
Newsletter
Simak Data Perdagangan, Waspadai Profit Taking
Hidayat Setiaji & Anthony Kevin & Raditya Hanung, CNBC Indonesia
16 July 2018 05:00

Untuk perdagangan hari ini, investor perlu mencermati beberapa faktor. Dari dalam negeri, Badan Pusat Statistik (BPS) akan mengumumkan data perdagangan internasional periode Juni 2018.
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekspor tumbuh 16,38% YoY sementara impor masih tumbuh lebih cepat yaitu 30,17% YoY. Namun kini neraca perdagangan bisa mencatat surplus yang diperkirakan US$ 579,5 juta.
Sebagai informasi, pertumbuhan ekpor pada bulan sebelumnya adalah 12,74% YoY dan impor tumbuh 28,12% YoY. Kala itu, neraca perdagangan membukukan defisit cukup dalam yaitu US$1,52 miliar.
BI juga memperkirakan neraca perdagangan surplus pada bulan Juni. Bahkan surplusnya bisa lumayan besar yaitu di kisaran US$ 1 miliar. Surplus neraca perdagangan akan membawa persepsi bahwa aliran devisa ke Indonesia tetap terjaga sehingga mampu menopang penguatan mata uang Tanah Air.
Ketika rupiah menguat, maka IHSG pun diuntungkan. Sebab, penguatan rupiah akan membuat aset-aset berbasis mata uang ini menjadi menguntungkan. Aksi beli (terutama oleh investor asing) bisa menjadi modal bagi penguatan IHSG lebih lanjut.
Namun, investor juga patut waspada karena harga komoditas melemah pada pekan lalu dan bisa saja berlanjut hari ini. Sepanjang pekan lalu, harga minyak mentah jenis brent dan light sweet melemah masing-masing 2,31% dan 3,78%.
Energi negatif utama yang membuat harga sang emas hitam babak belur datang pelabuhan utama di Libya yang siap dibuka kembali. Investor pun berharap pasokan minyak dari Libya akan pulih. Kenaikan pasokan berarti harga akan bergerak turun.
Selain itu, faktor lainnya yang membebani harga minyak pekan ini adalah rencana pemerintah AS untuk meringankan sanksi bagi Iran. Awalnya, AS mengajak negara-megara sekutunya (termasuk China) untuk menghentikan pembelian minyak dari Iran pada November 2018. Namun kemudian sikap ini melunak.
"Ada beberapa negara yang datang ke AS dan meminta terkait hal tersebut (impor minyak dari Iran). Kami akan mempertimbangkannya," ucap Pompeo pada catatan wawancaranya dengan Sky News Arabia yang dirilis oleh Departemen Luar Negeri AS, seperti dikutip oleh CNBC International.
Ketika Negeri Persia tetap bisa mengekspor minyak, maka pasokan global tidak akan berkurang. Ini juga menjadi penyebab penurunan harga minyak, karena pasokannya yang memadai.
Pelaku pasar juga nampaknya mencerna laporan International Energy Agency (IEA) yang menyampaikan adanya kenaikan produksi di negara-negara Timur Tengah dan Rusia, yang berarti masih ada kapasitas minyak yang bisa mengguyur pasar global, dan memulihkan pasokan. Pernyataan IEA tersebut diperkuat oleh Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) yang melaporkan peningkatan produksi sebesar 173.000 barel per hari (bph) menjadi 32,3 juta bph, pada Juni 2018. Jumlah itu merupakan yang tertinggi sejak akhir 2016.
Tidak hanya minyak, harga minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) pun melemah cukup dalam yaitu 5,25% dalam sepekan lalu. Harga CPO masih tertekan oleh loyonya harga minyak kedelai akibat tekanan isu perang dagang.
Harga minyak kedelai kontrak acuan di Chicago Board of Trade, sudah melemah 2,5% di sepanjang pekan ini. Minyak kedelai memang menjadi salah satu komoditas yang paling terdampak dari memburuknya hubungan perdagangan AS-China. Perusahaan-perusahaan asal Negeri Tirai Bambu diperkirakan akan membatalkan sebagian besar impor minyak kedelai yang rencananya akan dibeli dari AS, seiring bea masuk ekstra sebesar 25% .
Harga CPO memang banyak dipengaruhi oleh pergerakan harga minyak nabati lainnya (seperti minyak kedelai), seiring mereka bersaing memperebutkan pangsa pasar minyak nabati global. Ketika harga minyak kedelai melemah, kecenderungannya adalah harga CPO akan ikut turun.
Selain itu, dari sisi fundamental, ekspor minyak kelapa sawit Malaysa juga anjlok 12% secara bulanan pada Juni 2018, melansir data dari Malaysian Palm Oil Board (MPOB). Penurunan itu jauh lebih kencang dari ekspektasi pasar yang meramalkan koreksi sebesar 7,8%.
Sebagai informasi, ekspor Malaysia juga sudah turun 3 bulan berturut-turut. Hal ini lantas menjadi indikasi masih lemahnya permintaan minyak kelapa sawit global, dan akhirnya mampu membuat harga CPO semakin terpuruk.
Penurunan harga komoditas (bila masih berlanjut) akan menjadi sentimen negatif bagi IHSG. Laba perusahaan-perusahaan migas, pertambangan, sampai agrikultur bisa tertekan. Tekanan terhadap emiten-emiten ini bisa berdampak kepada IHSG secara keseluruhan.
Selain itu, ada pula risiko yang bisa menghantui IHSG. Sepanjang pekan lalu, IHSG sudah menguat lebih dari 4%. Selama Juli, penguatannya adalah 2,5%.
Penguatan signifikan ini membuat IHSG rentan terkoreksi karena investor bisa melakukan ambil untung (profit taking) kapan saja. Saat pelaku pasar memutuskan untuk mencairkan keuntungan, maka akan terjadi aksi jual yang bisa menyeret IHSG ke teritori negatif.
Harga aset di bursa saham Indonesia juga masih tergolong mahal. Valuasi IHSG yang terlihat dari indikator Price to Earnings Ratio (P/E) saat ini ada di 16,32 kali. Lebih tinggi ketimbang Hang Seng (11,2 kali), Shanghai Composite (12,25 kali), Kospi (12,1 kali), atau Straits Times (10,53 kali). Oleh karena itu, IHSG sejatinya rawan terkena tekanan jual.
(aji/aji)
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekspor tumbuh 16,38% YoY sementara impor masih tumbuh lebih cepat yaitu 30,17% YoY. Namun kini neraca perdagangan bisa mencatat surplus yang diperkirakan US$ 579,5 juta.
Sebagai informasi, pertumbuhan ekpor pada bulan sebelumnya adalah 12,74% YoY dan impor tumbuh 28,12% YoY. Kala itu, neraca perdagangan membukukan defisit cukup dalam yaitu US$1,52 miliar.
BI juga memperkirakan neraca perdagangan surplus pada bulan Juni. Bahkan surplusnya bisa lumayan besar yaitu di kisaran US$ 1 miliar. Surplus neraca perdagangan akan membawa persepsi bahwa aliran devisa ke Indonesia tetap terjaga sehingga mampu menopang penguatan mata uang Tanah Air.
Ketika rupiah menguat, maka IHSG pun diuntungkan. Sebab, penguatan rupiah akan membuat aset-aset berbasis mata uang ini menjadi menguntungkan. Aksi beli (terutama oleh investor asing) bisa menjadi modal bagi penguatan IHSG lebih lanjut.
Namun, investor juga patut waspada karena harga komoditas melemah pada pekan lalu dan bisa saja berlanjut hari ini. Sepanjang pekan lalu, harga minyak mentah jenis brent dan light sweet melemah masing-masing 2,31% dan 3,78%.
Energi negatif utama yang membuat harga sang emas hitam babak belur datang pelabuhan utama di Libya yang siap dibuka kembali. Investor pun berharap pasokan minyak dari Libya akan pulih. Kenaikan pasokan berarti harga akan bergerak turun.
Selain itu, faktor lainnya yang membebani harga minyak pekan ini adalah rencana pemerintah AS untuk meringankan sanksi bagi Iran. Awalnya, AS mengajak negara-megara sekutunya (termasuk China) untuk menghentikan pembelian minyak dari Iran pada November 2018. Namun kemudian sikap ini melunak.
"Ada beberapa negara yang datang ke AS dan meminta terkait hal tersebut (impor minyak dari Iran). Kami akan mempertimbangkannya," ucap Pompeo pada catatan wawancaranya dengan Sky News Arabia yang dirilis oleh Departemen Luar Negeri AS, seperti dikutip oleh CNBC International.
Ketika Negeri Persia tetap bisa mengekspor minyak, maka pasokan global tidak akan berkurang. Ini juga menjadi penyebab penurunan harga minyak, karena pasokannya yang memadai.
Pelaku pasar juga nampaknya mencerna laporan International Energy Agency (IEA) yang menyampaikan adanya kenaikan produksi di negara-negara Timur Tengah dan Rusia, yang berarti masih ada kapasitas minyak yang bisa mengguyur pasar global, dan memulihkan pasokan. Pernyataan IEA tersebut diperkuat oleh Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) yang melaporkan peningkatan produksi sebesar 173.000 barel per hari (bph) menjadi 32,3 juta bph, pada Juni 2018. Jumlah itu merupakan yang tertinggi sejak akhir 2016.
Tidak hanya minyak, harga minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) pun melemah cukup dalam yaitu 5,25% dalam sepekan lalu. Harga CPO masih tertekan oleh loyonya harga minyak kedelai akibat tekanan isu perang dagang.
Harga minyak kedelai kontrak acuan di Chicago Board of Trade, sudah melemah 2,5% di sepanjang pekan ini. Minyak kedelai memang menjadi salah satu komoditas yang paling terdampak dari memburuknya hubungan perdagangan AS-China. Perusahaan-perusahaan asal Negeri Tirai Bambu diperkirakan akan membatalkan sebagian besar impor minyak kedelai yang rencananya akan dibeli dari AS, seiring bea masuk ekstra sebesar 25% .
Harga CPO memang banyak dipengaruhi oleh pergerakan harga minyak nabati lainnya (seperti minyak kedelai), seiring mereka bersaing memperebutkan pangsa pasar minyak nabati global. Ketika harga minyak kedelai melemah, kecenderungannya adalah harga CPO akan ikut turun.
Selain itu, dari sisi fundamental, ekspor minyak kelapa sawit Malaysa juga anjlok 12% secara bulanan pada Juni 2018, melansir data dari Malaysian Palm Oil Board (MPOB). Penurunan itu jauh lebih kencang dari ekspektasi pasar yang meramalkan koreksi sebesar 7,8%.
Sebagai informasi, ekspor Malaysia juga sudah turun 3 bulan berturut-turut. Hal ini lantas menjadi indikasi masih lemahnya permintaan minyak kelapa sawit global, dan akhirnya mampu membuat harga CPO semakin terpuruk.
Penurunan harga komoditas (bila masih berlanjut) akan menjadi sentimen negatif bagi IHSG. Laba perusahaan-perusahaan migas, pertambangan, sampai agrikultur bisa tertekan. Tekanan terhadap emiten-emiten ini bisa berdampak kepada IHSG secara keseluruhan.
Selain itu, ada pula risiko yang bisa menghantui IHSG. Sepanjang pekan lalu, IHSG sudah menguat lebih dari 4%. Selama Juli, penguatannya adalah 2,5%.
Penguatan signifikan ini membuat IHSG rentan terkoreksi karena investor bisa melakukan ambil untung (profit taking) kapan saja. Saat pelaku pasar memutuskan untuk mencairkan keuntungan, maka akan terjadi aksi jual yang bisa menyeret IHSG ke teritori negatif.
Harga aset di bursa saham Indonesia juga masih tergolong mahal. Valuasi IHSG yang terlihat dari indikator Price to Earnings Ratio (P/E) saat ini ada di 16,32 kali. Lebih tinggi ketimbang Hang Seng (11,2 kali), Shanghai Composite (12,25 kali), Kospi (12,1 kali), atau Straits Times (10,53 kali). Oleh karena itu, IHSG sejatinya rawan terkena tekanan jual.
(aji/aji)
Next Page
Simak Agenda dan Data Berikut Ini
Pages
Most Popular