Newsletter

Harap-harap Cemas Menanti Suku Bunga Acuan

Hidayat Setiaji & Raditya Hanung & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
16 May 2018 06:14
Cermati Sentimen Penggeral Pasar Berikut Ini
Foto: CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto
Untuk perdagangan hari ini, investor patut mewaspadai koreksi yang terjadi di Wall Street. Virus koreksi ini bisa saja menluar sampai ke Asia, termasuk Indonesia. 

Banyak faktor eksternal yang mungkin patut disimak pelaku pasar. Pertama adalah perkembangan pembahasan dagang AS-China yang sepertinya butuh waktu dan melalui jalan terjal. Pro dan kontra pasti terjadi di tengah pembahasan.  

Sebelum ada kesepakatan yang tegas, misalnya berupa penurunan tarif bea masuk oleh kedua negara, maka isu perang dagang sejatinya belum sepenuhnya reda. Oleh karena itu, investor masih perlu waspada dengan dinamika isu ini. 

Kedua, situasi di Timur Tengah juga sedang tidak kondusif. Pada awal pekan ini, setidaknya 60 warga Palestina, termasuk 8 anak-anak, terbunuh dalam aksi protes terkait dengan pemindahan kedutaan besar AS di Israel dari Tel Aviv Ke Yerusalem. Kemarin, aksi serupa masih berlangsung diiringi dengan terus bertambahnya korban jiwa dan luka-luka. 

Jika eskalasi ketegangan ini meningkatm, maka dikhawatirkan bisa memicu konflik bersenjata dalam skala luas. Apalagi jika kemudian sampai melibatkan negara lain.  

Sebagai informasi, Arab Saudi dan Iran masih terus berebur pengaruh untuk menentukan siapa yang terkuat di Kawasan Teluk. Kalau sampai kedua negara ini ikut campur, maka bisa dipastikan akan terjadi peningkatan tensi yang mungkin saja melahirkan konflik bersenjata. 

Namun sampai saat ini sepertinya isu pemindahan kedutaan besar AS di Israel belum masuk ke ranah pasar. Harga minyak justru terkoreksi. Padahal biasanya harga si emas hitam bergerak naik ketika ada ketegangan di Timur Tengah, karena ada kekhawatiran gangguan produksi dan distribusi. 

Penurunan harga minyak disebabkan meningkatnya stok di AS. Menurut catatan American Petroleum Institute, stok minyak AS naik 4,9 juta barel pada pekan lalu. Jauh di atas ekspektasi pasar yaitu naik 763.000. Pasokan yang melimpah membuat harga komoditas ini turun.

Penurunan harga minyak bukan kabar baik bagi IHSG. Emiten migas dan pertambangan biasanya kurang diapresiasi kala harga minyak turun. Investor juga perlu waspada terhadap perkembangan nilai tukar dolar AS.

Ketiga, berlanjutnya kenaikan yield obligasi AS membuat greenback masih enggan memperlambat lajunya. Penguatan dolar AS akan berujung pada depresiasi rupiah. Saat rupiah melemah, memegang aset berbasis mata uang tersebut menjadi kurang menarik karena nilainya turun. Akibatnya, aksi jual (terutama oleh investor asing) akan kembali terjadi dan melumpuhkan IHSG. 

Sementara dari dalam negeri, kemungkinan pelaku pasar akan bergerak defensif karena menunggu pengumuman suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) 7 days reverse repo rate pada esok hari. Pasar sudah menantikan janji manis BI, yang memberi kode keras dengan menyatakan ruang kenaikan suku bunga acuan cukup terbuka. 

Pada perdagangan kemarin, saham-saham emiten bank mengalami koreksi dalam seperti BBCA (-3,37%), BMRI (-4,86%), BBRI (-3,76%), BBNI (-1,52%), dan BNGA (-5,13%). Sepertinya investor menunggu pengumuman suku bunga acuan sebelum kembali masuk ke saham perbankan. 

Sebenarnya kenaikan suku bunga acuan agak dilematis bagi perbankan. Di satu sisi kebijakan ini bisa meningkatkan profitabilitas, karena pendapatan bunga akan naik. Namun di sisi lain, permintaan kredit masih lesu sehingga kenaikan suku bunga simpanan tidak bisa begitu saja ditransmisikan ke suku bunga kredit. Per Maret 2018, pertumbuhan kredit baru 8,54% YoY, belum menyentuh dua digit. 

Jika suku bunga kredit naik, maka alih-alih mendapat untung, bank malah bisa terimbas risiko kenaikan Non Performing Loan (NPL) alias kredit bermasalah. Bank masih dalam proses konsolidasi dari pembengkakan NPL pada 2015 akibat harga komoditas yang anjlok. Tentu bank tidak ingin pengalaman buruk itu terulang kembali.

Belum lagi kenaikan suku bunga acuan bisa berdampak kepada perlambatan konsumsi. Padahal, konsumsi yang stagnan menjadi alasan pertumbuhan ekonomi kuartal I-2018 kurang trengginas, yaitu hanya 5,06%. Menaikkan suku bunga sama dengan mengerem konsumsi dan mengorbankan pertumbuhan ekonomi.

Oleh karena itu, penantian atas kenaikan suku bunga acuan bisa digambarkan dalam kalimat 'harap-harap cemas'. Sebab, pasar mengharapkan kenaikan tetapi perlu dicemaskan bagaimana dampak dari kenaikan tersebut.

(aji/aji)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular