Dari Wall Street, tiga indeks utama mencatatkan pelemahan. Dow Jones Industrial Average (DJIA) turun 0,78%, S&P 500 terkoreksi 0,68%, dan Nasdaq berkurang 0,81%. Berbagai sentimen negatif mendera Wall Street.
Pertama adalah lonjakan imbal hasil (
yield) obligasi pemerintah AS. Saat ini,
yield obligasi AS seri acuan tenor 10 tahun berada di 3,0723%. Tertinggi dalam hampir 7 tahun terakhir.
Kenaikan
yield merupakan pertanda bahwa ekspektasi inflasi sedang meningkat. Hal ini terjadi karena data-data ekonomi Negeri Paman Sam belum berhenti mengabarkan berita baik. Ekonomi yang semakin membaik tentu berakibat pada percepatan laju inflasi.
Teranyar, penjualan ritel naik 0,3% secara
month-to-month (MtM), sesuai dengan ekspektasi pasar. Sementara pertumbuhan secara YoY mencapai 4,7%.
Bila mengeluarkan penjualan mobil, bahan bakar, material bagunan, dan jasa makanan-minuman (sering disebut penjualan ritel inti atau
core retail sales) ada kenaikan 0,4% MtM.
Core retail sales ini paling mendekati konsumsi rumah tangga dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB).
Penjualan ritel yang tumbuh menandakan konsumsi masyarakat pun meningkat. Dari sini pula peningkatan ekspektasi inflasi berasal. Ketika ekspektasi inflasi naik, cara untuk menjangkarnya adalah menaikkan suku bunga acuan.
Perkembangan ini telah mendorong pelaku pasar memperkirakan The Fed hampir pasti menaikkan suku bunga pada pertemuan bulan depan. Mengutip CME Federal Funds Futures, probabilitasnya adalah 95% untuk kenaikan 25 basis poin menjadi 1,75-2%, dan 5% untuk kenaikan 50 basis poin menjadi 2-2,25%.
Berita soal kenaikan suku bunga acuan pun menjadi bahan bakar penguatan dolar AS. Dollar Index, yang menggambarkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia, melonjak 0,71% ke 93,24%. Ini merupakan posisi Dollar Index tertinggi sejak awal tahun. Situasi ini menggambarkan bahwa investor tengah berpaling dari pasar saham untuk memburu dolar AS di pasar valas.
Sentimen negatif kedua berasal dari dinamika negosiasi perdagangan AS-China untuk mengakhiri perang dagang. Investor terlanjur berasumsi pembicaraan kedua negara telah mencapai tahap yang substansial, tetapi nyatanya belum ke arah sana.
Lawrence 'Larry' Kudlow, Penasihat Ekonomi Gedung Putih, menyatakan pemerintah mendukung penurunan tarif bea masuk oleh kedua belah pihak. Namun hingga saat ini belum ada kesepakatan yang bisa diraih.
"Kami berdua (AS dan China) harus menuurnkan tarif sebesar mungkin, dan menghilangkan hambatan non tarif. Perdagangan bebas dan terbuka, itulah solusinya," kata Kudlow, seperti dikutip Reuters.
Situasi semakin keruh kala Marco Rubio, Senator Florida dari Partai Republik, menegaskan pemerintah tidak bisa begitu saja mencabut sanksi bagi ZTE. Bagi Rubio, ZTE tetap merupakan sebuah ancaman.
"Mereka melakukan serangan total untuk mencuri apa yang sudah kita bangun dan menggunakannya sebagai dasar untuk pengembangan di masa depan,' tegas Rubio.
Suara keras tidak hanya datang dari Rubio. Ron Wyden, Senator Oregon dari Partai Demokrat, juga mempertanyakan rencana penghapusan sanksi terhadap ZTE.
"Jadi pemerintah akan membuat kesepakatan, setelah selama ini mereka berkeras mengatakan bahwa China telah meniru produk dan teknologi kita?" sebut Wyden.
Sebelumnya, ZTE dilarang berjualan di tanah AS selama tujuh tahun setelah divonis bersalah telah mengirimkan produknya secara ilegal ke Iran dan Korea Utara. Namun sepertinya Presiden AS Donald Trump berkomitmen untuk menyelesaikan persoalan yang membelit ZTE sebelum perundingan dagang dengan China berlanjut.
"Presiden Xi (Jinping) dan saya sedang berusaha bersama untuk membuka kembali akses bisnis bagi perusahaan pembuat ponsel pintar raksasa asal China, ZTE, dengan cepat. Terlalu banyak pekerjaan yang hilang di China. Kementerian Perdagangan sudah diinstruksikan untuk menyelesaikannya!" tegas Trump melalui akun Twitter pribadinya.
Mungkin pelaku pasar yang sudah diberi angin surga kemudian kecewa karena pembahasan isu perdagangan AS-China masih butuh waktu lama. Kekecewaan itu dilampiaskan dengan melakukan aksi jual yang menekan Wall Street.
Untuk perdagangan hari ini, investor patut mewaspadai koreksi yang terjadi di Wall Street. Virus koreksi ini bisa saja menluar sampai ke Asia, termasuk Indonesia.
Banyak faktor eksternal yang mungkin patut disimak pelaku pasar. Pertama adalah perkembangan pembahasan dagang AS-China yang sepertinya butuh waktu dan melalui jalan terjal. Pro dan kontra pasti terjadi di tengah pembahasan.
Sebelum ada kesepakatan yang tegas, misalnya berupa penurunan tarif bea masuk oleh kedua negara, maka isu perang dagang sejatinya belum sepenuhnya reda. Oleh karena itu, investor masih perlu waspada dengan dinamika isu ini.
Kedua, situasi di Timur Tengah juga sedang tidak kondusif. Pada awal pekan ini, setidaknya 60 warga Palestina, termasuk 8 anak-anak, terbunuh dalam aksi protes terkait dengan pemindahan kedutaan besar AS di Israel dari Tel Aviv Ke Yerusalem. Kemarin, aksi serupa masih berlangsung diiringi dengan terus bertambahnya korban jiwa dan luka-luka.
Jika eskalasi ketegangan ini meningkatm, maka dikhawatirkan bisa memicu konflik bersenjata dalam skala luas. Apalagi jika kemudian sampai melibatkan negara lain.
Sebagai informasi, Arab Saudi dan Iran masih terus berebur pengaruh untuk menentukan siapa yang terkuat di Kawasan Teluk. Kalau sampai kedua negara ini ikut campur, maka bisa dipastikan akan terjadi peningkatan tensi yang mungkin saja melahirkan konflik bersenjata.
Namun sampai saat ini sepertinya isu pemindahan kedutaan besar AS di Israel belum masuk ke ranah pasar. Harga minyak justru terkoreksi. Padahal biasanya harga si emas hitam bergerak naik ketika ada ketegangan di Timur Tengah, karena ada kekhawatiran gangguan produksi dan distribusi.
Penurunan harga minyak disebabkan meningkatnya stok di AS. Menurut catatan American Petroleum Institute, stok minyak AS naik 4,9 juta barel pada pekan lalu. Jauh di atas ekspektasi pasar yaitu naik 763.000. Pasokan yang melimpah membuat harga komoditas ini turun.
Penurunan harga minyak bukan kabar baik bagi IHSG. Emiten migas dan pertambangan biasanya kurang diapresiasi kala harga minyak turun. Investor juga perlu waspada terhadap perkembangan nilai tukar dolar AS.
Ketiga, berlanjutnya kenaikan
yield obligasi AS membuat
greenback masih enggan memperlambat lajunya. Penguatan dolar AS akan berujung pada depresiasi rupiah. Saat rupiah melemah, memegang aset berbasis mata uang tersebut menjadi kurang menarik karena nilainya turun. Akibatnya, aksi jual (terutama oleh investor asing) akan kembali terjadi dan melumpuhkan IHSG.
Sementara dari dalam negeri, kemungkinan pelaku pasar akan bergerak defensif karena menunggu pengumuman suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) 7 days reverse repo rate pada esok hari. Pasar sudah menantikan janji manis BI, yang memberi kode keras dengan menyatakan ruang kenaikan suku bunga acuan cukup terbuka.
Pada perdagangan kemarin, saham-saham emiten bank mengalami koreksi dalam seperti BBCA (-3,37%), BMRI (-4,86%), BBRI (-3,76%), BBNI (-1,52%), dan BNGA (-5,13%). Sepertinya investor menunggu pengumuman suku bunga acuan sebelum kembali masuk ke saham perbankan.
Sebenarnya kenaikan suku bunga acuan agak dilematis bagi perbankan. Di satu sisi kebijakan ini bisa meningkatkan profitabilitas, karena pendapatan bunga akan naik. Namun di sisi lain, permintaan kredit masih lesu sehingga kenaikan suku bunga simpanan tidak bisa begitu saja ditransmisikan ke suku bunga kredit. Per Maret 2018, pertumbuhan kredit baru 8,54% YoY, belum menyentuh dua digit.
Jika suku bunga kredit naik, maka alih-alih mendapat untung, bank malah bisa terimbas risiko kenaikan
Non Performing Loan (NPL) alias kredit bermasalah. Bank masih dalam proses konsolidasi dari pembengkakan NPL pada 2015 akibat harga komoditas yang anjlok. Tentu bank tidak ingin pengalaman buruk itu terulang kembali.
