
Kondisi Inggris Mencekam, Akankah RI Bernasib Sama?

Jakarta, CNBC Indonesia - Krisis ekonomi yang melanda Inggris membuat harga komoditas melambung tinggi. Alhasil, warga negara juga harus berhemat dan bertahan karena sejumlah harga bahan pokok yang semakin mahal.
Di sisi lain, krisis di Inggris membuat beberapa wanita terpaksa menjadi pekerja seks. Kelaparan pun melanda anak-anak sekolah. Sejumlah anak kedapatan mengunyah karet karena lapar dan tidak mampu membeli makanan.
Kondisi miris ini juga dibagikan oleh Menko Maritim dan Investasi Luhut B. Pandjaitan. Dia mengaku bersyukur tidak menemukan fenomena antrean masyarakat untuk mendapatkan makanan seperti di Inggris.
"Kita sampai hari ini gak ada yang antre makan. Kalau kita lihat di London sekarang itu banyak market-market yang kosong, jadi kenapa? Mereka gak mau impor dari China. terus selama ini produksi dari China, mereka belum siap," ungkap Luhut.
"Jadi global issue harus kita waspadai dan kita bersyukur dan belum melihat tanda tanda ini," tegasnya.
Oleh karena itu, dia meminta semua pihak untuk kompak dan bersatu. Dia juga mengingatkan harga pangan harus menjadi sorotan.
"Harga pangan strategis masih perlu jadi perhatian pasca-penyesuaian harga BBM," kata Luhut dalam Pertemuan Presiden dengan Kementerian/ Lembaga, Kepala Daerah, BUMN, Pangdam, Kapolda, Kajati Seluruh Indonesia di Jakarta, dikutip Jumat (30/9/2022).
Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati melihat krisis ekonomi di Inggris sangat menentukan sentimen global terhadap seluruh negara, baik di G20 maupun emerging market.
"Kalau negara sebesar Inggris mengalami guncangan cukup besar, akan menimbulkan persepsi negatif," jelas Sri Mulyani saat ditemui di Gedung DPR, Kamis (29/9/2022).
Kendati demikian, Sri Mulyani mengungkapkan dampak krisis Inggris tidak akan merembet ke dalam perekonomian Indonesia.
"Ke Indonesia (dampaknya) secara langsung tidak, namun ini akan menambah sentimen yang tidak positif dari perekonomian global," ujarnya.
Lebih lanjut, dia membandingkan posisi ekonomi Indonesia dan Inggris. Dia mengungkapkanAnggaran Pendapatan dan Belanja (APBN) Indonesia saat ini telah berhasil menjadi shock absorber untuk menahan gejolak harga di tengah ketidakpastian global. Kondisi itu tidak seperti Inggris yang justru APBN-nya menimbulkan kejutan ekonomi atau shock producer.
Menurut Sri Mulyani, alokasi subsidi dan BBM tersebut merupakan nilai yang tak kecil dan terbukti APBN Indonesia cukup kuat untuk menahan gejolak perekonomian alias mampu menjadi peredam kejut atau shock absorber bagi perekonomian.
"Yang terjadi di Inggris, nilai tukar yang jatuh sampai 20% untuk poundsterling, itu adalah karena APBN-nya menjadi shock issuer atau shock producer," jelas Sri Mulyani.
Sementara itu, mengutip hitungan S&P Global Ratings, Inggris saat ini sudah masuk resesi setahun penuh. Dalam laporan yang diterbitkan Selasa kemarin (27/9/2022), S&P memprediksi bank sentral Inggris, (Bank of England/BoE) akan menaikkan tingkat suku bunga dari saat ini 2.25% menjadi 3.25% pada Februari 2023, sebagai upaya untuk memperbaiki situasi dan menurunkan tingkat inflasi ke level 2%.
Krisis Inggris bukan semata dipicu oleh kebijakan kontroversial Perdana Menteri (PM) Liz Truss yang menakuti pasar dengan paket stimulus ekonomi pemotongan pajak senilai US$48 miliar, tanpa pengurangan belanja negara.
Mayoritas ekonom sepakat bila persoalan Inggris lebih struktural, serius dan jauh lebih dalam dari sekadar yang tampak seperti inflasi tinggi dan poundsterling jeblok. Semuanya dipicu oleh tindakan PM Boris Johnson yang menarik keluar Inggris dari keanggotaan Uni Eropa pada 1 Januari 2020.
(haa/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Minta Naik Gaji! Warga Inggris Berencana Mogok Kerja Lagi