
Jualan Ekspor Loyo: Salah 'Dapur' atau 'Toko'?
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
06 February 2018 12:02

Catatan yang tak kalah pentingnya adalah ekspor Indonesia di pos mesin dan alat transportasi yang jauh tertinggal dari negara tetangga. Tercatat pada tahun 2016, ekspor Indonesia di pos ini hanya US$ 20,21 miliar, jauh tertinggal dari Malaysia dan Thailand dengan capaian masing-masing US$ 81,67 miliar dan US$ 96,53 miliar.
Nilai ekspor mesin dan alat transportasi Vietnam juga menunjukkan nilai yang besar(US$ 70,03)pada periode yang sama, bahkan dengan pertumbuhan yang sangat positif. Tercatat ekspor Vietnam di sektor ini tumbuh 44,03% selama kurun waktu 2014-2016.
Data-data di atas dengan jelas menunjukkan bahwa Indonesia memang tertinggal dari sisi produk yang dihasilkan (dan dijual ke pasar internasonal). Jika pemerintah ingin mengejar Malaysia, Vietnam, dan Thailand dari sisi produksi mesin dan barang hasil pabrik/manufaktur, maka hambatan investasi yang selama ini menghambat pertumbuhan di sektor tersebut harus dipangkas secepatnya.
Selain itu, peran BUMN rekayasa seperti PT Rekayasa Industri (Rekin) harus direvitalisasi, untuk menjembatani inovasi dan penelitian lembaga-lembaga rekayasa teknologi dengan kebutuhan pasar domestik (maupun internasional). Selama ini, inovasi yang dihasilkan lembaga-lembaga seperti Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) belum bisa berkembang ke dalam skala produksi komersial.
Hilirisasi juga harus dipercepat mengingat persentase ekspor bahan mentah di pos bahan bakar masih tinggi. Pembangunan dan revitalisasi kilang minyak serta pembangunan smelter untuk barang galian yang sudah direncanakan harus benar-benar diimplementasikan untuk meningkatkan nilai tambah ekspor Indonesia.
Di sini, kementerian yang bertanggung-jawab tentu bukan Kementerian Perdagangan (Kemendag), melainkan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dan juga Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) yang mengatur aspek perizinan investasinya. Jangan lupakan juga faktor “kebengalan” pemerintah daerah yang terkadang memperburuk situasi dengan menerbitan peraturan daerah (perda) yang tak mendukung pertumbuhan manufaktur nasional.
Dari situ, terlihat jelas bahwa problem di balik kecilnya nilai ekspor Indonesia tidak semata-mata ada di “toko” kita, melainkan jauh lebih serius dari itu yakni pada lemahnya “dapur” kita yang sebenarnya juga sedang mengidap deindustrialisasi dan secara bersamaan tidak mau mengolah komoditas mentah sebelum menjualnya ke pasar dunia.*** (ags)
Nilai ekspor mesin dan alat transportasi Vietnam juga menunjukkan nilai yang besar(US$ 70,03)pada periode yang sama, bahkan dengan pertumbuhan yang sangat positif. Tercatat ekspor Vietnam di sektor ini tumbuh 44,03% selama kurun waktu 2014-2016.
Data-data di atas dengan jelas menunjukkan bahwa Indonesia memang tertinggal dari sisi produk yang dihasilkan (dan dijual ke pasar internasonal). Jika pemerintah ingin mengejar Malaysia, Vietnam, dan Thailand dari sisi produksi mesin dan barang hasil pabrik/manufaktur, maka hambatan investasi yang selama ini menghambat pertumbuhan di sektor tersebut harus dipangkas secepatnya.
Selain itu, peran BUMN rekayasa seperti PT Rekayasa Industri (Rekin) harus direvitalisasi, untuk menjembatani inovasi dan penelitian lembaga-lembaga rekayasa teknologi dengan kebutuhan pasar domestik (maupun internasional). Selama ini, inovasi yang dihasilkan lembaga-lembaga seperti Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) belum bisa berkembang ke dalam skala produksi komersial.
Hilirisasi juga harus dipercepat mengingat persentase ekspor bahan mentah di pos bahan bakar masih tinggi. Pembangunan dan revitalisasi kilang minyak serta pembangunan smelter untuk barang galian yang sudah direncanakan harus benar-benar diimplementasikan untuk meningkatkan nilai tambah ekspor Indonesia.
Di sini, kementerian yang bertanggung-jawab tentu bukan Kementerian Perdagangan (Kemendag), melainkan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dan juga Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) yang mengatur aspek perizinan investasinya. Jangan lupakan juga faktor “kebengalan” pemerintah daerah yang terkadang memperburuk situasi dengan menerbitan peraturan daerah (perda) yang tak mendukung pertumbuhan manufaktur nasional.
Dari situ, terlihat jelas bahwa problem di balik kecilnya nilai ekspor Indonesia tidak semata-mata ada di “toko” kita, melainkan jauh lebih serius dari itu yakni pada lemahnya “dapur” kita yang sebenarnya juga sedang mengidap deindustrialisasi dan secara bersamaan tidak mau mengolah komoditas mentah sebelum menjualnya ke pasar dunia.*** (ags)
Pages
Most Popular