Riset CNBC Indonesia

Doyan Gorengan-Mi Instan, Orang RI Tinggalkan Beras, Beneran?

Aulia Mutiara Hatia Putri, CNBC Indonesia
17 October 2022 14:40
Pemerintah melalui Kementerian Sosial memberikan kepercayaan kepada Perum BULOG untuk melanjutkan program bantuan beras PPKM tahap II menyusul selesainya bantuan beras tahap I.  (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
Foto: Pemerintah melalui Kementerian Sosial memberikan kepercayaan kepada Perum BULOG untuk melanjutkan program bantuan beras PPKM tahap II menyusul selesainya bantuan beras tahap I. (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Ada anggapan umum di masyarakat bila belum makan nasi maka sama saja dianggap belum makan. Di sisi lain, impor pangan non beras seperti gandum dan turunannya ke Indonesia terus naik signifikan.

Apakah benar orang Indonesia terutama perkotaan, sudah menjadikan sumber karbohidrat lain selain nasi sebagai alternatif pilihannya untuk konsumsi?

Di lapangan dalam memenuhi kebutuhan pangan, masyarakat kini dihadapkan dengan berbagai pilihan. Apalagi, kesediaan pilihan pangan saat ini di Wilayah perkotaan Jabodetabek sudah beranekaragam.

Kendati demikian, ada beberapa faktor pembatas yakni mencakup kesukaan (preferensi), pengetahuan tentang makanan dan gizi makanan, serta kemudahan dan biaya mendapatkannya.

Tim Riset CNBC Indonesia menguak preferensi makanan yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) sebagai objek penelitian dari 72 responden dengan alasan kesediaan pangan dari segi jumlah dan jenis begitu beragam.

Untuk usia responden dalam penelitian ini berkisar antara 23 tahun hingga 60 tahun. Dengan persentase usia di bawah 25 tahun sebesar 23,61%, usia 25-30 tahun dengan persentase 31,94%, usia 31-40 dengan persentase 36,11%, dan usia di atas 40 tahun dengan persentase 8,33%.

Dari riset ini apakah benar masyarakat Jabodetabek sudah mulai meninggalkan beras dan mulai beralih kepada konsumsi makanan lain seperti olahan gandum?

Apalagi, kesadaran terkait kesehatan, pengetahuan nilai gizi dalam makanan, serta kesibukan dalam hal bekerja tentunya akan mempengaruhi konsumsi makanan baik dari sarapan hingga makan malam.

Catatan CNBC Indonesia, harga beras dalam 2 tahun terakhir dinilai amat stabil sehingga tak lagi menjadi biang inflasi walaupun belakangan sedikit ada kenaikan harga. Harga beras tidak lagi tergantung musim, tapi semakin turun ke bawah harga pembelian pemerintah (HPP). Sementara itu, konsumsi beras yang semakin turun dinilai jadi salah satu penyebab melandainya harga beras di Indonesia.

Apa Betul Konsumsi Beras Menurun Karena Masyarakat Sudah Tinggalkan Beras?

Konsumsi Beras

Beras tetap merupakan komoditas pangan pokok yang dikonsumsi oleh sebagian besar penduduk Indonesia sehingga masalah konsumsi beras dan pemenuhannya akan tetap menjadi hal penting dalam pembangunan ekonomi Indonesia.

Berdasarkan hasil penelitian, mayoritas responden masih menjadikan beras sebagai jenis pangan utama dalam pemenuhan kebutuhan pangannya, sementara 43,06% memilih beras, olahan gandum, serta olahan tepung beras, dan 8,33% responden memilih beras dan olahan tepung beras.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, pada kenyataannya sebagian beras masyarakat yang berada di wilayah Jabodetabek konsumsi berasnya masih di dominasi dengan penuh beras putih yakni sebesar 80,56%, sedangkan konsumsi penuh beras merah yakni hanya sebanyak 2,78%, dan campuran beras putih dan beras merah sebanyak 16,67%.

Data tersebut menunjukkan posisi beras yang sangat strategis sebagai penopang ketahanan pangan di Indonesia. Sebagian besar beras dikonsumsi setelah diolah menjadi nasi. Bagi sebagian besar orang, memakan nasi erat dengan budaya makan dan citra status sosial di masyarakat Indonesia.

Di sisi lain, sebagian kecil responden memang sudah menyadari pentingnya kandungan dari beras merah. Tetapi masih banyak yang menyandingkan konsumsi antara beras merah dan beras putih dan hanya sedikit responden yang masih mengkonsumsi full beras merah.

Penghasilan nyatanya mempengaruhi konsumsi beras. Hasil penelitian juga menyebutkan bahwa responden yang mengkonsumsi beras merah penghasilannya berada di kisaran Rp 10.000.000-15.000.000 per bulan dengan usia di atas 30 tahun.

Bukan tanpa alasan, pada kenyataannya, warna merah pada beras merah dihasilkan dari kandungan anthocyanin. Per 100 gram,beras merah punya 7 gram protein dan 2 gram serat. Baik beras hitam maupun beras merah harganya lebih mahal, karena punya kandungan nutrisi yang lebih tinggi daripada beras putih.

Untuk proporsi konsumsi beras campuran merah dan putih, 83,33% responden ternyata lebih banyak mengonsumsi beras putih di bandingan beras merah, sedangkan sisanya 16,67% lebih banyak proporsi beras merah dibandingkan beras putih.

Ragam Alasan Konsumsi Beras Berdasarkan Jenis

Alasan responden dalam preferensi jenis beras yang dipilih juga beragam. Untuk pemilihan konsumsi full beras putih mayoritas responden menganggap beras putih lebih mudah didapatkan, harga lebih terjangkau, rasanya lebih enak, dan sudah terbiasa turun temurun mengkonsumsi beras putih. Sehingga responden belum menemukan alasan untuk beralih mengonsumsi beras merah ataupun hitam.

Selain itu, beberapa responden juga beranggapan bahwa beras putih lebih cocok dikonsumsi dengan beragam lauk-pauk di Indonesia. Sehingga jika beralih responden merasa bahwa rasanya berbeda.

Jika berbicara harga beras putih, responden dengan range gaji pekerja di Jabodetabek rata-rata berada di atas Rp 5.000.000 hingga di atas 16.000.000 responden masih menganggap beras putih merupakan beras yang bisa ditemukan dimana saja baik pasar tradisional dan modern dengan harga rata-rata terjangkau bagi masyarakat Jabodetabek.

Sementara, untuk responden yang mengonsumsi beras campuran alasan yang mereka berikan adalah beras ini lebih sehat, mereka begitu sadar akan kandungan gizi beras merah jika dibandingkan beras putih di mana nyatanya beras ini dianggap tepat untuk program diet dan menjaga berat badan.

Meskipun tetap saja beras putih masih tak bisa terlepaskan dari kehidupan namun sudah mulai dibatasi karena alasan kesehatan, mutu, serta kandungan yang ada pada beras.

Kemajuan di berbagai bidang telah mempengaruhi pola permintaan pangan, termasuk permintaan beras sebagai salah satu makanan pokok. Peningkatan pendapatan masyarakat mengakibatkan peningkatan tuntutan terhadap mutu.

Konsumsi Olahan Tepung Gandum

Meskipun masyarakat Indonesia sebagian besar tak bisa terpisahkan dari beras, namun seiring dengan berkembangnya olahan makanan olahan tepung gandum maupun tepung beras, masyarakat mulai menjadikannya makanan pokok komplementer.

Dalam 12 tahun terakhir, konsumsi gandum naik porsinya dari 18,3% di tahun 2010 menjadi 27% saat ini. Dipicu urbanisasi dan berkembangnya masyarakat kelas menengah. Hal ini disebutkan sejalan dengan semakin bervariasinya olahan pangan sehingga menaikkan konsumsi produk berbasis gandum yaitu roti, pizza, dan pasta.

Berdasarkan hasil penelitian, sebanyak 79.17% responden memilih olahan gandum sebagai komplementer beras, sementara 20,83% tidak mengonsumsi olahan gandum.

Ini menunjukkan bahwa masyarakat mulai beralih ke gaya konsumsi barat, seperti roti gandum, pizza, pasta, dan sereal. Sedangkan mayoritas masyarakat kelas menengah bawah terus mengganti berasnya ke mi instan karena lebih mudah dimasak dan terjangkau.

Responden menghabiskan biaya untuk olahan gandum dalam sebulan juga cukup beragam. Mulai dari di bawah Rp 100.000 hingga di atas Rp 250.000 per bulan. Berdasarkan hasil riset, 61,4% responden menghabiskan

Jika dirincikan lagi, konsumsi olahan gandum yang dipilih responden cukup beragam, berikut rinciannya.

1. Roti Gandum

Roti gandum utuh terbuat dari tepung yang mengandung semua bagian dari biji gandum termasuk dedaknya. Dalam bagian inilah gandum paling banyak nutrisinya.

Beberapa kandungan yang bermanfaat dari gandum utuh adalah serat, vitamin B, zat besi, folat, kalium dan magnesium. Hasil olahan gandum utuh yang dimasak menjadi roti akan melibatkan proses yang lebih sedikit sehingga nilai gizinya tetap optimal.

Dipicu urbanisasi dan berkembangnya masyarakat kelas menengah. Hal ini disebutkan sejalan dengan semakin bervariasinya olahan pangan sehingga menaikkan konsumsi roti gandum.

Berdasarkan hasil penelitian, rata-rata konsumsi roti gandum mayoritas responden masih di bawah 10 buah per bulan yakni sebesar 69,22%, sementara 13,39% responden dengan rata-rata konsumsi 11-15 buah per bulan, dan konsumsi di atas 20 buah masih rendah yakni 2,78% per bulan.

Responden yang memilih roti gandum sebagai menu makan pagi agar tidak terlalu kenyang sehingga menghindari rasa ngantuk saat bekerja. Sementara itu, berbagai jenis roti gandum juga begitu mudah ditemui di minimarket ataupun supermarket.

Responden penelitian juga menyadari pentingnya konsumsi roti gandum bagi kesehatan karena Roti gandum utuh memiliki kandungan yang rendah lemak dan bebas kolesterol, serta dilengkapi dengan senyawa alami yang diduga dapat melawan perkembangan sel-sel kanker.

2. Mi Instan

Sudah tak diragukan lagi, konsumsi olahan tepung gandum yang satu ini memang menjadi salah satu favorit orang Indonesia. Indonesia merupakan negara yang paling banyak mengonsumsi instan di dunia setelah China.

Mengutip data World Instant Noodles Association, dalam lima tahun terakhir sampai 2021, konsumsi mi instan masyarakat Indonesia terus meningkat.

Pada 2019 konsumsi mi instan di Indonesia turun tipis menjadi 12,52 miliar porsi. Namun, pada 2020 konsumsi mi instan di dalam negeri kembali naik menjadi 12,64 miliar porsi.

Sejalan dengan data penelitian, jumlah rata-rata mie instan yang dikonsumsi responden masih di dominasi kisaran di bawah 5 bungkus per bulan dengan persentase sebesar 69,44%, sementara 20,83% mengonsumsi sebanyak 6-15 bungkus per bulan, 1-2 bungkus dalam 2-3 bulan sebesar 2,78%, dan 1,39% mengonsumsi mi instan lebih dari 20 bungkus per bulan. Sementara 5,56% sisanya tidak mengonsumsi.


Selain praktis, mie instan digemari oleh masyarakat karena rasanya yang lezat. Kendati demikian, dengan data ini artinya masih banyak masyarakat yang sadar akan bahaya mengonsumsi mi instan secara berlebihan.

3. Sereal, Pizza, dan Pasta

Gaya hidup masyarakat kota yang mengkonsumsi makanan sereal mendorong permintaan akan sereal kian tinggi. Indonesia bahkan menjadi salah satu importir terbesar di Asia Timur.

Berdasarkan hasil penelitian, faktanya masih banyak responden yang mengonsumsi sereal dengan persentase 51,39% dengan konsumsi rata-rata di bawah 5 kali/bulan sebesar 36,11%, sementara rata-rata konsumsi 5-10 kali per bulan sebesar 11,11%, rata-rata konsumsi 11-20 kali per bulan dengan persentase 2,78%, dan lebih dari 20 kali per bulan sebesar 1,39%.

Tidak ada petani yang memproduksi gandum. Sehingga sereal belum bisa diproduksi dalam negeri. Mindset masyarakat Indonesia masih terpaku pada konsumsi beras. Sehingga kesulitan untuk mendorong petani memproduksi gandum.

Begitu pula untuk jenis Pizza, mayoritas responden mengonsumsi pizza dengan rata-rata konsumsi di dominasi sebanyak 1-2 kali per bulan dengan persentase 62,5%, 3-5 kali per bulan dengan persentase 4,17%, dan ada pula yang rata-rata konsumsinya di atas 5 kali per bulan dengan persentase 1,39%. Sementara 31,94% lainnya tidak mengonsumsi Pizza.

Terakhir, untuk jenis pasta rata-rata konsumsi responden didominasi sebanyak 1-2 kali per bulan dengan persentase 58,33%, sementara 5,56% responden hanya rata-rata konsumsinya hanya 3-5 kali per bulan, dan 36,11% sisanya tidak mengonsumsi.

Dengan data tersebut, dapat disimpulkan bahwa konsumsi olahan gandum di wilayah Jabodetabek cukup tinggi. Alasan mereka juga begitu beragam, mayoritas responden menjawab olahan gandum baik roti gandum, pasta, pizza, mi instan menjadi pengganti nasi yang menyenangkan, sebagai alternatif untuk sumber karbohidrat, serta menjadi makanan mudah dikonsumsi.

Konsumsi Olahan Tepung Beras

Selain konsumsi olahan gandum, pada kenyataannya masyarakat wilayah Jabodetabek juga doyan mengonsumsi olahan tepung beras. Berdasarkan hasil penelitian, mayoritas responden mengonsumsi olahan tepung beras sebagai komplementer makanan pokok yakni dengan persentase 86,11%.

Jika secara rinci, data BPS menunjukkan, konsumsi tepung beras per kapita per September tahun 2015-2019 ercatat 0,16 kg, 0,17 kg, 0,20 kg, 0,21 kg, dan 0,20 kg.

Artinya, profil konsumsi bahan pokok Indonesia tak hanya beras maupun olahan gandum. Tapi ada olahan tepung terigu lainnya, seperti kue-kuan dan gorengan.

1. Jenis Raga Kue Olahan Tepung Beras

Konsumsi ragam kue olahan tepung beras marak dikonsumsi masyarakat di wilayah Jabodetabek. Berdasarkan hasil penelitian, mayoritas responden mengonsumsi kue-kue kurang dari 3 buah per hari yakni dengan persentase 80,56%, sementara itu 5,56% responden dengan rata-rata konsumsi 3-6 buah per hari, 5,56% dengan rata-rata konsumsi tidak rutin dan tidak menentu, 8,33% sisanya tidak mengonsumsi kue-kuean.

Diketahui, memang konsumsi kue-kuean ini dapat menganjal rasa lapar. Dengan intensitas kesibukan warga Jabodetabek, kue-kuean sengaja menjadi pilihan untuk komplementer beras. Dengan catatan, sebagai sarapan atau sebagai makanan saat tak sempat membeli nasi karena kue-kuean juga menjadi salah satu makanan yang mudah ditemui.

Kendati demikian, masih ada beberapa responden yang sama sekali tak mengonsumsi aneka kue. Sebab, saat ini aneka kue dinilai terlalu banyak kandungan gula meraka lebih memilih untuk memakan olahan gandum yang lebih sehat ketimbang kue yang kian lama bisa memunculkan penyakit baru.

2. Jenis Gorengan

Begitu pula untuk jenis gorengan. Sudah tak diragukan lagi, gorengan merupakan makanan lezat dan begitu mudah ditemui dimana-mana. Berdasarkan hasil penelitian, konsumsi gorengan masih cenderung tinggi, namun dibalik konsumsi yang tinggi mayoritas responden sudah sadar akan bahaya terhadap kesehatan.

Hal ini dibuktikan dengan rata-rata konsumsi gorengan kurang dari 3 buah per hari dengan persentase 68,06%, sementara 15,5% masih mengonsumsi 3 hingga 6 buah per hari, dan ada juga rata-rata konsumsinya lebih dari 10 buah sebesar 2,78%.

Gorengan mengandung kalori yang sangat tinggi sehingga memicu kenaikan gula darah. Jika pola makan tidak beraturan, sering mengonsumsi gorengan, maka kamu wajib hati-hati karena diabetes bisa saja menghampiri. Hal ini yang menjadikan alasan responden untuk tidak mengonsumsi gorengan atau mengonsumsi kurang dari 3 buah per hari.

Kebijakan diversifikasi pangan yang ditetapkan oleh pemerintah dimaksudkan untuk mengatasi tingginya konsumsi beras. Memang, Indonesia ini dikenal sebagai negara yang kaya akan sumber daya alam namun tetap saja, Indonesia tak lepas dari kerawanan pangan.

Merujuk laporan Departemen Pertanian AS (USDA), kerawanan pangan di Indonesia tergolong tinggi. Tahun 2021, kerawanan pangan di Indonesia dialami oleh 42,2 juta jiwa, sekitar 15,7 persen dari populasi. Di antara negara-negara Asia Tenggara, hampir setengah dari populasi rawan pangan berada di Indonesia.

Belakangan ini, gejolak harga pangan memenuhi pemberitaan media massa dan menjadi narasi di kalangan masyarakat.

Sejumlah faktor menjadi penyebab persoalan pangan tersebut. Mulai dari kelangkaan bahan pangan dan yang terjadi secara global, hingga beragam persoalan domestik. Kurangnya pasokan dalam negeri pun tak jarang menjadi alasan naiknya harga-harga hingga kelangkaan barang.

Apalagi, berdasarkan data Global Food Security Index (GFSI), ketahanan pangan Indonesia pada 2021 memang melemah dibanding tahun sebelumnya.

GFSI mencatat skor indeks ketahanan pangan Indonesia pada 2020 mencapai level 61,4. Namun, pada 2021 indeksnya turun menjadi 59,2.

Indeks tersebut menjadikan ketahanan pangan Indonesia tahun 2021 berada di peringkat ke-69 dari 113 negara.

Maka dari itu manarik bagi Tim Riset CNBC Indonesia mengulik sebenarnya pilihan pangan apa yang kepikiran oleh responden saat terjadi kelangkaan pangan.

Hasilnya, mayoritas responden dengan persentase 68,06% memilih untuk beralih mencari subtitusi beras ataupun gandum. Sementara, 23,61% responden lainnya memilih tetap membeli beras atau gandum meskipun dengan harga yang tinggi, dan 8,33% sisanya tetap mengusahakan keduanya.

Pilihan beralih mencari substitusi lain kian kencang terdengar. Berdasarkan hasil penelitian kentang merupakan jenis pangan yang paling banyak dipilih sebagai pengganti beras atau gandum dengan persentase 73,61%, sementara singkong menduduki peringkat kedua dengan persentase 59,72% responden, pilihan jagung dengan persentase 45,85%, Sagu dengan persentase 19,44%, dan porang 9,72%, serta ada pula yang memilih tetap kembali ke beras/gandum sebesar 16,67%.

Hasil penelitian ini memang menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat yang berdomisili di wilayah Jabodetabek masih tak bisa lepas dari beras. Beras dan budaya memakan nasi masih erat dengan budaya masyarakat Indonesia. Namun dengan alasan-alasan tertentu, masyarakat mulai memiliki pemahaman untuk mengonsumsi makanan selain beras dengan catatan hanya sebagai komplementer.

Jika terjadi kelangkaan beras atau kenaikan harga yang tak terkendali dari komoditas beras maupun gandum masyarakat sebagian masyarakat telah memiliki pilihan untuk mengatasi hal tersebut.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular