Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah dijadwalkan sudah menetapkan Upah Minimum Provinsi (UMP) pada 21 November mendatang. Mendekati pengumuman, perdebatan mengenai besaran kenaikan dan cara perhitungan UMP pun kembali ramai.
Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah, Selasa (8/11/2022), menegaskan UMP 2023 akan lebih tinggi dibandingkan tahun lalu. Kenaikan UMP menyesuaikan meningkatnya pertumbuhan serta lonjakan inflasi.
"Upah minimum dihitung dengan menggunakan formula perhitungan yang memuat variabel pertumbuhan ekonomi atau inflasi. Jika kita melihat kedua indikator ini, dapat terlihat bahwa upah minimum tahun 2023 relatif," tutur Ida saat menghadiri Rapat Kerja Komisi IX DPR RI, Jakarta, Selasa (8/11/2022).
Merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS), ekonomi Indonesia tumbuh 5,72% (year on year/yoy) pada kuartal III/2022 sementara itu inflasi menembus 5,95% pada September 2022.
Sementara itu, ekonomi Indonesia tumbuh 3,72% sementara inflasi mencapai 1,87% pada 2021.
Ida juga menegaskan jika perhitungan UMP akan menggunakan formula dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan yang mengacu Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Sebagai catatan, UMP 2022 merupakan UMP pertama yang dihitungkan berdasarkan PP NO 36/2021. Dengan hitungan tersebut, UMP 2022 ditetapkan hanya naik 1,09%.
Hingga kini, pemerintah belum memberi sinyal besaran kenaikan UMP. Sejumlah serikat buruh/pekerja sendiri meminta pemerintah untuk menaikkan UMP setidaknya 13% untuk tahun depan.
Namun, jika pemerintah bersikukuh menggunakan PP N0 36/2021 maka besaran kenaikan diperkirakan tidak akan menembus double digit.
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) DKI Jakarta Diana Dewi memperkirakan jika mengacu pada PP tersebut maka besaran kenaikan UMP 2023 hanya mencapai 1,9%. Dia juga menambahkan Kadin menolak kenaikan UMP sebesar 13% seperti yang diminta pengusaha.
"Kalau menurut hitungan formula mengacu PP 36 kisaran 1,9 %. Tapi Kemenaker sedang mengkaji ulang untuk hitungan tersebut," tutur Diana, kepada CNBC Indonesia.
Wakil Ketua Dewan Pimpinan ProvinsiAsosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo)DKI Jakarta Nurjaman mengatakan pengusaha menginginkan penetapan UMP tetap mengacu pada PP 36/2021.
"Ini bukan berapa besaran yang masuk akal berapa tetapi kita harus tetap mengikuti regulasi yang ada. Kenaikan harus berdasarkan regulasi bukan tekanan," tutur Nurjaman, kepada CNBC Indonesia.
Nurjaman menegaskan upah buruh pasti naik hanya saja kenaikan harus tetap mengikuti aturan. Dia mengingatkan pengalaman 2022 harus menjadi pelajaran agar tidak terulang.
Seperti diketahui, UMP Jakarta pada 2022 menjadi polemik berkepanjangan bahkan berakhir di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta .
Persoalan bermula setelah pemerintah menetapkan UMP 2022 sebesar 1,09%. UMP Jakarta 2022 semula naik 0,85% menjadi Rp 4,45 juta. Namun, Gubernur DKI Jakarta saat itu Anies Baswedan menghitung ulang formula kenaikan dan menetapkan kenaikan UMP sebesar 5,11% menjadi Rp 4,6 juta.
Pengusaha Jakarta kemudian membawa polemik UMP ke PTUN Jakarta. UMP Jakarta akhirnya berlaku sesuai ketentuan lama yakni Rp 4,45 juta.
Presiden Asosiasi Serikat Pekerja atau ASPEK Indonesia Mirah Sumirat mengatakan kenaikan upah yang ideal untuk tahun depan adalah 20%. Tuntutan kenaikan UMP sebesar 13% untuk 2022 adalah besaran yang paling minimal.
"Usulan kenaikan UMP 13% itu angka kompromi. Harusnya naik 20%. Kita juga memahami jika kondisi perekonomian belum pulih sepenuhnya tetapi buruh juga banyak terkena imbas. Ada inflasi dan juga kenaikan harga BBM," tutur Mirah, kepada CNBC Indonesia.
Mirah juga mengingatkan PP 36/2021 seharusnya tidak dipakai sebagai perhitungan UMP karena inkonstitusional. Perhitungan UMP dengan merujuk PP tersebut juga akan menghasilkan kenaikan yang sangat kecil.
"Kalau kita hitung berdasarkan PP itu kenaikannya ga sampai 2%. Kalau mereka tetap memaksakan pakai PP tersebut maka artinya pemerintah tidak punya empati," imbuh Mirah.
Pengamat Ketenagakerjaan Universitas Gadjah Mada (UGM) Tadjuddin Noer Effendi mengatakan besaran kenaikan UMP akan sangat kecil jika perhitungannya merujuk pada PP 36/2021.
Dia mengingatkan kenaikan UMP seharusnya mampu mengimbangi inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
"Kalau kenaikannya kecil berarti tidak memberi insentif bagi buruh. Upah tidak bisa mengikuti inflasi terus apa artinya kenaikan?," tutur Tadjuddin, kepada CNBC Indonesia.
Tadjudin juga mengingatkan perhitungan upah berdasarkan PP 36/2021 sangat sulit karena menggunakan variabel yang banyak dan disesuaikan dengan kondisi daerah masing-masing.
PP tersebut juga kontroversial setelah Mahkamah Konstitusi memutuskan UU Cipta Kerja sebagai dasar PP 36/2021 dinyatakan sebagai inkonstitusional bersyarat karena dalam proses pembuatannya tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
"Inti dari upah pekerja kan agar mereka tidak hidup di garis kemiskinan. Kalau hitungannya pemerataan dan keadilan maka akan sulit dihitung," ujarnya.
Merujuk pada PP 36/2021, formula perhitungan UMP mempertimbangkan sejumlah indikator ekonomi. Upah juga dientukan berdasarkan kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan. Terdapat pula perhitungan kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan seperti paritas daya beli, tingkat penyerapan tenaga kerja, dan median upah.
Formula perhitungannya adalah sebagai berikut
Batas atas UM(t)= (Rata - rata konsumsi per kapita(t) x Rata - rata banyaknya ART(t))
Rata - rata banyaknya ART bekerja pada setiap rumah tangga(t)
Penyesuaian nilai upah minimum juga menggunakan rentang nilai tertentu di antara batas atas dan batas bawah upah minimum pada wilayah yang bersangkutan.
Batas atas dihitung dengan mempertimbangkan rata-rata konsumsi per kapita, rata-rata banyaknya anggota rumah tangga, dan rata-rata banyaknya anggota rumah tangga bekerja pada setiap rumah tangga di wilayah tersebut.
Nilai batas bawah upah minimum dihitung dari batas atas upah minimum dikalikan 50% atau Batas bawah UM(t)= Batas atas UM(t)x 50%.
Sementara itu, nilai pertumbuhan ekonomi atau inflasi yang digunakan merupakan nilai pertumbuhan ekonomi atau inflasi tingkat provinsi. Perhitungan UMP Indonesia sendiri sudah berevolusi sebanyak enam kali.
Periode 1969-1995, Indonesia menetapkan upah dengan merujuk pada Kebutuhan Fisik Minimum (KFM). KFM terbagi dalam lima kelompok kebutuhan hidup dan terdiri atas 47 jenis komoditas (komponen) kebutuhan fisik tenaga kerja, seperti makanan dan minuman dan bahan bakar.
Perhitungan upah kemudian berganti pada pada 1996.
Pada periode 1996-2005, dasar yang digunakan adalah Kebutuhan Hidup Minimum (KHM). KHM terdiri atas empat kelompok kebutuhan hidup dan terdiri atas 43 komoditas.
Pemerintah kemudian mengubah dasar yang digunakan pada 2006. Pada periode 2006 - 2012 dasar yang digunakan adalah Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang terdiri atas tujuh kelompok kebutuhan hidup dan meliputi 46 komoditas.
Jumlah komoditas sebagai penentu kehidupan layak tenaga kerja ditambah menjadi 60 jenis pada 2015. Daftar komoditas tersebut digunakan hingga 2015.
Terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015, maka penentuan besaran upah minimum (UM) diubah dengan menggunakan formulasi inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
Formula tersebut bertahan hingga 2020 sebelum aturan kenaikan UMP ditentukan berdasarkan PP 36/2021.
TIM RISET INDONESIA