
Newsletter
Harap-harap Cemas Menanti Suku Bunga Acuan
Hidayat Setiaji & Raditya Hanung & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
16 May 2018 06:14

Dari Wall Street, tiga indeks utama mencatatkan pelemahan. Dow Jones Industrial Average (DJIA) turun 0,78%, S&P 500 terkoreksi 0,68%, dan Nasdaq berkurang 0,81%. Berbagai sentimen negatif mendera Wall Street.
Pertama adalah lonjakan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS. Saat ini, yield obligasi AS seri acuan tenor 10 tahun berada di 3,0723%. Tertinggi dalam hampir 7 tahun terakhir.
Kenaikan yield merupakan pertanda bahwa ekspektasi inflasi sedang meningkat. Hal ini terjadi karena data-data ekonomi Negeri Paman Sam belum berhenti mengabarkan berita baik. Ekonomi yang semakin membaik tentu berakibat pada percepatan laju inflasi.
Teranyar, penjualan ritel naik 0,3% secara month-to-month (MtM), sesuai dengan ekspektasi pasar. Sementara pertumbuhan secara YoY mencapai 4,7%.
Bila mengeluarkan penjualan mobil, bahan bakar, material bagunan, dan jasa makanan-minuman (sering disebut penjualan ritel inti atau core retail sales) ada kenaikan 0,4% MtM. Core retail sales ini paling mendekati konsumsi rumah tangga dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB).
Penjualan ritel yang tumbuh menandakan konsumsi masyarakat pun meningkat. Dari sini pula peningkatan ekspektasi inflasi berasal. Ketika ekspektasi inflasi naik, cara untuk menjangkarnya adalah menaikkan suku bunga acuan.
Perkembangan ini telah mendorong pelaku pasar memperkirakan The Fed hampir pasti menaikkan suku bunga pada pertemuan bulan depan. Mengutip CME Federal Funds Futures, probabilitasnya adalah 95% untuk kenaikan 25 basis poin menjadi 1,75-2%, dan 5% untuk kenaikan 50 basis poin menjadi 2-2,25%.
Berita soal kenaikan suku bunga acuan pun menjadi bahan bakar penguatan dolar AS. Dollar Index, yang menggambarkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia, melonjak 0,71% ke 93,24%. Ini merupakan posisi Dollar Index tertinggi sejak awal tahun. Situasi ini menggambarkan bahwa investor tengah berpaling dari pasar saham untuk memburu dolar AS di pasar valas.
Sentimen negatif kedua berasal dari dinamika negosiasi perdagangan AS-China untuk mengakhiri perang dagang. Investor terlanjur berasumsi pembicaraan kedua negara telah mencapai tahap yang substansial, tetapi nyatanya belum ke arah sana.
Lawrence 'Larry' Kudlow, Penasihat Ekonomi Gedung Putih, menyatakan pemerintah mendukung penurunan tarif bea masuk oleh kedua belah pihak. Namun hingga saat ini belum ada kesepakatan yang bisa diraih.
"Kami berdua (AS dan China) harus menuurnkan tarif sebesar mungkin, dan menghilangkan hambatan non tarif. Perdagangan bebas dan terbuka, itulah solusinya," kata Kudlow, seperti dikutip Reuters.
Situasi semakin keruh kala Marco Rubio, Senator Florida dari Partai Republik, menegaskan pemerintah tidak bisa begitu saja mencabut sanksi bagi ZTE. Bagi Rubio, ZTE tetap merupakan sebuah ancaman.
"Mereka melakukan serangan total untuk mencuri apa yang sudah kita bangun dan menggunakannya sebagai dasar untuk pengembangan di masa depan,' tegas Rubio.
Suara keras tidak hanya datang dari Rubio. Ron Wyden, Senator Oregon dari Partai Demokrat, juga mempertanyakan rencana penghapusan sanksi terhadap ZTE.
"Jadi pemerintah akan membuat kesepakatan, setelah selama ini mereka berkeras mengatakan bahwa China telah meniru produk dan teknologi kita?" sebut Wyden.
Sebelumnya, ZTE dilarang berjualan di tanah AS selama tujuh tahun setelah divonis bersalah telah mengirimkan produknya secara ilegal ke Iran dan Korea Utara. Namun sepertinya Presiden AS Donald Trump berkomitmen untuk menyelesaikan persoalan yang membelit ZTE sebelum perundingan dagang dengan China berlanjut.
"Presiden Xi (Jinping) dan saya sedang berusaha bersama untuk membuka kembali akses bisnis bagi perusahaan pembuat ponsel pintar raksasa asal China, ZTE, dengan cepat. Terlalu banyak pekerjaan yang hilang di China. Kementerian Perdagangan sudah diinstruksikan untuk menyelesaikannya!" tegas Trump melalui akun Twitter pribadinya.
Mungkin pelaku pasar yang sudah diberi angin surga kemudian kecewa karena pembahasan isu perdagangan AS-China masih butuh waktu lama. Kekecewaan itu dilampiaskan dengan melakukan aksi jual yang menekan Wall Street.
(aji/aji)
Pertama adalah lonjakan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS. Saat ini, yield obligasi AS seri acuan tenor 10 tahun berada di 3,0723%. Tertinggi dalam hampir 7 tahun terakhir.
Kenaikan yield merupakan pertanda bahwa ekspektasi inflasi sedang meningkat. Hal ini terjadi karena data-data ekonomi Negeri Paman Sam belum berhenti mengabarkan berita baik. Ekonomi yang semakin membaik tentu berakibat pada percepatan laju inflasi.
Teranyar, penjualan ritel naik 0,3% secara month-to-month (MtM), sesuai dengan ekspektasi pasar. Sementara pertumbuhan secara YoY mencapai 4,7%.
Bila mengeluarkan penjualan mobil, bahan bakar, material bagunan, dan jasa makanan-minuman (sering disebut penjualan ritel inti atau core retail sales) ada kenaikan 0,4% MtM. Core retail sales ini paling mendekati konsumsi rumah tangga dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB).
Penjualan ritel yang tumbuh menandakan konsumsi masyarakat pun meningkat. Dari sini pula peningkatan ekspektasi inflasi berasal. Ketika ekspektasi inflasi naik, cara untuk menjangkarnya adalah menaikkan suku bunga acuan.
Perkembangan ini telah mendorong pelaku pasar memperkirakan The Fed hampir pasti menaikkan suku bunga pada pertemuan bulan depan. Mengutip CME Federal Funds Futures, probabilitasnya adalah 95% untuk kenaikan 25 basis poin menjadi 1,75-2%, dan 5% untuk kenaikan 50 basis poin menjadi 2-2,25%.
Berita soal kenaikan suku bunga acuan pun menjadi bahan bakar penguatan dolar AS. Dollar Index, yang menggambarkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia, melonjak 0,71% ke 93,24%. Ini merupakan posisi Dollar Index tertinggi sejak awal tahun. Situasi ini menggambarkan bahwa investor tengah berpaling dari pasar saham untuk memburu dolar AS di pasar valas.
Sentimen negatif kedua berasal dari dinamika negosiasi perdagangan AS-China untuk mengakhiri perang dagang. Investor terlanjur berasumsi pembicaraan kedua negara telah mencapai tahap yang substansial, tetapi nyatanya belum ke arah sana.
Lawrence 'Larry' Kudlow, Penasihat Ekonomi Gedung Putih, menyatakan pemerintah mendukung penurunan tarif bea masuk oleh kedua belah pihak. Namun hingga saat ini belum ada kesepakatan yang bisa diraih.
"Kami berdua (AS dan China) harus menuurnkan tarif sebesar mungkin, dan menghilangkan hambatan non tarif. Perdagangan bebas dan terbuka, itulah solusinya," kata Kudlow, seperti dikutip Reuters.
Situasi semakin keruh kala Marco Rubio, Senator Florida dari Partai Republik, menegaskan pemerintah tidak bisa begitu saja mencabut sanksi bagi ZTE. Bagi Rubio, ZTE tetap merupakan sebuah ancaman.
"Mereka melakukan serangan total untuk mencuri apa yang sudah kita bangun dan menggunakannya sebagai dasar untuk pengembangan di masa depan,' tegas Rubio.
Suara keras tidak hanya datang dari Rubio. Ron Wyden, Senator Oregon dari Partai Demokrat, juga mempertanyakan rencana penghapusan sanksi terhadap ZTE.
"Jadi pemerintah akan membuat kesepakatan, setelah selama ini mereka berkeras mengatakan bahwa China telah meniru produk dan teknologi kita?" sebut Wyden.
Sebelumnya, ZTE dilarang berjualan di tanah AS selama tujuh tahun setelah divonis bersalah telah mengirimkan produknya secara ilegal ke Iran dan Korea Utara. Namun sepertinya Presiden AS Donald Trump berkomitmen untuk menyelesaikan persoalan yang membelit ZTE sebelum perundingan dagang dengan China berlanjut.
"Presiden Xi (Jinping) dan saya sedang berusaha bersama untuk membuka kembali akses bisnis bagi perusahaan pembuat ponsel pintar raksasa asal China, ZTE, dengan cepat. Terlalu banyak pekerjaan yang hilang di China. Kementerian Perdagangan sudah diinstruksikan untuk menyelesaikannya!" tegas Trump melalui akun Twitter pribadinya.
Mungkin pelaku pasar yang sudah diberi angin surga kemudian kecewa karena pembahasan isu perdagangan AS-China masih butuh waktu lama. Kekecewaan itu dilampiaskan dengan melakukan aksi jual yang menekan Wall Street.
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular