Begini Gambaran Suramnya Ekonomi Eropa, Bakal Merembet ke RI?

Muhammad Maruf, CNBC Indonesia
30 September 2022 16:30
Ribuan Perusahaan di Eropa Terancam Gulung Tikar
Foto: CNBC Indonesia TV

Jakarta, CNBC Indonesia - Sentimen ekonomi di Uni Eropa (UE) makin suram, tecermin dari level kepercayaan konsumen dan perusahaan yang anjlok bulan ini, terutama akibat kekhawatiran inflasi.

Laporan bulanan Komisi Eropa menunjukkan indeksnya turun ke 93.7 pada September dari angka revisi 97.3 Agustus. Angka ini juga lebih rendah dari prediksi para ekonom yang dikumpulkan Reuters di angka 95.0.

Tingkat kepercayaan mereka terhadap semua sektor ekonomi turun, mulai dari manufaktur, jasa, perdagangan ritel, hingga konsumer. Namun, sentimen paling parah terekam dari pandangan para manajer yang memangkas ekspektasi terhadap produksi dan ekspor di masa yang akan datang.

Tingkat kepercayaan rumah tangga di benua biru juga turun ke minus 28.8 poin dari minus 25.0, dipicu oleh ekspektasi pemburukan situasi keuangan dalam beberapa bulan mendatang. Mereka sudah berencana memangkas pengeluaran.

S&P Global's flash Composite Purchasing Managers' Index (PMI), yang cukup bagus untuk merekam 'level kesehatan' ekonomi secara keseluruhan mendukung simpulan di atas. Angkanya turun ke 48.2 di September dari 48.9 di Agustus.

"Ini adalah penurunan ketiga berturut turut, yang mengindikasikan adanya kontraksi aktivitas bisnis pada kuartal ini. Ini mengonfirmasi pandangan bahwa (UE) sudah memasuki resesi," ujar Bert Colijn dari ING seperti dikutip Reuters (23/9/2022).

Pandangan suram warga benua biru itu tidak lepas dari pukulan telak atas lonjakan energi pascaagresi Rusia ke Ukraina. Harga gas patokan Eropa saat ini naik menjadi sekitar 208 euro per megawatt hour (MWh), sudah lebih rendah dari Agustus, tetapi melonjak lebih dari 200% dibandingkan bulan yang sama tahun lalu.

Aktivitas bisnis di Zona Eropa mulai meredup, makin samar di bulan ini menurut survei yang juga menunjukan tanda-tanda resesi bermunculan, seperti konsumen mulai membatasi pengeluaran, mobilitas warga turun akibat lonjakan biaya-biaya.

Pabrikan adalah pihak paling terpukul akibat lonjakan biaya energi setelah invasi Rusia ke Ukraina melecut harga gas, sementara mal-mal sepi karena orang memilih menghabiskan waktu di rumah untuk berhemat.

Pascaperang Rusia-Ukraina, Uni Eropa sekarang hanya mendapatkan 9% gas alam dari Rusia, dibandingkan dengan 40% tahun lalu. Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen beberapa waktu lalu mengatakan, 13 negara anggota UE sudah tidak lagi menerima gas dari Rusia.

Kebocoran dua pipa gas Rusia, Nord Stream 1 dan 2, yang membawa gas alam Rusia via bawah Laut Baltik dekat Swedia dan Denmark yang dilaporkan bocor kemungkinan tak banyak mengubah keadaan.

Satu satunya indikator besar yang positif di UE adalah tingkat pengangguran yang terus menurun, meski beberapa ekonom percaya tren itu akan segera berbalik.

Krisis biaya hidup di seluruh negara negara UE telah mendorong pemerintahnya memberikan paket stimulus pada individu dan pelaku bisnis terdampak, mirip seperti bantuan langsung tunai di Indonesia. Berdasarkan data kompilasi Reuters dan Bruegel, sejumlah pemerintah di EU sudah menyiapkan total 282 miliar euro, atau setara 2.3% dari total produk domestik bruto (PDB) negara yang memberikan bantuan.

Pemerintah Jerman merilis bantuan sebesar 65 miliar euro pada 4 September lalu, menambah total anggaran menjadi EUR 95 miliar yang dikeluarkan sejak Februari lalu. Prancis menyiapkan 67 miliar euro, termasukEUR24 miliar euro untuk membantu meringankan beban warga akibat kenaikan harga gas dan listrik, serta membiayai potongan harga pada bahan bakar minyak.

Di Italia, sudah disiapkan 52 miliar euro untuk kaum duafa, ini belum termasuk sekitar 10 miliar euro yang sedang direncanakan. Sementara Spanyol memobilisasi lebih dari 30 miliar euro, termasuk 16 miliar euro yang disalurkan secara langsung seperti BLT di Indonesia, dan dalam bentuk subsidi pinjaman. Ini belum termasuk 9 miliar euro untuk subsidi moda kereta api dan bus.

Belanda mengucurkan 6 miliar euro untuk masyarakat miskin, sementara Yunani menyiapkan lebih dari 10 miliar euro untuk membantu warga yang terdampak akibat sepinya kunjungan turis. Adapun Austria telah mengumumkan 6 miliar euro paket bantuan pada Juni lalu untuk kelompok yang terdampak akibat lonjakan harga energi.

Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) memprediksi ekonomi 19 negara ber mata uang euro akan tumbuh hanya 1,25% tahun ini, dengan risiko penurunan yang lebih dalam karena risiko musim dingin. Laju pertumbuhan diprediksi drop menjadi hanya 0,3% pada tahun 2023.

Empat institut ekonomi bergensi di Jerman memperkirakan perekonomian terbesar di Eropa itu hanya mampu melaju 1,4%, jauh lebih rendah dari estimasi sebelumnya 2,7%. Mereka bahkan memperkirakan ekonomi Jerman bakal kontraksi tahun depan, yakni minus 0.4% dari estimasi semula 3.1%, seperti dikutip dari Reuters (30/9/2022).

Jerman memang yang paling terpukul oleh biaya tinggi energi pasca invasi Rusia. Sementara Prancis, di posisi kedua setelah Jerman, tampak lebih baik dengan angka PMI yang lebih tinggi dari ekspektasi pasar, kendati beberapa data di manufaktur menunjukkan penurunan. Adapun, warga Inggris yang sudah keluar dari blok, tengah berjibaku sendiri menghadapi kenaikan biaya hidup, inflasi di hampir semua barang dan jasa, dan pelemahan poundsterling.

Ekspor Indonesia ke negara-negara Eropa dari Januari sampai Juli kemarin senilai US$ 12,1 miliar, atau hanya setara  7,7% dari total ekspor non migas nasional. Porsi itu masih jauh di bawah China (20,9%), AS (10,96%) dan Jepang (8,23).

Dampak resesi Eropa ada tapi kecil, berupa penurunan permintaan barang ekspor-ekspor, mengingat para warga di sana mulai mengurangi belanja. Untungnya, posisi Eropa relatif masih kecil kontribusinya pada kinerja ekspor yang merupakan mesin utama pertumbuhan ekonomi Indonesia.

DI sektor finansial, fenomena capital outflow masif di pasar Surat Berharga Negara sudah terjadi dan di prediksi akan terus berlanjut hingga akhir tahun. Saat ini kepemilikan asing tinggal tersisa 14% dibandingkan sebelum huru hara global ini di angka 38%.  

Menkeu Sri Mulyani Indrawati mengatakan capital outflow tidak dapat dihindari karena ini adalah tren di emerging market, tetapi dengan rendahnya kepemilikan asing justru membuat pasar keuangan Indonesia stabil dari goncangan.

TIM RISET CNBC INDONESIA 

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular