
Ekonomi AS & China Gonjang-Ganjing, Ini Duduk Perkaranya!

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) mengungkapkan ketidakpastian perekonomian global kembali meningkat dengan kecenderungan risiko pertumbuhan yang lambat dan kebijakan suku bunga moneter di negara maju yang lebih tinggi.
Gubernur BI Perry Warjiyo menjelaskan, pertumbuhan ekonomi global diperkirakan mencapai 2,7% (year on year/yoy), dengan risiko perlambatan terutama Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok atau China.
"Di AS tekanan inflasi masih tinggi terutama karena keketatan pasar tenaga kerja, di tengah kondisi ekonomi yang cukup baik dan tekanan stabilitas sistem keuangan (SSK) yang mereda, sehingga mendorong kemungkinan Federal Funds Rate (FFR) ke depan," jelas Perry Warjiyo dalam konferensi pers, Kamis (22/6/2023).
Kebijakan pembatasan imigrasi di AS, juga kata Perry membuat tingkat tenaga kerja yang dulu banyak diisi oleh imigran kini jadi terbatas.
Di sisi lain, suku bunga AS yang masih tinggi pada level 5% - 5,25% saat ini tak juga berhasil menurunkan inflasi AS ke level 2%, yang saat ini masih berada pada level 4% pada Mei 2023.
Permasalahan inflasi yang tak kunjung turun tersebut, kata Perry karena ketersediaan pasokan di negeri Paman Sam tak memadai, sementara demand-nya juga tidak meningkat. Karena itu, inflasi yang terjadi di AS terjadi pada sektor jasa.
"Jadi kenaikan permintaan di AS dulu-dulunya adalah untuk komoditas barang makanan, tapi kemudian sekarang semakin didominasi oleh kenaikan permintaan jasa," jelas Perry.
"Itu kenapa memerlukan waktu yang lebih lama bagi efektivitas kenaikan FFR untuk menurunkan inflasi. Itu yang terjadi di AS adalah seperti itu," kata Perry lagi.
Selain itu, kebijakan moneter juga masih ketat di Eropa, sedangkan di Jepang masih longgar.
Sementara itu, di China pertumbuhan ekonomi juga tidak sekuat prakiraan di tengah inflasi yang rendah, sehingga mendorong pelonggaran kebijakan moneter.
Masih tarik-menariknya antara Amerika Serikat (AS) dan China, kata Perry juga yang membuat ekspor China ke AS melambat, sehingga daya dorong ekonomi yang dulu sangat tergantung dari luar negeri itu juga tidak sekuat yang diperkirakan.
"Pertumbuhan ekonomi tidak secepat pemulihan dan inflasi rendah, kenapa Bank Sentral China (People Bank of China/PBoC) mengandalkan moneternya, menambah likuiditas dan menurunkan suku bunga, itu yang terjadi," jelas Perry.
Adapun, perkembangan lain, seperti India tetap kuat didorong oleh permintaan domestik dan ekspor jasa.
Perkembangan situasi ekonomi di negara maju dan berkembang tersebut, yang kata Perry mengharuskan pihaknya dan otoritas terkait untuk memitigasi risiko rambatan terhadap ketahanan eksternal pasar keuangan domestik.
"Kondisi ekonomi di negara maju dan berkembang tersebut mendorong nilai tukar dolar AS cenderung melemah terhadap mata uang negara maju, tetapi menguat terhadap mata uang negara berkembang," tuturnya.
"Perkembangan tersebut memerlukan penguatan respons kebijakan untuk memitigasi risiko rambatan terhadap ketahanan eksternal di negara berkembang, termasuk Indonesia," kata Perry lagi.
(cap/cap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Situasi Dunia Masih Gawat, AS Jadi Biang Keroknya!