Belum lagi kenaikan suku bunga acuan bisa berdampak kepada perlambatan konsumsi. Padahal, konsumsi yang stagnan menjadi alasan pertumbuhan ekonomi kuartal I-2018 kurang trengginas, yaitu hanya 5,06%. Menaikkan suku bunga sama dengan mengerem konsumsi dan mengorbankan pertumbuhan ekonomi.
Oleh karena itu, penantian atas kenaikan suku bunga acuan bisa digambarkan dalam kalimat 'harap-harap cemas'. Sebab, pasar mengharapkan kenaikan tetapi perlu dicemaskan bagaimana dampak dari kenaikan tersebut.
Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
- Menko Perekonomian Darmin Nasution dan sejumlah menteri Kabinet Kerja mengadakan rapat koordinasi membahas insentif investasi (09:00 WIB).
- Presiden Joko Widodo dan para pejabat negara mengadakan sidang kabinet paripurna (14.00 WIB).
- Rapat Dewan Gubernur BI hari pertama.
- Rilis data pendahuluan pertumbuhan ekonomi Jepang kuartal I-2018 (06:50).
- Rilis data penerbitan izin bangunan AS periode April 2018 (19:30).
- Rilis data produksi sektor industri AS periode April 2018 (19:30).
- Rilis data cadangan minyak mentah AS dalam sepekan hingga tanggal 11 Mei (21:30).
Investor juga perlu mencermati agenda perusahaan yang akan diselenggarakan pada hari ini, yaitu:
Perusahaan | Jenis Kegiatan | Waktu |
PT Hexindo Adiperkasa Tbk (HEXA) | RUPSLB | - |
PT Kawasan Industri Jababeka Tbk (KIJA) | RUPS Tahunan | 09:00 |
PT Suryamas Dutamakmur Tbk (SMDM) | RUPS Tahunan | 10:00 |
PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG) | Analyst Meeting | 10:00 |
PT Maskapai Reasuransi Indonesia Tbk (MREI) | RUPS Tahunan | 10:30 |
PT Graha Layar Prima Tbk (BLTZ) | RUPS Tahunan | 11:00 |
PT Ratu Prabu Energi Tbk (ARTI) | RUPS Tahunan | 14:00 |
Berikut perkembangan sejumlah bursa saham utama:
Indeks | Close | % Change | % YTD |
IHSG | 5,838.12 | (1.83) | (8.14) |
LQ45 | 935.35 | (2.77) | (13.34) |
DJIA | 24,706.41 | (0.78) | (0.05) |
CSI300 | 3,924.34 | 0.38 | (2.64) |
Hang Seng | 31,152.03 | (1.23) | 4.12 |
NIKKEI | 22,818.02 | (0.21) | 0.23 |
Strait Times | 3,540.23 | (0.62) | 4.04 |
Berikut perkembangan nilai tukar sejumlah mata uang:
Mata Uang | Close | % Change | % YoY |
USD/IDR | 14,032.00 | 0.48 | 5.54 |
EUR/USD | 1.18 | (0.85) | 6.59 |
GBP/USD | 1.35 | (0.44) | 4.50 |
USD/CHF | 1.00 | (0.03) | 1.72 |
USD/CAD | 1.29 | 0.50 | (5.41) |
USD/JPY | 110.26 | 0.56 | (2.12) |
AUD/USD | 0.75 | (0.76) | 0.65 |
Berikut perkembangan harga sejumlah komoditas:
Komoditas | Close | % Change | % YoY |
Minyak WTI (USD/barel) | 71.04 | (0,03) | 46.02 |
Minyak Brent (USD/barel) | 78.07 | (0.22) | 51.15 |
Emas (USD/troy ons) | 1,292.85 | (1.50) | 4.58 |
CPO (MYR/ton) | 2,374.00 | 0.17 | (16.23) |
Batu bara (USD/ton) | 104.25 | 1.36 | 42.32 |
Tembaga (USD/pound) | 3,05 | (1.19) | 19.77 |
Nikel (USD/ton) | 13,819.50 | 0.00 | 52.46 |
Timah (USD/ton) | 20,950.00 | (0.12) | 5.14 |
Karet (JPY/kg) | 177.00 | (1.06) | (40.48) |
Kakao (USD/ton) | 2,325.00 | (16.22) | 31.27 |
Berikut perkembangan imbal hasil (
yield) Surat Berharga Negara:
Tenor | Yield (%) |
5Y | 6.82 |
10Y | 7.08 |
15Y | 7.52 |
20Y | 7.65 |
30Y | 7.71 |
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (Q I-2018 YoY) | 5.06% |
Inflasi (April 2018 YoY) | 3.41% |
Defisit anggaran (APBN 2018) | -2.19% PDB |
Transaksi berjalan (Q I-2018) | -2.15% PDB |
Neraca pembayaran (Q I-2018) | -US$ 3.85 miliar |
Cadangan devisa (April 2018) | US$ 124.9 miliar |
TIM RISET CNBC INDONESIA