
Minta BI Atur Dolar AS, Pak Jokowi Mau Kontrol Devisa di RI?

Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam sidang kabinet paripurna menghimbau Bank Indonesia (BI) membentuk mekanisme agar dolar Amerika Serikat (AS) di Tanah Air bertahan lebih lama.
"Dari BI bisa buat sebuah mekanisme sehingga ada periode tertentu cadangan devisa yang bisa disimpan dan diamankan di dalam negeri," jelas Menko Perekonomian Airlangga kemarin usai Sidang Kabinet Paripurna, dikutip Rabu (7/1/2022).
Apa sebenarnya yang diinginkan Jokowi, apakah mau mengembalikan lagi rezim kontrol devisa di Tanah Air?
Sampai saat ini, belum ada penjelasan resmi dari pemerintah apa sebenarnya usulan kebijakan yang bisa diterapkan oleh bank sentral.
Bank Indonesia (BI) pun sampai saat ini belum memberikan penjelasan resmi mengenai, kebijakan apa yang akan ditempuh untuk bisa menahan DHE lebih lama di Tanah Air.
Kepala Ekonom BCA David Sumual juga memandang, jika otoritas ingin menerapkan kebijakan aturan mengenai DHE, bisa terbentur dengan undang-undang yang ada saat ini.
Undang-Undang mengenai Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar diatur di dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999. Di dalam UU tersebut, pemerintah memberlakukan rezim devisa bebas.
David bilang, saat ini sebenarnya sudah ada aturan dari Bank Indonesia berupa sanksi untuk eksportir yang tidak menyimpan DHE di dalam negeri.
Pertengahan Juli lalu, BI bahkan memperpanjang batas waktu pengajuan pembebasan Sanksi Penangguhan Ekspor (SPE) hingga akhir Desember 2022.
Namun, hal tersebut dibatalkan dan BI mencabut relaksasi tersebut. Aturan wajib parkir devisa di dalam negeri ini direlaksasi oleh BI sepanjang pandemi.
Pun ketentuan tersebut, kata David tidak sepenuhnya berhasil, karena para eksportir hanya memarkirkan dolarnya saja, tanpa dikonversi ke rupiah.
"Persoalannya memang banyak dana yang tidak dikonversi ke rupiah. Tidak ada aturan untuk bertahan juga. Misalnya ter-record hari ini terus besok keluar lagi, gak ada masalah," jelas David kepada CNBC Indonesia,.
Masalahnya kata David, jika otoritas mau mengatur kebijakan DHE di dalam negeri, maka akan terbentur dengan aturan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999.
"Ini terbentur juga dengan aturan kaitan dengan undang-undang devisa bebas," ujarnya lagi.
Kendati demikian, kata David, bisa diupayakan dengan beberapa instrumen pendalaman finansial, seperti dengan memperdalam instrumen keuangan dengan memberikan kepastian kurs terhadap pengusaha.
David, mencontohkan, jika eksportir atau importir memiliki menaruh dornya di perbankan nasional, namun saat membutuhkan lagi dolar AS dalam beberapa bulan lagi, bisa diberikan premi khusus.
"Misal eksportir menaruh dolar saat kursnya Rp 15.700/US$. Tiga bulan kemudian dia butuh dolar namun kursnya sudah naik Rp 15.750/US$. Jadi Rp 15.750 versus Rp 15.700, itu persentasenya yang harus eksportir/importir bayar sebagai kompensasi mendapatkan kepastian kurs," jelas David.
"Kita kan mau yang pasti-pasti, jangan sampai saya mau beli valas lagi harganya Rp 16.000/US$," kata David lagi.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Segara Institute, Piter Abdullah memandang BI bisa menerapkan compulsory surrender atau penyerahan wajib DHE, dan mengkonversikannya ke rupiah.
Kebijakan compulsory surrender tersebut menurut Piter tidak bertentangan dengan kebijakan devisa bebas.
"Kebijakan devisa kita sesuai UU adalah kebijakan devisa bebas. Compulsory surrender bukan berarti mengubah kebijakan devisa bebas menjadi devisa kontrol," ujar Piter.
