
Newsletter
Cermati Data Pertumbuhan Ekonomi
Hidayat Setiaji & Raditya Hanung & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
07 May 2018 05:51

Sementara dari luar negeri, Wall Street yang mencatat kinerja positif pada akhir pekan lalu perlu menjadi catatan. Biasanya performa Wall Street akan memberi warna bagi bursa saham Asia, termasuk Indonesia.
investor patut mencermati perkembangan pertemuan AS-China di Beijing akhir pekan lalu untuk membahas isu perdagangan. Pertemuan tersebut baru tahap awal sehingga belum menghasilkan sesuatu yang besar.
Mengutip Reuters, AS meminta China untuk menurunkan surplus perdagangan dengan AS senilai US$ 200 miliar dan penurunan tarif bea masuk. Sementara Beijing meminta Washington untuk melonggarkan sanksi kepada perusahaan-perusahaan telekomunikasi China yang dilarang memasarkan produknya di tanah AS.
Presiden AS Donald Trump sudah memberikan sejumlah komentar yang bisa menjadi arah perkembangan isu friksi dagang antara kedua perekonomian terbesar di dunia tersebut. Pertama, Trump tetap menghormati Presiden China Xi Jinping dan akan merumuskan langkah lanjutan dalam waktu dekat.
"Kami akan melakukan sesuatu dan kami menghormati apa yang terjadi di China. Saya punya rasa hormat yang besar terhadap Presiden Xi, oleh karena itu kami berlaku baik selama di sana. Namun kita harus mewujudkan kesetaraan perdagangan AS-China," tegas Trump sebelum kunjungannya ke Dallas.
Kedua, Trump juga mengeluhkan sikap China yang dinilainya masih keras kepala. Eks pembawa acara reality show The Apprentice tersebut menggerutu bahwa China seolah enggan melepaskan diri dari surplus perdagangan yang besar dengan Negeri Paman Sam.
"Delegasi tingkat tinggi kami telah melakukan pertemuan panjang dengan para pemimpin dan pelaku usaha China. Kami akan segera merumuskan langkah berikutnya, tetapi sepertinya sulit bagi China karena mereka terlalu manja dengan kemenangan dagang atas AS!" tegas Trump dalam cuitannya di Twitter.
Sejauh ini, aroma perang dagang AS- China masih belum hilang. Sampai ada kesepakatan yang jelas, sepertinya isu perang dagang masih akan timbul-tenggelam dan menjadi risiko besar bagi pasar keuangan global, termasuk bisa berdampak ke IHSG.
Masih dari eksternal, perkembangan harga minyak dunia juga patut mendapat sorotan. Akhir pekan lalu, harga minyak naik signifikan nyaris 2% karena dinamika seputar Iran.
Trump sepertinya berkeras untuk mengubah kesepakatan nuklir yang dibuat dengan Iran pada 2015. Dia menyebut kesepakatan itu 'salah' dan harus diperbaiki, utamanya menyangkut program penganayaan uranium Iran selepas 2025 dan keterlibatan Negeri Persia dalam konflik regional seperti di Siria dan Yaman.
Trump pun mendesak negara-negara barat agar mengubah perjanjian ini, dan jika tidak maka AS akan menarik diri. Keputusan mengenai hal ini rencananya akan diumumkan pada 12 Mei.
Namun Teheran pun keukeuh tidak mau mengubah perjanjian tersebut. Mohammad Javad Zarif, Menteri Luar Negeri Iran, mengatakan pihaknya tidak akan melakukan renegosiasi atas kesepakatan yang sudah dibuat dan dilaksanakan selama bertahun-tahun.
"Saya coba masukkan dalam konteks real estat. Ketika Anda menghancurkan sebuah rumah untuk membuat gedung pencakar langit, Anda tidak bisa kembali setelah dua tahun untuk renegosiasi harga," sebut Zarif, menyindir latar belakang Trump sebagai pengusaha properti, seperti dikutip dari Reuters.
Bila sampai 12 Mei semua pihak berkeras pada pendiriannya, maka kemungkinan besar AS akan menjatuhkan sanksi ekonomi kepada Iran. Sanksi ekonomi berupa embargo akan menyulitkan pasokan minyak Iran menembus pasar global. Berkurangnya pasokan tentu membuat harga naik.
