), atau Straits Times (10,53 kali). Oleh karena itu, IHSG sejatinya rawan terkena tekanan jual. 


Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
  • Rilis data perdagangan internasional Indonesia periode Juni 2018 (11:00 WIB).
  • Rilis data pertumbuhan ekonomi China kuartal II-2018 (09:00 WIB).
  • Rilis data investasi aset tetap China periode Juni 2018 (09:00 WIB).
  • Rilis data produksi industri China periode Juni 2018 (09:00 WIB).
  • Rilis data penjualan ritel AS periode Juni 2018 (19:30 WIB).
  • Rilis data indeks manufaktur Empire State AS peiode Juli 2018 (19:30 WIB). 
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional: 

IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (Q I-2018 YoY)5.06%
Inflasi (Juni 2018 YoY)3.12%
Defisit anggaran (APBN 2018)-2.19% PDB
Transaksi berjalan (Q I-2018)-2.15% PDB
Neraca pembayaran (Q I-2018)-US$ 3.85 miliar
Cadangan devisa (Juni 2018)US$ 119.8 miliar

Untuk data-data pasar, silakan klik di sini.

TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular