
Newsletter
Tiga Kali, Empat Kali, dan Kegalauan Investor
Raditya Hanung & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
22 March 2018 06:20

Untuk perdagangan hari ini, Kamis (22/3/2018), terdapat sejumlah faktor yang bisa membuat IHSG kembali melanjutkan penguatan. Pertama adalah perkembangan di AS, di mana The Fed sudah menaikkan suku bunga dan semua sesuai ekspektasi pasar. Tidak adanya kejutan dari AS membuat investor bisa tenang dan melanjutkan “berbelanja” di bursa saham Indonesia.
Setelah enam hari beruntun terkoreksi, harga aset di bursa domestik juga masih murah. Sejak awal tahun, koreksi IHSG mencapai 0,67%. Masih bisa dimanfaatkan investor untuk melakukan aksi borong.
Sejumlah emiten juga masih akan melaporkan kinerjanya seperti PNBS dan INTP. Bila hasilnya positif, maka akan menjadi tambahan energi untuk laju IHSG.
Posisi dolar AS yang galau juga bisa dimanfaatkan rupiah untuk menguat. Penguatan rupiah diharapkan bisa berkontribusi positif untuk IHSG, setidaknya mengurangi minat investor asing untuk melepas asetnya.
Harga komoditas juga sepertinya kondusif bagi IHSG. Harga minyak masih melanjutan reli, kali ini penguatannya mencapai 3%.
Kenaikan harga si emas hitam dipicu oleh kepatuhan anggota Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak (OPEC) dalam mengurangi produksi. Pengurangan produksi bulan ini mencapai 138%.
Selain itu, lonjakan harga minyak juga disebabkan oleh kekhawatiran meningkatnya tensi di Tuimur Tengah. Hal ini mengemuka setelah pertemuan Trump dengan Putra Mahkota Kerajaan Arab Saudi, Pangeran Mohammed bin Salman. Kemungkinan sanksi bagi Iran akan diterapkan kembali, setelah sempat dicabut di mana pemerintahan Presiden Barack Obama, pun mengemuka.
“Iran tidak memperlakukan dunia sebagaimana mestinya. Kita akan lihat apa yang terjadi nanti,” tegas Trump.
Namun, masih ada risiko bagi IHSG untuk kembali terjerembab di zona merah. Koreksi Wall Street bisa menjadi sentimen negatif bagi bursa Asia termasuk Indonesia.
Meski semua masih sesuai ekspektasi, tetapi jangan dilupakan bahwa masih ada kemungkinan (walau kecil) The Fed akan lebih agresif dalam menaikkan suku bunga. Bila pelaku pasar di Asia membacanya demikian, maka koreksi Wall Street bisa menular ke Benua Kuning.
Berikutnya adalah pasar juga menantikan hasil Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI) yang akan diumumkan hari ini. Berdasarkan konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia, BI masih akan menahan suku bunga acuan 7 days reverse repo rate di 4,25%.
Masa penantian menunggu pengumuman BI bisa membuat pasar bersikap hati-hati. Ini bisa memperlambat laju IHSG.
Risiko lainnya adalah meski IHSG sudah minus sejak awal tahun, tetapi valuasinya masih relatif mahal. Price to earnings ratio (P/E) IHSG masih di 17,84%. Lebih tinggi ketimbang Straits Times (11,64 kali), KLCI (16,85 kali), SETi (17,04 kali), Nikkei 225 (15,43 kali), Hang Seng (13,06 kali), SSEC (14,84 kali), sampai Kospi (12,1 kali).
Investor, terutama di pasar obligasi, juga perlu waspada terhadap dampak kenaikan Federal Funds Rate. Biasanya setelah kenaikan suku bunga di AS, ada dana asing yang mengalir keluar. Meski mungkin hanya berlangsung beberapa hari, tetapi risiko ini tetap perlu dicermati.
(prm)
Setelah enam hari beruntun terkoreksi, harga aset di bursa domestik juga masih murah. Sejak awal tahun, koreksi IHSG mencapai 0,67%. Masih bisa dimanfaatkan investor untuk melakukan aksi borong.
Sejumlah emiten juga masih akan melaporkan kinerjanya seperti PNBS dan INTP. Bila hasilnya positif, maka akan menjadi tambahan energi untuk laju IHSG.
Posisi dolar AS yang galau juga bisa dimanfaatkan rupiah untuk menguat. Penguatan rupiah diharapkan bisa berkontribusi positif untuk IHSG, setidaknya mengurangi minat investor asing untuk melepas asetnya.
Harga komoditas juga sepertinya kondusif bagi IHSG. Harga minyak masih melanjutan reli, kali ini penguatannya mencapai 3%.
Kenaikan harga si emas hitam dipicu oleh kepatuhan anggota Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak (OPEC) dalam mengurangi produksi. Pengurangan produksi bulan ini mencapai 138%.
Selain itu, lonjakan harga minyak juga disebabkan oleh kekhawatiran meningkatnya tensi di Tuimur Tengah. Hal ini mengemuka setelah pertemuan Trump dengan Putra Mahkota Kerajaan Arab Saudi, Pangeran Mohammed bin Salman. Kemungkinan sanksi bagi Iran akan diterapkan kembali, setelah sempat dicabut di mana pemerintahan Presiden Barack Obama, pun mengemuka.
“Iran tidak memperlakukan dunia sebagaimana mestinya. Kita akan lihat apa yang terjadi nanti,” tegas Trump.
Namun, masih ada risiko bagi IHSG untuk kembali terjerembab di zona merah. Koreksi Wall Street bisa menjadi sentimen negatif bagi bursa Asia termasuk Indonesia.
Meski semua masih sesuai ekspektasi, tetapi jangan dilupakan bahwa masih ada kemungkinan (walau kecil) The Fed akan lebih agresif dalam menaikkan suku bunga. Bila pelaku pasar di Asia membacanya demikian, maka koreksi Wall Street bisa menular ke Benua Kuning.
Berikutnya adalah pasar juga menantikan hasil Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI) yang akan diumumkan hari ini. Berdasarkan konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia, BI masih akan menahan suku bunga acuan 7 days reverse repo rate di 4,25%.
Masa penantian menunggu pengumuman BI bisa membuat pasar bersikap hati-hati. Ini bisa memperlambat laju IHSG.
Risiko lainnya adalah meski IHSG sudah minus sejak awal tahun, tetapi valuasinya masih relatif mahal. Price to earnings ratio (P/E) IHSG masih di 17,84%. Lebih tinggi ketimbang Straits Times (11,64 kali), KLCI (16,85 kali), SETi (17,04 kali), Nikkei 225 (15,43 kali), Hang Seng (13,06 kali), SSEC (14,84 kali), sampai Kospi (12,1 kali).
Investor, terutama di pasar obligasi, juga perlu waspada terhadap dampak kenaikan Federal Funds Rate. Biasanya setelah kenaikan suku bunga di AS, ada dana asing yang mengalir keluar. Meski mungkin hanya berlangsung beberapa hari, tetapi risiko ini tetap perlu dicermati.
(prm)
Next Page
Cermati Peristiwa dan Data Berikut Ini
Pages
Most Popular