Economic Update

Ekonomi AS, China, Eropa Gonjang-Ganjing, RI Harus Waspada!

Cantika Adinda Putri, CNBC Indonesia
10 July 2023 07:25
M. Chatib Basri, Presiden Commisioner PT Bank Mandiri (Persero) Tbk dalam acara BSI Global Islamic Finance Summit 2023 hari ke 2 pada (16/2/2023).
Foto: M. Chatib Basri, Presiden Commisioner PT Bank Mandiri (Persero) Tbk dalam acara BSI Global Islamic Finance Summit 2023 hari ke 2 pada (16/2/2023). (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Tahun 2023 digadang-gadang menjadi tahun penuh ujian untuk sebagian besar negara maju di dunia. Ini tidak lepas dari adanya tekanan tensi geopolitik Rusia-Ukraina yang terus membayangi.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada awal tahun juga sempat mengungkapkan kekhawatirannya atas dampak yang bisa menimbulkan guncangan terhadap ekonomi negara-negara seperti Amerika Serikat (AS), China, dan Eropa. Tentu Indonesia harus waspada, sebab ketiga negara itu merupakan mitra dagang utama Indonesia.

"Pada 2023, kita (Indonesia) masih pada posisi tahun yang tidak mudah, ini adalah tahun ujian bagi semua negara di dunia, karena tekanan geopolitik yang sangat tinggi. Ekonomi dunia melemah utamanya besar seperti Uni Eropa, China, Amerika Serikat (AS) saya perkirakan akan melemah semua," ujar Jokowi saat sidang kabinet pada awal tahun 2023, dikutip Minggu (8/7/2023).

Seperti diketahui, IMF memperkirakan perekonomian global akan melambat dari 6% pada 2021 menjadi 3,2% pada 2022, dan akan melemah ke 2,7% pada 2023.

Proyeksi pertumbuhan ekonomi global untuk 2023 tersebut menjadi profil pertumbuhan terlemah sejak 2001, kecuali saat krisis keuangan global dan fase akut pandemi Covid-19.

Ekonom Senior Chatib Basri juga turut mengamini apa yang menjadi ramalan IMF dan kekhawatiran Jokowi terhadap ekonomi dunia, karena bisa mempengaruhi ekonomi tanah air.

Chatib memandang bahwa AS memiliki potensi besar untuk mengalami resesi ekonomi, seperti yang sudah terjadi di Eropa. Tingkat tenaga kerja yang masih kuat, menjadi salah satu alasan negara adidaya ini akan tertatih-tatih dalam membangkitkan ekonomi.

Di sisi lain, Eropa yang sudah terjebak dalam jurang resesi, sampai saat ini masih terus dibayangi oleh 'momok seram' berupa inflasi. Di saat dua negara paling berpengaruh di dunia itu masih belum pulih dari pandemi Covid-19.

China yang juga menjadi pemain utama dalam memasok kebutuhan barang modal dan baku di hampir banyak negara di dunia, justru juga masih belum bisa pulih sepenuhnya.

Menurut Chatib, yang juga pernah menjabat sebagai Menteri Keuangan RI (periode 2013-2014), ramalan suram perekonomian AS, Eropa dan China harus menjadi alarm bagi Indonesia untuk selalu waspada.

China dan Amerika Serikat (AS) adalah dua pasar terbesar ekspor Indonesia. Porsi ekspor Indonesia ke AS dan China menebus 34,5% dari total. Pelemahan ekonomi di kedua negara akan sangat berdampak kepada nilai ekspor Indonesia secara keseluruhan.

"Dari skenario saya, kalau ekonomi AS, Eropa, China bermasalah, ekonomi negara-negara ASEAN (termasuk Indonesia) akan terkena dampaknya," jelas Chatib saat berbincang dengan CNBC Indonesia beberapa hari lalu, dikutip Minggu (8/7/2023).

Chatib mengungkapkan, potensi resesi ekonomi di Amerika Serikat (AS) masih sangat mungkin terjadi. Ekonomi Negeri Paman Sam ini, diperkirakan hanya tumbuh di bawah 1% pada sepanjang tahun ini.

"Di AS mungkin pertumbuhan ekonominya nol koma sekian. Jadi potensi resesi itu masih ada, karena pasar tenaga kerja di AS masih sangat kuat," jelas Chatib.

Proyeksi Chatib untuk ekonomi AS tersebut di bawah dari proyeksi IMF yang memperkirakan ekonomi AS bisa tumbuh 1,7% pada 2023. Alasan Chatib bahwa resesi ekonomi akan terjadi di AS, karena pasar tenaga kerja di AS masih sangat kuat.

Jika pasar tenaga kerja di Amerika Serikat masih kuat, bukan tidak mungkin Bank Sentral AS atau The Federal Reserve masih akan menaikkan suku bunga acuan untuk meredam inflasi.

Tingginya suku bunga bank sentral tentu akan menahan konsumsi masyarakat, yang pada gilirannya akan membuat perekonomian menjadi melambat.

Lemahnya perekonomian di AS juga dipicu adanya tekanan geopolitik, karena ekonomi China diperkirakan akan tumbuh melambat. Mengingat Negeri Panda ini merupakan pemain terbesar pemasok barang baku atau modal untuk industri di berbagai belahan dunia.

"Kalau China melambat dan disrupsi terjadi, ini masih soal supply chain issue. Saya tidak mengatakan pasti (resesi ekonomi terjadi di AS), tapi apakah potensi resesi ada, jawaban saya masih ada," jelas Chatib.

Pun menurut Chatib tren tingginya suku bunga The Fed masih sukar diprediksi kapan akan berakhir, karena tingkat pengangguran di AS tidak mungkin akan bisa menyentuh 0%. Saat ini suku bunga acuan Bank Sentral AS  bertahan pada level 5% sampai 5,25%.

Data ketenagakerjaan Amerika Serikat (AS) yang dirilis pada Jumat lalu (2/6/2023) waktu setempat kembali menunjukkan hasil yang positif.

Dari data penggajian non pertanian atau Non-Farm Payrolls (NFP) yang tidak terduga malah naik ke 339.000 pada periode Mei 2023 dibandingkan bulan sebelumnya di 294.000 dan berbanding terbalik dengan konsensus yang memprediksi bisa turun ke 190.000.

Sementara itu, tingkat pengangguran berada di 3,7% dibandingkan perkiraan 3,5%, tepat di atas level terendah sejak 1969. Tak hanya itu, klaim pengangguran yang berakhir pada 27 Mei 2023 sebanyak 232.000. Nilai ini juga masih di bawah konsensus yang proyeksi bisa naik ke 235.000.

Ini menunjukkan kondisi pasar tenaga kerja AS yang masih kuat dengan prospek gaji yang kompetitif. Gaji yang kompetitif tentu berhubungan dengan daya beli masyarakat yang akan tetap terjaga, ini juga menjadi indikasi bahwa ekonomi AS masih cukup bertahan di tengah risiko resesi yang tinggi.

"Secara Nairu (natural rate tingkat pengangguran) di AS itu adalah 5%. Sekarang tingkat pengangguran di AS di 3,7%, berarti di bawah 5%. Larry Summers (Ekonom asal AS) katakan kalau mau inflasi normal, tingkat pengangguran di atas 5%, jadi tingkat upah turun," jelas Chatib.

"Makanya resesinya itu more likely (sangat mungkin) terjadi di AS. Inflasi harus diredam dengan kenaikan suku bunga. Jadi The Fed harus menaikkan suku bunga," kata Chatib lagi.

Pada kuartal I-2023, ekonomi Eropa sudah terkontraksi 0,1% (quartal to quartal/qtq). Perekonomian di Benua Biru ini sudah mengalami resesi dan masih akan dibayangi oleh 'momok seram' bernama inflasi.

Pelemahan ekonomi di Eropa pada kuartal I-2023 menunjukkan tren negatif yang sudah berlangsung sejak kuartal IV-2022 di mana ekonomi terkontraksi 0,1%. Dengan demikian, zona Uni Eropa yang menaungi 20 negara tersebut secara resmi mengalami resesi.

Adapun tingkat inflasi Eropa pada Mei 2023 masih tinggi yakni 6,1% (year on year/yoy), lebih rendah dari tingkat inflasi pada April 2023 yang mencapai 7%.

Chatib menjelaskan, ekonomi Eropa terpuruk sangat dalam akibat adanya perang Rusia-Ukraina, yang membuat harga-harga energi menjadi melonjak.

"Ada energy shock, itu problem tahun lalu dan Jerman terpukul betul. Kalau Jerman terpukul, pasti Uni Eropa kena, karena motornya adalah Jerman," jelas Chatib.

Sama seperti di AS, dalam situasi inflasi yang sedang meningkat, Bank Sentral Eropa (European Central Bank/ECB) juga turut menaikkan tingkat bunga acuan.

Pada Juni 2023, diketahui Bank Sentral Eropa menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin menjadi 3,5%. Kenaikan ini menjadi level yang tertinggi sejak 22 tahun lalu atau sejak 2001.

Kendati demikian, kata Chatib ekonomi di Eropa saat ini belum pulih seperti ekonomi AS. Sehingga, pukulan ekonomi di Eropa cenderung mengalami tekanan lebih dalam.

"Dia punya energi problem, punya dampak dari geopolitik, dan ekonominya belum se-recover AS. Pasti kalau belum terlalu sembuh, maka serangan baru efeknya terlalu buruk dibandingkan yang sudah sehat," jelas Chatib.

Data BPS menunjukkan perlambatan ekonomi Uni Eropa sejak tahun lalu sudah berimbas ke ekspor Indonesia.

Ekspor non-migas terus turun dari US$ miliar pada Januari menjadi US$ 1,53 miliar pada Maret dan US$ 1,44 miliar pada April 2023.
Jika resesi semakin dalam maka permintaan impor akan terus melemah sehingga ekspor RI ke Benua Biru pun bisa semakin jeblok.

Chatib mengungkapkan, China memiliki dampak besar terhadap ekonomi tanah air.. Setiap 1% kontraksi ekonomi China bisa mengurangi 0,3% sampai 0,5% nilai Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.

China merupakan mitra dagang utama Indonesia, di mana 60% ekspor komoditas energi dari Indonesia dibeli oleh China. Sehingga jika ekonomi China melambat, maka ini akan berdampak besar untuk Indonesia.

"Jadi kalau China slowdown, yang beli energi dan komoditas itu mereka. Akan terkena dampaknya. Makanya saya bilang, dari skenario saya, kalau ekonomi AS, Eropa, China bermasalah, ekonomi negara-negara ASEAN (termasuk Indonesia) akan terkena dampaknya," jelas Chatib.

Kendati demikian, dampak perekonomian China ke Indonesia tidak akan sampai membuat Indonesia mengalami resesi. Pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan masih akan tumbuh positif.

"Dampak dari China pasti ada, tapi kalau resesi, Indonesia less likely (sangat kecil kemungkinannya). Menurut saya, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih akan sedikit di bawah 5%, antara 4,5% sampai 5%," jelas Chatib.

Permintaan dari Tiongkok diproyeksi masih lemah sejalan dengan masih ademnya aktivitas manufaktur mereka.

Biro Statistik Nasional (NBS) melaporkan Indeks manajer pembelian manufaktur (PMI) di China turun ke level terendah lima bulan di 48,8 atau turun dari 49,2 pada April. Angka PMI ini juga mematahkan perkiraan kenaikan menjadi 49,4.

Impor China juga mengalami kontraksi 4,5% (yoy) pada Mei 2023. Penurunan ini memperpanjang kinerja negatif yang sudah terjadi sejak Oktober 2022 lalu.

Berdasarkan Kantor Bea Cukai China, impor Tiongkok dari Indonesia terus melandai dari US$ 6,77 miliar pada Maret dan sebesar US$ 6,25 miliar pada April menjadi US$ 5,76 miliar pada Mei 2023.

Data Bea dan Cukai China juga mencatat ekspor terkoreksi 7,5% (yoy), berbanding terbalik dengan tumbuh 8,5%(yoy) pada April.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular