Pak Jokowi, Ini Lho Biang Kerok Dolar AS di RI Langka!

News - Cantika Adinda Putri, CNBC Indonesia
07 December 2022 20:30
Petugas menghitung uang  dolar di tempat penukaran uang Dolarindo, Melawai, Blok M, Jakarta, Senin, (7/11/ 2022) Foto: Petugas menghitung uang dolar di tempat penukaran uang Dolarindo, Melawai, Blok M, Jakarta, Senin, (7/11/ 2022). (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Kelangkaan dolar Amerika Serikat (AS) di Indonesia saat ini mulai membuat khawatir Presiden Joko Widodo (Jokowi). Keringnya valuta asing di Indonesia juga sebenarnya disebabkan karena beberapa faktor.

Sejumlah ekonom dan bankir pun mengamini bahwa kondisi valas di tanah air saat ini memang cenderung ketat alias kering.

Kepala Ekonom BCA David Sumual menjelaskan, saat ini permintaan kredit valas tidak diimbangi dengan pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) valas.

"Pertumbuhan kredit valas lebih tinggi dari DPR, pertumbuhan kredit valas sekitar 16% hingga 17%, sedangkan DPK valas hanya tumbuh 8%," jelas David kepada CNBC Indonesia, Rabu (7/12/2022).

Sehingga perbankan butuh likuiditas tambahan, karena likuiditas valas cenderung kering. Jauh berbeda dengan likuiditas rupiah yang cenderung masih longgar saat ini.

Mengenai aturan Devisa Hasil Ekspor (DHE), David menjelaskan, kebijakan sanksi terhadap eksportir yang tidak menempatkan DHE di dalam negeri, belum ampuh untuk membuat pengusaha memarkir dan mengkonversikan dolarnya.

Pun, tidak ada aturan yang tegas dari otoritas mengenai berapa lama DHE harus memarkir dolarnya di tanah air.

"Persoalannya memang banyak dana yang tidak dikonversi ke rupiah. Kedua tidak ada aturan untuk (DHE) bertahan juga. Misalnya ter-record hari ini terus besok keluar lagi, gak ada masalah," jelas David.

David juga menilai jika bank sentral menerapkan kebijakan ketentuan atau mengharuskan pengusaha memarkir dolarnya untuk jangka waktu tertentu, bisa terbentur dengan kebijakan Indonesia yang menganut rezim devisa bebas.

Undang-Undang mengenai Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar diatur di dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999. Di dalam UU tersebut, pemerintah memberlakukan rezim devisa bebas.

"Ini terbentur juga dengan aturan yang berkaitan dengan undang-undang devisa bebas," jelas David.

Suku bunga simpanan valas di dalam negeri, juga dinilai kurang menarik bagi para pengusaha untuk memarkir dolarnya di tanah air.

Seperti diketahui, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) baru saja menetapkan tingkat bunga penjaminan valas menjadi 1,75%, berlaku untuk periode 9 Desember 2022 hingga 31 Januari 2023.

Kebijakan tingkat bunga penjaminan valas tersebut, menurut LPS guna memberikan ruang fleksibilitas bagi perbankan merespon pergerakan likuiditas global, serta upaya sinergi kebijakan pengelolaan Devisa Hasil Ekspor (DHE) untuk memperkuat likuiditas valas domestik.

Sementara, dibandingkan dengan tingkat bunga simpanan valas di negara lain, mereka jauh lebih besar dari Indonesia. Hal ini membuat eksportir dan importir lebih memilih untuk memarkir dolarnya di luar negeri.

"Di Singapura, tingkat suku bunganya sekarang mengikuti suku bunga The Fed dengan tingkat bunga jaminan 4%," jelas David.

Ekonom Bank Mandiri Faisal Rachman juga mengamini keringnya likuiditas valas saat ini. Pasokan valas di tanah air tidak sejalan dengan kondisi neraca perdagangan RI yang mengalami surplus selama 30 bulan berturut-turut, sejak Mei 2020.

Bank Mandiri mencatat, banyak pelaku usaha yang hanya sekedar memarkir DHE-nya, tanpa dikonversi ke rupiah. Yang kemudian memindahkannya ke bank di luar negeri.

Suku bunga perbankan nasional untuk simpanan valas menurut Faisal masih belum bisa menarik para pengusaha untuk memarkir dolarnya lebih lama di dalam negeri.

Dari sisi fiskal, Faisal menilai, pemerintah sebenarnya juga bisa memberikan dengan insentif pajak.

"Bisa dengan kebijakan insentif bunga yang lebih besar untuk deposito dalam valas atau juga dengan insentif pajak," jelas Faisal.

Volatilitas kurs rupiah yang tidak stabil, juga menjadi salah satu alasan pengusaha ogah untuk memarkir dolarnya di bank devisa nasional.

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menjelaskan depresiasi nilai tukar di Indonesia lebih volatile jika dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura.

Selain itu, faktor lainnya yang membuat eksportir/importir ogah memarkir dolarnya lebih lama di tanah air, karena pendalaman pasar di sektor keuangan masih rendah.

Para eksportir dan importir, tentu saja membutuhkan pasar keuangan yang lebih mobile dan menjamin.

"Sehingga eksportir dan importir belum bisa masuk memanfaatkan pasar keuangan kita. Tentu mengharapkan pasar keuangan cukup baik, menghasilkan return yang baik dengan mobilitas keuangan yang cukup cepat bagi eksportir dan importir," jelas Tauhid.


[Gambas:Video CNBC]
Artikel Selanjutnya

Minta BI Atur Dolar AS, Pak Jokowi Mau Kontrol Devisa di RI?


(cap/cap)

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Terpopuler
    spinner loading
LAINNYA DI DETIKNETWORK
    spinner loading
Features
    spinner loading