Kenaikan harga minyak bisa berdampak positif bagi IHSG. Ketika harga minyak naik, emiten migas dan pertambangan akan lebih diapresiasi oleh investor. (aji/aji)
investor patut mencermati perkembangan pertemuan AS-China di Beijing akhir pekan lalu untuk membahas isu perdagangan. Pertemuan tersebut baru tahap awal sehingga belum menghasilkan sesuatu yang besar.
Mengutip Reuters, AS meminta China untuk menurunkan surplus perdagangan dengan AS senilai US$ 200 miliar dan penurunan tarif bea masuk. Sementara Beijing meminta Washington untuk melonggarkan sanksi kepada perusahaan-perusahaan telekomunikasi China yang dilarang memasarkan produknya di tanah AS.
Presiden AS Donald Trump sudah memberikan sejumlah komentar yang bisa menjadi arah perkembangan isu friksi dagang antara kedua perekonomian terbesar di dunia tersebut. Pertama, Trump tetap menghormati Presiden China Xi Jinping dan akan merumuskan langkah lanjutan dalam waktu dekat.
"Kami akan melakukan sesuatu dan kami menghormati apa yang terjadi di China. Saya punya rasa hormat yang besar terhadap Presiden Xi, oleh karena itu kami berlaku baik selama di sana. Namun kita harus mewujudkan kesetaraan perdagangan AS-China," tegas Trump sebelum kunjungannya ke Dallas.
Kedua, Trump juga mengeluhkan sikap China yang dinilainya masih keras kepala. Eks pembawa acara reality show The Apprentice tersebut menggerutu bahwa China seolah enggan melepaskan diri dari surplus perdagangan yang besar dengan Negeri Paman Sam.
"Delegasi tingkat tinggi kami telah melakukan pertemuan panjang dengan para pemimpin dan pelaku usaha China. Kami akan segera merumuskan langkah berikutnya, tetapi sepertinya sulit bagi China karena mereka terlalu manja dengan kemenangan dagang atas AS!" tegas Trump dalam cuitannya di Twitter.
Sejauh ini, aroma perang dagang AS- China masih belum hilang. Sampai ada kesepakatan yang jelas, sepertinya isu perang dagang masih akan timbul-tenggelam dan menjadi risiko besar bagi pasar keuangan global, termasuk bisa berdampak ke IHSG.
Masih dari eksternal, perkembangan harga minyak dunia juga patut mendapat sorotan. Akhir pekan lalu, harga minyak naik signifikan nyaris 2% karena dinamika seputar Iran.
Trump sepertinya berkeras untuk mengubah kesepakatan nuklir yang dibuat dengan Iran pada 2015. Dia menyebut kesepakatan itu 'salah' dan harus diperbaiki, utamanya menyangkut program penganayaan uranium Iran selepas 2025 dan keterlibatan Negeri Persia dalam konflik regional seperti di Siria dan Yaman.
Trump pun mendesak negara-negara barat agar mengubah perjanjian ini, dan jika tidak maka AS akan menarik diri. Keputusan mengenai hal ini rencananya akan diumumkan pada 12 Mei.
Namun Teheran pun keukeuh tidak mau mengubah perjanjian tersebut. Mohammad Javad Zarif, Menteri Luar Negeri Iran, mengatakan pihaknya tidak akan melakukan renegosiasi atas kesepakatan yang sudah dibuat dan dilaksanakan selama bertahun-tahun.
"Saya coba masukkan dalam konteks real estat. Ketika Anda menghancurkan sebuah rumah untuk membuat gedung pencakar langit, Anda tidak bisa kembali setelah dua tahun untuk renegosiasi harga," sebut Zarif, menyindir latar belakang Trump sebagai pengusaha properti, seperti dikutip dari Reuters.
Bila sampai 12 Mei semua pihak berkeras pada pendiriannya, maka kemungkinan besar AS akan menjatuhkan sanksi ekonomi kepada Iran. Sanksi ekonomi berupa embargo akan menyulitkan pasokan minyak Iran menembus pasar global. Berkurangnya pasokan tentu membuat harga naik.
Kenaikan harga minyak bisa berdampak positif bagi IHSG. Ketika harga minyak naik, emiten migas dan pertambangan akan lebih diapresiasi oleh investor. (aji/aji)
Next Page
Simak Agenda dan Data Berikut Ini
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular