Intip Kengerian Stagflasi 1970-an, Bisa Terulang Tahun Ini?

Tim Redaksi, CNBC Indonesia, CNBC Indonesia
05 October 2022 07:05
Awas! Hantu Stagflasi Bergentayangan
Foto: Awas! Hantu Stagflasi Bergentayangan

Jakarta, CNBC Indonesia - Laju inflasi dunia yang meroket dan risiko perlambatan ekonomi membuat istilah 'hantu' stagflasi ramai dibicarakan.

Stagflasi adalah periode pelambatan atau stagnannya perekonomian disertai dengan inflasi yang tinggi. Ketika istilah ini muncul, publik akan kembali ingat akan sejarah stagflasi yang menghantam di era 1970-an.

Tidak sedikit yang khawatir, stagflasi di era tersebut akan terulang pada tahun ini.

Stagflasi ekonomi pada tahun 1970-an dipicu oleh disrupsi mendadak pada rantai pasokan. Harga material mentah tiba tiba naik yang berawal dari embargo minyak Arab Saudi dan negara-negara penghasil minyak lain.

Saat itu, Arab Saudi dan sejumlah negara mengembargo Amerika Serikat (AS) dan negara lain yang mendukung Israel dalam perang Yom Kippur pada 1973.

Akibatnya, ini memicu krisis minyak dan stagflasi di negara-negara Barat. Di AS sendiri, pasca kondisi tersebut tahun 1974-1982 inflasi dan tingkat pengangguran melampaui 5%. Ini kemudian merembet ke negara-negara lain yang berpotensi menimbulkan krisis ekonomi beruntun.

Pasalnya, banyak bank sentral perlu mengatasi stagflasi dengan menaikkan suku bunga hingga menyebabkan resesi.

Kondisi ini serupa dengan yang terjadi saat ini, disrupsi rantai pasok akibat perang, pengetatan kebijakan moneter yang agresif hingga ekonomi yang melemah.

Hal ini pula menyebabkan banyak ekonom memperkirakan ada kemungkinan risiko stagflasi ini akan terjadi kembali di tahun 2022 atau 2023 mendatang.

Bank Dunia juga sama, telah memperingkatkan adanya risiko ini. Stagflasi meningkat seiring dengan prospek perekonomian global di tengah tekanan inflasi yang terus meninggi.

Solusi Stagflasi

David Malpass, Presiden Bank Dunia, menyampaikan solusi untuk mengatasi stagflasi. Menurutnya, mengurangi risiko stagflasi membutuhkan langkah-langkah strategis. Di era krisis global yang tumpang tindih, katanya, pembuat kebijakan di seluruh dunia perlu memfokuskan upaya mereka di lima bidang utama.

"Pertama, mereka harus membatasi kerugian pada orang-orang yang terkena dampak perang di Ukraina," kata Malpass dalam blog IMF, dikutip Rabu (5/10/2022).

Ini akan membutuhkan koordinasi respon krisis, termasuk pengiriman makanan darurat, medis, dan bantuan keuangan ke daerah-daerah yang dilanda perang, dan berbagi beban perumahan, mendukung, dan mungkin merelokasi pengungsi dan pengungsi internal.



Kedua, pembuat kebijakan harus melawan lonjakan harga minyak dan pangan. Dia melihat langkah untuk meningkatkan pasokan komoditas pangan dan energi utama sangat penting.

Pasar akan selalu melihat perkembangan ke depan, sehingga dengan mengamankan pasokan di masa depan akan membantu mengurangi harga dan ekspektasi inflasi.
"Semua negara harus menopang jaring pengaman sosial dan menghindari pembatasan ekspor dan impor yang memperbesar kenaikan harga," tegasnya.



Ketiga adalah upaya pengurangan utang. Bank Dunia mencatat kerentanan utang sangat akut bagi negara-negara berpenghasilan rendah, bahkan sebelum pandemi kondisinya sudah meresahkan.

Malpass mengingatkan ketika tekanan utang menyebar ke negara-negara berpenghasilan menengah, ekonomi global akan tumbuh tanpa adanya bantuan yang cepat, komprehensif, dan cukup besar.



Keempat, aparat harus memperkuat kesiapsiagaan dan upaya kesehatan penanggulangan Covid-19. Memperluas upaya imunisasi di negara-negara berpenghasilan rendah, termasuk vaksinasi Covid-19, harus menjadi prioritas global yang tinggi.



Kelima, transisi ke sumber energi rendah karbon harus dipercepat. Mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil akan membutuhkan lebih banyak investasi dalam jaringan listrik, sumber energi yang lebih bersih, dan efisiensi energi yang lebih besar.

Namun, pembuat kebijakan di seluruh dunia harus membuat kerangka peraturan cerdas iklim, menyesuaikan struktur insentif, dan memperkuat peraturan penggunaan lahan.

Malpass juga menilai jika resesi global dapat dicegah, rasa sakit dari stagflasi dapat bertahan selama beberapa tahun dengan konsekuensi yang berpotensi mengganggu stabilitas bagi ekonomi berpenghasilan rendah dan menengah. Dia melanjutkan stagflasi bisa disembuhkan jika peningkatan pasokan besar tercapai.

Akan tetapi, peningkatan produksi dan perbaikan pasokan akan sangat sulit ketika dunia mengalami resesi dan perang tak juga usai.


(haa/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article 'Tsunami' Resesi di Depan Mata, Hantu Stagflasi Kian Nyata!

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular