Eksklusif! Ini Bocoran Terbaru Kenaikan Tarif Cukai Rokok

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah sampai saat ini masih menggodok tarif kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) alias cukai rokok untuk tahun depan. Jika tak ada aral melintang, kebijakan ini akan diumumkan, setidaknya dalam waktu dekat.
Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Nirwala Dwi Heryanto memperkirakan besaran kenaikan tarif cukai rokok tidak akan sebesar tahun lalu.
"Ramalan saya tidak akan setinggi tahun kemarin, karena faktor pertumbuhan dan inflasinya tidak seperti kemarin," kata Nirwala saat berbincang dengan CNBC Indonesia akhir pekan lalu, seperti dikutip Kamis (27/10/2022)
Pada tahun lalu, pemerintah mengerek tarif cukai rokok rata-rata tertimbang 12,5%. Besaran kenaikan telah mempertimbangkan aspek kesehatan, keberlangsungan tenaga kerja, pemberantasan rokok ilegal, hingga penerimaan negara.
Pernyataan Nirwala yang menyebut kenaikan tarif cukai rokok tidak akan sebesar tahun lalu bukanlah tanpa alasan. Setidaknya, ada sejumlah alasan yang mendasari pernyataan tersebut
Dalam menentukan tarif, pemerintah menggunakan tiga variabel utama yakni pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan pengendalian. Namun, ketiga indikator yang menjadi basis perhitungan tak selalu sama setiap tahunnya.
Misalnya, Nirwala mencontohkan, dari indikator inflasi nasional. Pada tahun ini laju inflasi diproyeksikan membengkak, lebih tinggi dari tahun lalu, dipicu terhambatnya suplai barang akibat perang yang terjadi antara Rusia dan Ukraina.
Sebagai catatan, inflasi Indonesia pada September menembus 5,95% (year on year/yoy). Inflasi diperkirakan menembus 6-7% pada tahun ini.
"Ini lebih disebabkan karena supply side, bukan dari demand side. Selama ini kan yang menyebabkan inflasi demand side. Apa iya treatmentnya sama [dalam penghitungan tarif cukai]?," papar Nirwala.
"Pertumbuhan ekonomi juga, apakah fundamental ekonomi yang menyebabkan pertumbuhan kita 5,3% itu sama dengan keadaan normal? Jangan-jangan ini memang semua karena komoditas. Ini harus hati-hati. Jadi tahun ini enggak sama dengan tahun-tahun sebelumnya," jelasnya.
Nirwala kemudian menjelaskan sebuah teori bernama Kurva Laffer yang menggambarkan hubungan antara tarif pajak dan tingkat pendapatan pemerintah.
Teori ini menggambarkan secara jelas pengurangan tarif dapat meningkatkan output perekonomian. Sebaliknya, kenaikan tarif akan menghasilkan lebih banyak pendapatan, namun juga bisa memicu melonjaknya peredaran rokok.
"Kalau soal tarif cukai kan bukan soal menang-menangan. Apa iya pemerintah tutup mata dan tutup telinga kalau kondisi ekonominya seperti ini. Apa iya, perekonomian baru tumbuh terus dipenggal?," ujarnya.
Nirwala mengatakan, dengan tarif yang saat ini sudah diberlakukan, kontribusinya terhadap penerimaan negara sudah memberikan kontribusi yang cukup positif. Jika ditambah dengan kenaikan yang lebih tinggi, bukan tidak mungkin akan terjadi gejolak.
"Di mekanisme pasar akhirnya akan mengikis surplus konsumen dan surplus produsen. Surplus konsumen akan habis. Contohnya kalau rokok naik terus daya belinya makin terkikis," katanya.
"Kalau tarif tinggi, akhirnya lari ke rokok ilegal. Penerimaan negara sama, tapi adanya tarif tinggi. Makanya sering disebut kalau tarif tinggi itu insentif untuk produsen rokok ilegal, disinsentif untuk yang legal," katanya.
![]() Pedagang menata rokok di warung eceran di kawasan pondok Bambu, Jakarta, Rabu, (26/10). Naiknya tarif cukai rokok dari waktu ke waktu, membuat sejumlah orang memilih alternatif rokok dengan harga murah. Ghofar pemilik warung eceran menjual berbagai macam Merk rokok mengatakan biasanya orang yang beralih rokok itu karena mencari harga yang lebih murah dengan jenis yang sama. (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabkik) |
Nirwala mengemukakan pemerintah akan mengedepankan prinsip kehati-hatian dalam merumuskan arah kebijakan tarif cukai tahun depan. Apalagi, kata dia, perekonomian belum sepenuhnya pulih, dan dunia masih dipenuhi dengan ketidakpastian.
"Dari pabrik rokok permintaannya naik, tapi jangan tinggi-tinggi. Pemerintah juga harus hati-hati. Banyak kondisi yang harus diperhitungkan seperti pertumbuhan ekonomi, momentum enggak boleh terganggu. Secara teori tarifnya sudah terlalu tinggi," kata Nirwala.
Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Asoiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Soeseno justru mengatakan, para petani cukai menginginkan tidak ada kenaikan tarif CHT. Sekalipun ada kenaikan, diharapkan besarannya tidak sebesar yang dibayangkan.
"Petani bersama teman-teman komponen industri hasil tembakau sepakat, kalau naik yang predictable, paling tidak setara inflasi dan pertumbuhan. Kalau petani sendiri, ya mending tidak naik," kata Soeseno.
Sebagai informasi, tarif cukai rokok terus mengalami kenaikan setiap tahun. Adapun pengecualian terjadi pada 2014 dan 2019. Pada 2014, tarif cukai hasil tembakau tidak naik karena ada transisi aturan baru mengenai pajak rokok daerah. Tarif cukai pada 2019 juga tidak naik dengan alasan kenaikan inflasi meskipun banyak yang menilai itu mengandung unsur politis karena menjelang pemilu.
[Gambas:Video CNBC]
Jadi, Kapan Tarif Cukai Rokok 2023 Diumumkan?
(cha/mij)