Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 31 Januari mengekspresikan kemarahannya kepada Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita dan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution terkait dengan kecilnya nilai ekspor Indonesia dibandingkan dengan negara-negara tetangga.
Sepanjang tahun 2017, Indonesia hanya mampu membukukan ekspor senilai US$ 168,73 miliar, kalah dari Vietnam dan Thailand yang unggul dengan nilai masing-masing sebesar US$ 214,01 miliar dan US$ 215,19 miliar. Sebagai catatan, capaian Thailand bahkan baru sampai bulan November 2017.
Sementara itu, mengutip data dari Malaysia External Trade Development Corporation (MATRADE), hingga bulan November 2017, ekspor Malaysia pada periode yang sama menembus RM 856,05 miliar, atau sekitar US$ 219 miliar.
Melihat data itu, Presiden bahkan sempat mengancam akan membubarkan International Trade Promotion Center (ITPC) karena dinilai gagal meningkatkan pasar dan nilai ekspor Indonesia, meski menyedot dana negara yang tidak sedikit.
Apakah kemarahan presiden ini tepat sasaran? CNBC Indonesia berupaya mengupas lebih dalam mengapa nilai ekspor Indonesia masih tertinggal dari negara-negara tetangga, dengan melihat kembali struktur ekspor Indonesia dalam beberapa tahun terakhir.
Berdasarkan klasifikasi kode Standard International Trade Classification (STI), selama tiga tahun terakhir ekspor Indonesia didominasi oleh ekspor pos Bahan Bakar, Bahan penyemir, dan sejenisnya, disusul oleh pos Hasil Pabrik/Manufaktur, Mesin dan Alat Pengangkutan, dan Minyak/Lemak Nabati &Hewani.
Sepanjang 11 bulan pada 2017 (per November), kelompok bahan bakar dan pelumas menyumbang 21,66% dari total nilai ekspor nasional, menjadi kontributor terbesar bagi ekspor Indonesia pada periode ini. Jumlah tersebut disusul oleh kelompok hasil pabrik/manufaktur dan kelompok minyak/lemak nabati dan hewani dengan pangsa ekspor masing-masing sebesar 13,15% dan 13,08%.
Namun perlu dicatat, porsi yang dominan itu tidak dibarengi signifikansi nilai ekspor karena pos itu justru mencatat penurunan nilai selama 2014-2016, terutama pada pos bahan bakar. Pada 2014, nilai ekspor Indonesia kelompok bahan bakar mencapai US$ 51,13 miliar, tetapi pada tahun 2016 anjlok 45,49% ke US$ 27,87 miliar.
Pergerakan ekspor kelompok bahan bakar dan pelumas memang sempat berbalik menguat (
rebound) ke US$ 33,34 miliar pada tahun lalu seiring dengan kembali menguatnya harga minyak global pada 2017. Namun demikian, hal ini justru mempertegas bahwa ekspor Indonesia sangat tergantung harga komoditas global yang cenderung volatil.
Secara statistik, ekspor pos bahan bakar Indonesia memang masih jauh lebih besar dibandingkan dengan Vietnam dan Thailand. Sayangnya, ekspor Indonesia di kelompok ini masih didominasi bahan mentah. Sebagai contoh, pada tahun 2016 ekspor grup minyak mentah (kode SITC 333) berkontribusi sebesar 82,2% dari total ekspor di pos minyak, produk minyak, dan bahan sejenis (kode SITC 33), sedangkan ekspor grup batu bara mentah (kode SITC 321) berkontribusi sebesar 88,88% dari total ekspor pos coal, coke, and briquettes (kode SITC 32)
Dominannya porsi ekspor bahan mentah ini menunjukkan bahwa pos ekspor batu bara dan minyak mentah Indonesia memang mayoritas bernilai tambah rendah. Biasanya, ketika harga jual energi sedang tinggi, pos bahan bakar menjadi penyelamat nilai ekspor kita. Namun sayang, itu tidak terjadi dalam beberapa tahun terakhir dimana harga komoditas ternyata jatuh bebas pada medio 2014-2015.
Ketika ekspor bahan bakar yang jadi andalan Indonesia melemah, pos lain yang seharusnya menopang pelemahan sektor itu ternyata juga tidak bisa diharapkan. Pos barang pabrik/manufaktur serta mesin dan alat pengangkutan malah ikut melemah. Ekspor di pos barang pabrik/manufaktur turun 11,38% dari US$ 22,68 (2014) ke US$ 20,1 miliar (2016). Sementara itu, ekspor mesin dan alat pengangkutan juga mengalami tren penurunan sebesar 7,2% dari US$ 21,78 miliar (2014) ke US$ 20,21 miliar (2016). Dari sisi kontributor, ekspor Thailand didominasi oleh Mesin dan Alat Pengangkutan, Makanan dan Binatang Hidup, dan Hasil Pabrik/Manufaktur. Serupa dengan Thailand, ekspor Vietnam juga didominasi oleh ketiga sektor tersebut. Dari situ, terlihat bahwa ekspor kedua negara tersebut tidak bergantung pada komoditas.
Sementara itu, Malaysia mencatat pos bahan bakar menyumbang 14% dari total ekspor pada 2016, sedangkan pos mesin dan alat pengangkutan masih jauh lebih dominan, dengan porsi mencapai 43,12%. Kondisi ini jauh berbeda dari Indonesia yang kontribusi pos mesin dan alat pengangkutannya hanya 13,99% dari total ekspor 2016, sementara kontribusi pos bahan bakar mencapai 19,29% pada periode yang sama.
 Sumber: UN Comtrade Database dan BPS, diolah oleh Tim Riset CNBC |
Keunggulan Thailand dibandingkan negara tetangganya terlihat dari kuatnya ekspor barang hasil pabrik/manufaktur. Pada tahun 2016, nilai ekspor Thailand di sektor ini mencapai US$ 26,31 miliar, sementara Indonesia hanya mampu mencetak US$ 20,1 miliar.
Selain itu, dengan pertumbuhan ekspor Vietnam di sektor ini yang terus menunjukkan tren positif, bukan tidak mungkin Indonesia akan disalip oleh Vietnam dalam waktu dekat. Sebagai catatan, saat ekspor Indonesia pada pos hasil pabrik/manufaktur melambat 11,38% pada medio 2014-2016, ekspor Vietnam pada pos yang sama malah melaju 8,96%. Catatan yang tak kalah pentingnya adalah ekspor Indonesia di pos mesin dan alat transportasi yang jauh tertinggal dari negara tetangga. Tercatat pada tahun 2016, ekspor Indonesia di pos ini hanya US$ 20,21 miliar, jauh tertinggal dari Malaysia dan Thailand dengan capaian masing-masing US$ 81,67 miliar dan US$ 96,53 miliar.
Nilai ekspor mesin dan alat transportasi Vietnam juga menunjukkan nilai yang besar(US$ 70,03)pada periode yang sama, bahkan dengan pertumbuhan yang sangat positif. Tercatat ekspor Vietnam di sektor ini tumbuh 44,03% selama kurun waktu 2014-2016.
Data-data di atas dengan jelas menunjukkan bahwa Indonesia memang tertinggal dari sisi produk yang dihasilkan (dan dijual ke pasar internasonal). Jika pemerintah ingin mengejar Malaysia, Vietnam, dan Thailand dari sisi produksi mesin dan barang hasil pabrik/manufaktur, maka hambatan investasi yang selama ini menghambat pertumbuhan di sektor tersebut harus dipangkas secepatnya.
Selain itu, peran BUMN rekayasa seperti PT Rekayasa Industri (Rekin) harus direvitalisasi, untuk menjembatani inovasi dan penelitian lembaga-lembaga rekayasa teknologi dengan kebutuhan pasar domestik (maupun internasional). Selama ini, inovasi yang dihasilkan lembaga-lembaga seperti Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) belum bisa berkembang ke dalam skala produksi komersial.
Hilirisasi juga harus dipercepat mengingat persentase ekspor bahan mentah di pos bahan bakar masih tinggi. Pembangunan dan revitalisasi kilang minyak serta pembangunan smelter untuk barang galian yang sudah direncanakan harus benar-benar diimplementasikan untuk meningkatkan nilai tambah ekspor Indonesia.
Di sini, kementerian yang bertanggung-jawab tentu bukan Kementerian Perdagangan (Kemendag), melainkan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dan juga Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) yang mengatur aspek perizinan investasinya. Jangan lupakan juga faktor “kebengalan” pemerintah daerah yang terkadang memperburuk situasi dengan menerbitan peraturan daerah (perda) yang tak mendukung pertumbuhan manufaktur nasional.
Dari situ, terlihat jelas bahwa problem di balik kecilnya nilai ekspor Indonesia tidak semata-mata ada di “toko” kita, melainkan jauh lebih serius dari itu yakni pada lemahnya “dapur” kita yang sebenarnya juga sedang mengidap deindustrialisasi dan secara bersamaan tidak mau mengolah komoditas mentah sebelum menjualnya ke pasar dunia.***