Jadi, Kapan Tarif Cukai Rokok 2023 Diumumkan?

Chandra Asmara & Anisa Sopiah & Maesaroh, CNBC Indonesia
28 October 2022 13:00
Pedagang menata rokok di warung eceran di Warung Dua Saudara Pejaten, Jakarta, Rabu, (26/10). Naiknya tarif cukai rokok dari waktu ke waktu, membuat sejumlah orang memilih alternatif rokok dengan harga murah. Ghofar pemilik warung eceran menjual berbagai macam Merk rokok mengatakan biasanya orang yang beralih rokok itu karena mencari harga yang lebih murah dengan jenis yang sama. (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabkik)
Foto: Penjualan Rokok Murah (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabkik)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah sampai saat ini masih menggodok tarif kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) alias cukai rokok untuk tahun depan. Jika tak ada aral melintang, kebijakan ini akan diumumkan, setidaknya dalam waktu dekat.

Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Nirwala Dwi Heryanto memastikan kalangan pengusaha telah menyampaikan usulan agar kenaikan tarif tidak dilakukan mendadak.

"Perusahaan minta jangan mepet. Kalau mepet kasihan. Karena ada business plan, menentukan produksi apa ke depan, bibit unggulannya seperti apa," kata Nirwala saat berbincang dengan CNBC Indonesia akhir pekan lalu, seperti dikutip Kamis (27/10/2022).

Seperti diketahui, pemerintah biasanya mengumumkan kenaikan tarif cukai untuk tahun berikutnya pada November tahun berjalan.

Kenaikan cukai biasanya berlaku efektif sejak 1 Januari. Anomali terjadi pada 2021 di mana tarif cukai baru berlaku efektif pada 1 Februari 2021 karena pemerintah baru mengumumkan tarif baru pada pertengahan Desember 2020.

Tarif cukai akan mengalami kenaikan tiap tahun. Pengecualian terjadi pada 2014 dan 2019.Pada 2014, tarif cukai hasil tembakau tidak naik karena ada transisi aturan baru mengenai pajak rokok daerah.

Tarif cukai pada 2019 juga tidak naik dengan alasan kenaikan inflasi meskipun banyak yang menilai itu mengandung unsur politis karena menjelang pemilu.

Dalam menentukan arah kebijakan tarif CHT, pemerintah tetap mempertimbangkan empat aspek. Mulai dari aspek kesehatan melalui pengendalian konsumsi, aspek optimalisasi penerimaan CHT, aspek keberlangsungan industri terkait, dan aspek peredaran rokok ilegal.

Artinya, pembahasan tarif CHT juga akan melibatkan Kementerian Kesehatan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Ketenagakerjaan. Dari pembahasan antar lintas kementerian itu, nantinya akan dirumuskan kebijakan yang sudah sesuai dengan kesepakatan.

Pedagang menata rokok di warung eceran di kawasan pondok Bambu, Jakarta, Rabu, (26/10). Naiknya tarif cukai rokok dari waktu ke waktu, membuat sejumlah orang memilih alternatif rokok dengan harga murah. Ghofar pemilik warung eceran menjual berbagai macam Merk rokok mengatakan biasanya orang yang beralih rokok itu karena mencari harga yang lebih murah dengan jenis yang sama. (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabkik)Foto: Penjualan Rokok Murah (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabkik)
Pedagang menata rokok di warung eceran di kawasan pondok Bambu, Jakarta, Rabu, (26/10). Naiknya tarif cukai rokok dari waktu ke waktu, membuat sejumlah orang memilih alternatif rokok dengan harga murah. Ghofar pemilik warung eceran menjual berbagai macam Merk rokok mengatakan biasanya orang yang beralih rokok itu karena mencari harga yang lebih murah dengan jenis yang sama. (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabkik)

Kementerian Keuangan, kata dia, saat ini pun masih melakukan perumusan kebijakan tarif CHT tahun depan. Selain keempat aspek tersebut, lanjut Nirwala, juga ada pertimbangan perkembangan proyeksi kondisi makro ekonomi Indonesia dan ekonomi dunia.

"Saya tidak bicara koefisien pertumbuhan ekonomi seperti apa. Diusulkan BKF ke Kemenkeu, Kemenkeu ke Kemenko, dan dibahas di Kementerian terkait," jelasnya.

Nirwala kemudian menjelaskan sebuah teori bernama Kurva Laffer yang menggambarkan hubungan antara tarif pajak dan tingkat pendapatan pemerintah.

Teori ini menggambarkan secara jelas pengurangan tarif dapat meningkatkan output perekonomian. Sebaliknya, kenaikan tarif akan menghasilkan lebih banyak pendapatan, namun juga bisa memicu melonjaknya peredaran rokok.

Nirwala mengatakan, dengan tarif yang saat ini sudah diberlakukan, kontribusinya terhadap penerimaan negara sudah memberikan kontribusi yang cukup positif. Jika ditambah dengan kenaikan yang lebih tinggi, bukan tidak mungkin akan terjadi gejolak.

"Kita disiplin kurva laffer, tapi kalau sudah diambil di meja keputusan yang sifatnya sudah politis, kan enggak bisa sifatnya matematika murni," jelasnya.



(cha/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Daftar Rokok Murah RI: Ada yang Cuma Rp 8.000 Per Bungkus!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular