Wajib Baca! 5 Ekonom Top RI Buka-bukaan Situasi Terkini

Widya Finola Ifani Putri, CNBC Indonesia
12 June 2023 10:51
Suasana ribuan orang melihat pesta kembang api meriahkan pergantian tahun baru 2023 di Bundaran Hotel Indonesia (HI), Jakarta, Minggu (1/1/2023). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Suasana ribuan orang melihat pesta kembang api meriahkan pergantian tahun baru 2023 di Bundaran Hotel Indonesia (HI), Jakarta, Minggu (1/1/2023). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2023 masih akan tetap kuat di tengah tingginya ketidakpastian global.

Dia memperkirakan ekonomi Indonesia sepanjang tahun ini akan tumbuh, yaitu 5,1-5,3%. Kendati demikian, Sri Mulyani tetap waspada dengan perkembangan global yang dapat mempengaruhi Indonesia.

"Kemenkeu melihat risiko dari global mungkin akan meningkat," ungkapnya saat rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI di Gedung DPR/MPR, dikutip Senin (12/6/2023)

Karena itu, ia menuturkan pertumbuhan ekonomi Indonesia sendiri juga tentu akan terpengaruh. Ia memperkirakan, batas bawah asumsi pertumbuhan ekonomi bergeser dari semula 5,3% menjadi 5,1%.

"Ya itu tadi saya sampaikan kita tetap mewaspadai perkembangan yang terjadi yang memengaruhi dinamikan dari ekonomi global ke nasional," tutur Sri Mulyani.

Melihat perkembangan ini, CNBC Indonesia merangkum pemaparan situasi terkini dari lima ekonom kenamaan Tanah Air.

1. Josua Pardede, Bank Permata

Dalam proyeksi terbarunya, World Bank atau Bank Dunia merevisi ke atas proyeksi pertumbuhan ekonomi global pada tahun 2023 menjadi 2,1% dari sebelumnya 1,7% meskipun merevisi ke bawah pertumbuhan ekonomi global tahun 2024 menjadi 2,4% dari sebelumnya 2,7%.

Kepala Ekonom Bank Permata Joshua Pardede memaparkan secara umum, beberapa risiko global yang akan berpotensi mempengaruhi kinerja perekonomian global antara lain kebijakan moneter yang masih cenderung ketat dan kondisi kredit perbankan yang mengetat di tengah tingkat inflasi yang masih relatif tinggi terutama di negara-negara maju.

"Kebijakan moneter yang masih cenderung ketat dapat mendorong perlambatan laju pertumbuhan ekonomi global yang selanjutnya juga akan mempengaruhi perekonomian negara berkembang," katanya kepada CNBC Indonesia.

Meskipun demikian, Bank Dunia merevisi ke atas pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2023 menjadi 4,9% dari proyeksi bulan Januari yang diperkirakan sekitar 4,8%.

Sementara dalam rilis terbarunya bulan Juni, OECD masih mempertahankan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2023 ini di kisaran 4,7%. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2023 ini cenderung melambat ke kisaran 4,9%-5,0% dibandingkan dengan 5,3% pada tahun 2022, sejalan dengan pertumbuhan investasi yang moderat.

Pertumbuhan investasi yang melambat sudah terefleksi dari perlambatan invetasi di awal tahun 2023, disusul oleh potensi perlambatan pada paruh kedua 2023 memasuki perhelatan pemilu. Dalam sejarahnya, penyelenggaraan pemilu cenderung mendorong perlambatan investasi, terutama dari sisi investor asing.

Potensi perlambatan ekonomi juga berasal dari normalisasi harga komoditas global, sehingga ekspor utama komoditas Indonesia cenderung mengalami penurunan. Penopang utama pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2023 adalah dari sisi konsumsi serta lembaga non-profit rumah tangga. Keduanya diperkirakan mengalami pertumbuhan di masa tahun pemilu pada paruh kedua 2023. Kami perkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan berkisar pada 4,9-5,0%.

"Secara umum pertumbuhan ekonomi global termasuk Indonesia pada tahun 2023 ini cenderung melambat dibandingkan dengan tahun 2022," paparnya.

Meskipun demikian, dia melihat pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan masih tetap resilient karena ditopang oleh konsumsi domestik sehingga dampak perlambatan ekonomi global cenderung terbatas.

"Meskipun demikian, untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 5,3-5,7% pada tahun ini cenderung cukup berat mempertimbangkan moderasi investasi dan perlambatan net ekspor di tengah normalisasi harga komoditas global," ungkapnya.

2. Bhima Yudhistira, CELIOS

Bhima Yudhistira, Direktur CELIOS, mengatakan ekonomi dunia ini masih dipandang dengan kondisi yang menurun atau lemah pertumbuhannya, maka ini akan berimplikasi juga terhadap permintaan ekspor, khususnya ekspor ke negara negara tradisional, Jepang, China, AS, Uni Eropa.

Grup negara itu diperkirakan akan melandai ekonominya, karena lebih rendah, tumbuh tetapi rendah. Dan ini kita harus bersiap siap karena implikasinya juga kepada harga komoditas.

"Sekarang harga minyak mentah US$ 70/barel dan trennya bisa jadi terus mengalami penurunan, nanti akan pengaruh ke nikel, batu bara kemudian ke emas juga ke sawit, akan ada pengaruhnya nih," kata Bhima.

Oleh karena itu, dia menilai pemerintah juga harus antisipatif terhadap pelemahan ekonomi dunia.

"Nah, problemnya antara banyak estimasi ekonomi global melemah, volume perdagangan juga disampaikan oleh WTO juga akan mengalami penurunan, tapi anehnya kerangka ekonomi makro untuk asumsi pertumbuhan ekonomi masih bisa tumbuh 5,3%-5,7%, ini kan ajaib gitu," papar.

Dia berpendapat pemerintah harusnya sinkron kalau ekonomi globalnya sedang melambat, ya Indonesia bisa terkena dampaknya terutama dari China karena ekspansi manufaktur China juga tertahan. Pemulihan konsumsi domestiknya lambat di China. Padahal, China adalah mitra dagang terbesar bagi Indonesia.

"Kalau kita hanya bertahan di konsumsi domestik, itu pun juga akan penuh tantangan, karena tahun depan adalah tahun pemilu. Nah tahun pemilu kecenderungannya konsumsi menengah ke atas agak hati hati untuk menahan belanja, dan inflasi juga di Indonesia masih jadi ancaman, makanya pemerintah harus lebih rasional, lebih realistis dalam membuat proyeksi ekonomi," kata Bhima.

Kondisi ini dapat mempengaruhi postur APBN. Dia menjelaskan jika ekonominya global melambat maka harusnya postur APBN nya lebih ekspansif, yaitu belanja belanja yang berkaitan dengan belanja sosial, stimulus UMKM, industri, kemudian belanja untuk infrastruktur dasar ya penanganan kemiskinan, stabilitas harga pangan. Ini, lanjutnya, bisa diakomodir dalam APBN 2024 dalam rangka mengantisipasi kondisi global.

"Nah, saya lihat masih belum sinkron nih karena kalau globalnya belum membaik, khawatir kan pelemahan nilai tukar rupiah, arus modal asing yang keluar juga tinggi," kata Bhima. "Jadi enggak bisa berleha-leha menghadapi ekonomi global yang mungkin sedang mengalami tekanan ini," paparnya.


3. Eko Listiyanto, INDEF

INDEF melihat tahun ini tantangan ekonomi global memang cukup berat, terutama dipicu dari sisi moneter seiring inflasi yg relatif tinggi di negara-negara maju, bank sentralnya berusaha mengatasi dengan kenaikan bunga.

"Implikasinya sektor riil akan lesu, ekonomi tumbuh melambat," ungkap Eko Listiyanto, Deputi Direktur Indef, kepada CNBC Indonesia dikutio Senin (12/6/2023).

Di luar itu, beberapa faktor tidak mendukung percepatan recovery global, seperti geopolitik yang terus memanas, tekanan utang global meningkat akibat pelebaran utang saat Covid kemarin, serta perubahan iklim yang menekan produksi pangan.

"Jadi wajar kalo proyeksi ekonomi WB tahun 2023 masih suram, bahkan 2024 juga belum kembali seperti 2022," tegas Eko.

Untuk Indonesia, INDEF memperkirakan ekonominya tumbuh di 4,9% tahun ini dan tahun depan. Ini menggambarkan dampaknya ada ke Indonesia, terutama melalui relasi dagang, mitra dagang utama lesu, permintaan produk Indonesia bisa turun.

Di luar itu transmisi global juga masuk jalur sektor keuangan. Menurut Eko, tren bunga tinggi di negara maju akan direspon dengan melandainya kredit di dalam negeri. Alhasil, ekonomi akan melambat dibanding tahun lalu.

4. Faisal Rachman, Bank Mandiri

Ekonom Bank Mandiri Faisal Rachman melihat kondisi ekonomi global masih akan melemah pada 2023, tapi tidak seburuk yang diantisipasi sebelumnya. Kali ini, kata Faisal, hampir semua negara-negara akan terdampak pada pada pelemahan ini.

"Tetapi untuk indonesia jika dibandingkan negara lain masih lebih baik didukung oleh lebih dari 50% ekonomi kita yang berasal dari konsumsi rumah tangga, jadi mostly dari domestik," paparnya.

Melihat inflasi Indonesia yang turun lebih cepat daripada dugaan, Faisal memandang tingkat konsumsi masih akan terjaga ke depannya. jadi ekonomi Indonesia masih akan lebih baik jika dibanding mostly negara-negara lain.

Adapun, dia mengungkapkan aktivitas ekonomi terlihat masih cukup resilient karena sektor jasa. hal ini wajar karena pasca pencabutan status pandemi maka sektor jasa akan menggeliat.

"Jadi ada diverging antara sektor manufaktur yang memang cenderung melambat dan sektor jasa yang masih dalam kondisi ekspansif," katanya.

5. Kahfi Riza, Bank Syariah Indonesia (BSI)

Head of Macroeconomics & Financial Research BSI Kahfi Riza mengatakan dampak melambatnya ekonomi AS, China dan Eropa tentu saja akan memberi dampak ke Indonesia utamanya dari jalur perdagangan dan keuangan.

Melemahnya ekonomi AS, China & Eropa ini akan turut menekan kinerja ekspor RI dan berdampak sekitar 1,8%-2% pada ekonomi RI secara keseluruhan.

"Dinamika ekonomi yang terjadi di global akan berdampak pada Indonesia," katanya dalam Squawk Box, CNBC Indonesia.

Riza menegaskan pengaruhnya terhadap Indonesia akan tampak di jalur perdagangan dan keuangan. Jika digabungkan, share ekspor ketiga negara mencapai 40% atau sebesar US$ 7,63 miliar.

Adapun, kontribusi ekspor di PDB Indonesia cukup moderat, yakni sekitar 22,17%.

"Perhitungan kami jika terjadi kontraksi di ketiga area tadi, China, Eropa dan AS, maka akan terjadi kontraksi 1,8-2% terhadap ekonomi Indonesia secara keseluruhan," katanya.


(haa/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Update Terbaru: ADB Ramal Ekonomi RI Tumbuh 4,8% di 2023

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular