Dilema EBT, Ketahanan Energi & Ketersedian Listrik Murah

Robertus Andrianto, CNBC Indonesia
16 September 2022 16:35
Breaking: Naik 5%, Batu Bara Tertinggi Sepanjang Sejarah!
Foto: Infografis/Breaking: Naik 5%, Batu Bara Tertinggi Sepanjang Sejarah!/Aristya rahadian

Jawabannya adalah tidak, yang terbaik adalah adanya bauran energi antara energi fosil dan EBT dalam ukuran tertentu yang mencapai keseimbangan antara dampak lingkungan dengan ekonomi. Jangan sampai dengan tekat hanya mengurangi emisi malah mengorbankan banyak hal terkait ketahanan energi.

Peneliti menyarankan investasi lebih banyak di penelitian dan pengembangan lebih jauh dalam mencapai efisiensi dan ketahanan energi sekaligus. Artinya pemanfaatan EBT dan energi fosil bisa berjalan bersama.

Dengan catatan dalam penggunaan energi konvensional lebih optimal adanya investasi untuk pembangkit listrik ultra super critical (USC) dan teknologi efisiensi tinggi, rendah-emisi (HELE). Teknologi USC akan memiliki efek positif langsung pada alam dengan biaya yang jauh lebih rendah daripada memasang sistem energi terbarukan variabel skala jaringan dengan cadangan yang diperlukan.

Sebagai catatan, Indonesia memiliki target mencapai NZE pada 2060. Percepatan transisi energi di Indonesia membutuhkan investasi hingga US$ 1 triliun di tahun 2060 untuk pembangkit EBT dan transmisi.

Dalam roadmap NZE di 2060 atau lebih cepat yang disusun oleh Pemerintah, terdapat penambahan pembangkit EBT hingga 700 GW yang berasal dari solar, hidro, biomassa, angin, laut, panas bumi, serta hidrogen dan nuklir.

Cara lain adalah dengan menurunkan tingkat emisi karbon. PT Pertamina (Persero) serius menurunkan tingkat emisi karbon di dalam beberapa proyek minyak dan gas bumi (migas)-nya. Salah satu contohnya yakni dengan perusahaan yang akan menerapkan teknologi untuk menekan emisi karbon melalui Carbon Capture Storage (CCS)/Carbon Capture Utilization and Storage (CCUS).

Pertamina terus berupaya dalam menyeleksi lapangan-lapangan yang dapat digunakan sebagai tempat injeksi CO2. Keenam lahan potensial tersebut berada di lepas pantai Sumatera Utara dan cekungan Sumatera Tengah basin, Sumatera Selatan dan Jambi basin. Kemudian Sunda-Asri basin, Jawa Timur basin, Kutai-Barito basin, dan di Sulawesi Tengah basing.

Teknologi ini merupakan rangkaian pelaksanaan proses yang terkait satu sama lain, mulai dari pemisahan dan penangkapan (capture) CO2 dari sumber emisi gas buang (flue gas), pengangkutan CO2 tertangkap ke tempat penyimpanan (transportation), dan penyimpanan ke tempat yang aman (storage).Pemisahan dan penangkapan CO2 dilakukan dengan teknologi absorpsi yang sudah cukup lama dikenal oleh kalangan industri.

TIM RISET CNBC INDONESIA

(ras/ras)

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular