
Newsletter
Menjawab Ancaman Trump, Tunggu Kabar dari Bogor
Hidayat Setiaji & Anthony Kevin & Raditya Hanung, CNBC Indonesia
09 July 2018 05:30

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah cukup signifikan pekan lalu. Sentimen domestik dan global menjadi pemberat IHSG.
Akhir pekan lalu, IHSG melemah 0,77%. Koreksi ini menambah duka IHSG yang sepanjang pekan anjlok 1,79%.
Dari dalam negeri, sentimen negatif bagi IHSG datang dari pelemahan rupiah. Selama pekan lalu, rupiah melemah 0,27% terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Saat rupiah melemah, berinvestasi dalam aset berbasis mata uang ini menjadi kurang menguntungkan karena nilainya turun. Oleh karena itu, investor asing cenderung keluar dari pasar keuangan Indonesia kala rupiah terdeprediasi karena tidak ingin mengalami rugi kurs.
Sepanjang pekan lalu, investor asing membukukan jual bersih Rp 1,32 triliun. Ini membuat nilai jual bersih investor asing sejak awal tahun menjadi Rp 50,72 triliun.
Salah satu penyebab depresiasi rupiah dari sisi domestik adalah fondasi yang relatif rentan karena seretnya pasokan devisa dari ekspor barang dan jasa. Bank Indonesia (BI) memperkirakan transaksi berjalan pada kuartal II-2018 bakal defisit sekitar 2,5% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Lebih dalam ketimbang kuartal sebelumnya yaitu 2,15% PDB atau periode yang sama tahun sebelumnya yang sebesar 1,96% PDB.
Sementara faktor eksternal yang menjadi pemberat IHSG utamanya adalah dinamika perang dagang. Presiden AS Donald Trump terus menunjukkan kebijakan yang proteksionistik, sehingga memantik balas dendam dari negara-negara lain.
Uni Eropa mengancam akan menerapkan bea masuk baru bagi sejumlah produk asal Amerika Serikat (AS) senilai US$ 294 miliar, jika Negeri Paman Sam bersikeras menaikkan bea masuk bagi mobil-mobil asal Eropa. Sebagai catatan, bea masuk yang menyasar produk senilai hampir US$ 300 miliar tersebut merupakan yang terbesar yang pernah diumumkan oleh negara mana pun sejak perang dagang mulai berkecamuk pada Maret 2018.
Hal ini lantas memperparah kekhawatiran investor karena pada 6 Juli baik AS dan China akan menerapkan tarif bea masuk baru. AS akan mengenakan bea masuk 25% bagi 818 produk China. Sementara China membebani bea masuk 25% bagi 659 produk China.
Bahkan Trump tidak ingin berhenti sampai di situ. Ke depan, dia berencana mengenakan bea masuk bagi impor produk-produk China senilai lebih dari US$ 500 miliar.
Perang dagang juga sudah mulai merambah Indonesia. Sofjan Wanandi, Ketua Tim Ahli Wakil Presiden, mengungkapkan Trump akan mencabut sejumlah perlakukan khusus yang saat ini diberikan ke Indonesia.
"Trump sudah kasih warning ke kita karena kita surplus. Beberapa special treatment yang dia beri ke kita mau dia cabut, terutama untuk tekstil," katanya.
Sebagai catatan, berdasarkan data United Nations International Trade Statistics Database, Indonesia menikmati surplus dagang hingga US$ 9,59 miliar dengan AS sepanjang 2017. Kini, pemerintahan Trump tengah mengevaluasi kelayakan Indonesia untuk memperoleh manfaat skema Generalized System of Preferences (GSP).
GSP merupakan kebijakan perdagangan fasilitas pemotongan bea masuk impor terhadap produk ekspor dari negara lain, khususnya untuk membantu perekonomian negara berkembang. Sampai hari ini, Indonesia masih termasuk di dalam GSP kategori A, yang diberikan pemotongan tarif bea masuk di AS untuk sekitar 3.500 produk, termasuk sebagian produk agrikultur, tekstil, garmen, dan perkayuan. Apabila hasil dari evaluasi merekomendasikan Indonesia tidak lagi berhak atas fasilitas GSP, maka akan dikenakan bea masuk normal oleh AS.
Api perang dagang yang masih membara membuat investor tidak nyaman. Akibatnya, pelaku pasar memilih bermain aman dan melepas aset-aset berisiko seperti saham. IHSG pun jadi korban.
Tidak hanya IHSG, bursa saham Asia lainnya pun melemah karena terhempas isu perang dagang. Sepanjang pekan lalu, indeks Nikkei 225 anjlok 1,98%, Shanghai Composite amblas 3,5%, Hang Seng turun 0,8%, dan Straits Times terkoreksi 1,45%.
Akhir pekan lalu, IHSG melemah 0,77%. Koreksi ini menambah duka IHSG yang sepanjang pekan anjlok 1,79%.
Dari dalam negeri, sentimen negatif bagi IHSG datang dari pelemahan rupiah. Selama pekan lalu, rupiah melemah 0,27% terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Saat rupiah melemah, berinvestasi dalam aset berbasis mata uang ini menjadi kurang menguntungkan karena nilainya turun. Oleh karena itu, investor asing cenderung keluar dari pasar keuangan Indonesia kala rupiah terdeprediasi karena tidak ingin mengalami rugi kurs.
Sepanjang pekan lalu, investor asing membukukan jual bersih Rp 1,32 triliun. Ini membuat nilai jual bersih investor asing sejak awal tahun menjadi Rp 50,72 triliun.
Salah satu penyebab depresiasi rupiah dari sisi domestik adalah fondasi yang relatif rentan karena seretnya pasokan devisa dari ekspor barang dan jasa. Bank Indonesia (BI) memperkirakan transaksi berjalan pada kuartal II-2018 bakal defisit sekitar 2,5% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Lebih dalam ketimbang kuartal sebelumnya yaitu 2,15% PDB atau periode yang sama tahun sebelumnya yang sebesar 1,96% PDB.
Sementara faktor eksternal yang menjadi pemberat IHSG utamanya adalah dinamika perang dagang. Presiden AS Donald Trump terus menunjukkan kebijakan yang proteksionistik, sehingga memantik balas dendam dari negara-negara lain.
Uni Eropa mengancam akan menerapkan bea masuk baru bagi sejumlah produk asal Amerika Serikat (AS) senilai US$ 294 miliar, jika Negeri Paman Sam bersikeras menaikkan bea masuk bagi mobil-mobil asal Eropa. Sebagai catatan, bea masuk yang menyasar produk senilai hampir US$ 300 miliar tersebut merupakan yang terbesar yang pernah diumumkan oleh negara mana pun sejak perang dagang mulai berkecamuk pada Maret 2018.
Hal ini lantas memperparah kekhawatiran investor karena pada 6 Juli baik AS dan China akan menerapkan tarif bea masuk baru. AS akan mengenakan bea masuk 25% bagi 818 produk China. Sementara China membebani bea masuk 25% bagi 659 produk China.
Bahkan Trump tidak ingin berhenti sampai di situ. Ke depan, dia berencana mengenakan bea masuk bagi impor produk-produk China senilai lebih dari US$ 500 miliar.
Perang dagang juga sudah mulai merambah Indonesia. Sofjan Wanandi, Ketua Tim Ahli Wakil Presiden, mengungkapkan Trump akan mencabut sejumlah perlakukan khusus yang saat ini diberikan ke Indonesia.
"Trump sudah kasih warning ke kita karena kita surplus. Beberapa special treatment yang dia beri ke kita mau dia cabut, terutama untuk tekstil," katanya.
Sebagai catatan, berdasarkan data United Nations International Trade Statistics Database, Indonesia menikmati surplus dagang hingga US$ 9,59 miliar dengan AS sepanjang 2017. Kini, pemerintahan Trump tengah mengevaluasi kelayakan Indonesia untuk memperoleh manfaat skema Generalized System of Preferences (GSP).
GSP merupakan kebijakan perdagangan fasilitas pemotongan bea masuk impor terhadap produk ekspor dari negara lain, khususnya untuk membantu perekonomian negara berkembang. Sampai hari ini, Indonesia masih termasuk di dalam GSP kategori A, yang diberikan pemotongan tarif bea masuk di AS untuk sekitar 3.500 produk, termasuk sebagian produk agrikultur, tekstil, garmen, dan perkayuan. Apabila hasil dari evaluasi merekomendasikan Indonesia tidak lagi berhak atas fasilitas GSP, maka akan dikenakan bea masuk normal oleh AS.
Api perang dagang yang masih membara membuat investor tidak nyaman. Akibatnya, pelaku pasar memilih bermain aman dan melepas aset-aset berisiko seperti saham. IHSG pun jadi korban.
Tidak hanya IHSG, bursa saham Asia lainnya pun melemah karena terhempas isu perang dagang. Sepanjang pekan lalu, indeks Nikkei 225 anjlok 1,98%, Shanghai Composite amblas 3,5%, Hang Seng turun 0,8%, dan Straits Times terkoreksi 1,45%.
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular