Dilema EBT, Ketahanan Energi & Ketersedian Listrik Murah

Robertus Andrianto, CNBC Indonesia
16 September 2022 16:35
Ilustrasi Bohlam Green Energy

Jakarta, CNBC Indonesia - Dunia berupaya mengkonversi energi fosil menjadi energi hijau untuk keberlangsungan bumi di masa depan dan menyelamatkan bumi dari perubahan iklim.

Negara-negara harus lebih serius menggarap proyek Energi Baru Terbarukan (EBT) karena biaya yang jauh lebih mahal dibanding energi fosil. Jika langkahnya tidak tepat bisa saja rencana green energy hanyalah wacana di atas kertas semata dan terbengkalai.

Badan Energi Internasional (IEA) dalam laporan Net Zero Emission 2050 menunjukkan peran EBT di masa depan akan lebih krusial dibanding saat in yang masih didominasi oleh energi fosil.

IEA menjabarkan tahap-tahap secara rinci dalam mencapai NZE 20205. Pada 2030 seluruh pembangunan EBT untuk mencapai energi bersih telah terbangun. Sebanyak 60% penjualan mobil di dunia adalah mobil listrik.

Teknologi industri berat juga mulai mulai menggunakan teknologi EBT. Negara ekonomi maju pun memasuki fase penghapusan bertahap batu bara. Di sisi lain energi surya dan angin menambahkan energi sebanyak 1.020 giga watt (GW).

Sepuluh tahun setelahnya atau 2040, sebanyak 50% energi ada bangunan adalah nol karbon dan 50% bahan bakar yang digunakan dalam penerbangan adalah energi rendah emisi. Pada tahun ini, lisytrik secara global telah mencapai NZE. Ini tak lepas dari pembangkit listrik tenaga batu bara dan minyak masuk ke fase non aktif.

Puncaknya pada 2050, lebih dari 85% bangunan yang ada sudah menggunakan energi rendah karbon dan hampir 70% pembangkit listrik dunia adalah berasal dari tenaga surya dan angin.

Bauran energi pada 2050 jauh lebih beragam daripada saat ini. Menurut catatan IEA pada 2020 minyak berkontribusi terhadap 30% total pasokan energi global. Sementara batu bara sebesar 26% dan gas 23%. Sementara sisanya merupakan energi lain seperti energi angin, surya, bio-energi, nuklir, air, dan lainnya.

Pada 2050 energi fosil akan digantikan oleh energi yang lebih bersih, dimana dua per tiga total energi global adalah EBT yang terdiri dari bioenergi, angin, matahari, pembangkit listrik tenaga air dan panas bumi. Ada juga peningkatan pasokan dari energi nuklir yang bertumbuh hampir dua kali lipat dari 2020.

Dari sisi konsumsi, penggunaan energi fosil tidak serta merta menjadi 0% pada 2050, kegunaannya masih ada sekitar 20%.

Penggunaan batubara turun dari 5.250 juta ton setara batubara (Mtce) pada tahun 2020 menjadi 2.500 Mtce pada tahun 2030 dan menjadi kurang dari 600 Mtce pada tahun 2050 dengan rata-rata penurunan 7% setiap tahun dari 2020 hingga 2050.

Permintaan minyak sebesar 90 juta barel per hari (mb/d) pada tahun 2020 turun menjadi 72 mb/d pada tahun 2030 dan 24 mb/d pada tahun 2050. Penurunan rata-rata tahunan lebih dari 4% dari tahun 2020 hingga 2050.

Penggunaan gas alam sebesar 3.900 miliar meter kubik (bcm) pada tahun 2020. Penggunaan gas alam menurun menjadi 3.700 bcm pada tahun 2030 dan 1.750 bcm pada tahun 2050. Penurunan rata-rata tahunan hanya di bawah 3% dari tahun 2020 hingga 2050.

Total Pasokan EnergiFoto: IEA
Total Pasokan Energi

Energi yang diciptakan baik dari fosil maupun EBT banyak digunakan untuk kelistrikan. Hal ini juga yang dirasakan oleh pengguna akhir seperti industri dan masyarakat.

Laporan oleh Dr. Lars Schernikau, Prof. William Hayden Smith, Prof. Rosemary Falcon yang dipublikasikan pada Agustus 2022 menunjukkan bahwa biaya pembangunan kapasitas EBT sebagai sumber biaya listrik sangat mahal. Jumlahnya berkali-kali lipat dibandingkan dengan energi fosil.

Sistem kelistrikan akan berfungsi optimal jika permintaan mampu dipenuhi dengan daya yang cukup. Pemenuhan ini yang menciptakan biaya, yakni sumber daya dan kebutuhan yang diperlukan untuk produksi.

Penghitungan biaya ini nantinya sangat penting untuk penetapan harga dan mengukur seberapa peran pemerintah dan stakeholder untuk melakukan transisi energi. Oleh karena itu, Dr. Lars Schernikau dan lainnya merinci biaya penuh untuk kelistrikan yang dibagi menjadi 10 komponen.

Pertama, biaya pembangunan pembangkit listrik atau peralatan yang dibutuhkan untuk membangun sumber energi. Biaya ini juga sering disebut biaya investasi.

Kedua, biaya bahan bakar seperti minyak, batu bara, gas, uranium, atau angin,. Biaya ini mencakup pemrosesan, peningkatan, dan pengangkutan bahan bakar.

Ketiga, biaya operasi dan pemerliharaan peralatan pembangkit listrik atau pemrosesan listrik.

Keempat, biaya transportasi untuk menyalurkan ke pengguna akhir seperti jaringan transmisi, stasiun pengisian daya, penyeimbangan beban, dan peralatan teknologi lainnya. Termasuk biaya keamanan teknologi seperti dari serangan siber.

Kelima, biaya penyimpanan yang harus mencakup biaya pembangunan dan pengoperasian misalnya pompa air, baterai, hidrogen, dll.

Keenam, biaya teknologi backup, biaya kelistrikan termasuk redundansi jika terjadi sesuatu pada pembangkit listrik atau peralatan. Semua sistem kelistrikan yang andal dirancang secara berlebihan, biasanya sebesar kuarng lebih 20% dari permintaan daya (puncak) tertinggi.

Ketujuh, biaya lingkungan termasuk biaya (bukan pajak atau subsidi yang sewenang[1]wenang) dari semua lingkungan emisi dan non-emisi, dampak mental dari teknologi pembangkit listrik di sepanjang rantai nilai.

Biaya lingkungan juga termasuk untuk kompensasi dampak Gas Rumah Kaca dalam siklus hidup dampak mental dari teknologi pembangkit listrik di sepanjang rantai nilai.

Kedelapan, biaya daur ulang, dekomisioning, atau rehabilitasi pembangkitan tenaga listrik dan secara terpisah sebagai bagian dari butir 6. di atas, peralatan cadangan setelah masa pakainya habis.

Kesembilan, biaya tanah footprint dan energy sprawl adalah kategori biaya baru yang relevan untuk EBT dengan kepadatan energi rendah seperti angin, matahari, atau biomassa. Karena densitas energi yang rendah per meter persegi angin, matahari, atau biomassa, mengambil lebih banyak ruang secara signifikan daripada pembangkit energi konvensional.

Sepuluh, ukuran lainnya seperti: Material Input Per Unit of Service (MIPS)untuk mengukur efisiensi bahan atau sumber daya peralatan energi bangunan dalam ton bahan baku per MW kapasitas dan per MWh listrik yang dihasilkan. MIPS untuk peralatan energi dengan demikian mengukur elemen penting dari dampak lingkungan.

Kemudian, ukuran untuk mengukur berapa lama p eralatan digunakan sebelum dihentikan atau diganti. Kita perlu mempertimbangkan bahwa "penguatan kembali" atau penggantian awal yang lebih baik dari angin dan matahari secara signifikan mengurangi masa pakai yang dirancang.

Terakhir eROI untuk mengukur efisiensi jenis energi dalam membangun, mengoperasikan, dan mendaur ulang peralatan.

Perhitungan biaya tersebut tidak memasukkan unsur pajak atau subsidi yang diatur oleh Pemerintah dan bukan merupakan sebuah harga. Nantinya para stakeholder, termasuk pemerintah melakukan intervensi untuk menentukan harga yang didistribusikan ke masyarakat untuk mencapai target NZE.

Lantas apakah EBT menjadi jenis energi termurah dari segi biaya dan efisiensi?

Hasilnya adalah biaya berdasarkan 10 ukuran di atas untuk EBT jauh lebih besar dibandingkan energi fosil. Input yang diperlukan dalam membentuk biaya kelistrikan dengan batu bara adalah 1.200 ton per Terrawatt (ton/TW).

Sementara untuk tenaga air membutuhkan 14.100 ton/TW, panel surya 16.400 to/TW, angin sebesar 10.300 ton/TW, dan panas bumi membutauhkan 5.300 material ton/TW untuk sumber kelistrikan.

Semakin besar jumlah material yang diperlukan untuk membangun sumber kelistrikan, akan berkorelasi positif terhadap biaya investasi. Oleh karena itu, juga perlu diperhatikan pengembalian energi (eROI).

eROI mengukur efisiensi energi bersih dari sistem pengumpulan energi. eROI yang lebih tinggi berarti biaya lingkungan dan ekonomi rendah sehingga dengan harga lebih rendah mampu menghasilkan utilitas lebih tinggi. Sebaliknya, eROI yang lebih rendah berarti biaya lingkungan dan ekonomi yang lebih tinggi, sehingga harga yang lebih tinggi dan utilitas yang lebih rendah.

Nah, ternyata energi yang berasal dari angin dan matahari memiliki eROI yang sangat rendah atau kurang efisien dalam sistem energi bersih. Sementara energi yang paling efisien adalah nuklir, kemudian diikuti oleh air dan batu bara serta gas alam.

Dr. Euan Mearns 2016 berdasarkan Kiefer's work menjelaskan eROI dan menunjukkan bahwa kehidupan modern membutuhkan eROI minimum 5-7 sementara sebagian besar instalasi tenaga surya dan angin bergantung pada lokasi memiliki eROI yang lebih rendah dan oleh karena itu pada dasarnya energi tidak cukup untuk mendukung masyarakat pada umumnya.

Besaran Input EnergiFoto: Dr. Lars Schernikau
Besaran Input Energi

Apakah lebih baik energi fosil?

Jawabannya adalah tidak, yang terbaik adalah adanya bauran energi antara energi fosil dan EBT dalam ukuran tertentu yang mencapai keseimbangan antara dampak lingkungan dengan ekonomi. Jangan sampai dengan tekat hanya mengurangi emisi malah mengorbankan banyak hal terkait ketahanan energi.

Peneliti menyarankan investasi lebih banyak di penelitian dan pengembangan lebih jauh dalam mencapai efisiensi dan ketahanan energi sekaligus. Artinya pemanfaatan EBT dan energi fosil bisa berjalan bersama.

Dengan catatan dalam penggunaan energi konvensional lebih optimal adanya investasi untuk pembangkit listrik ultra super critical (USC) dan teknologi efisiensi tinggi, rendah-emisi (HELE). Teknologi USC akan memiliki efek positif langsung pada alam dengan biaya yang jauh lebih rendah daripada memasang sistem energi terbarukan variabel skala jaringan dengan cadangan yang diperlukan.

Sebagai catatan, Indonesia memiliki target mencapai NZE pada 2060. Percepatan transisi energi di Indonesia membutuhkan investasi hingga US$ 1 triliun di tahun 2060 untuk pembangkit EBT dan transmisi.

Dalam roadmap NZE di 2060 atau lebih cepat yang disusun oleh Pemerintah, terdapat penambahan pembangkit EBT hingga 700 GW yang berasal dari solar, hidro, biomassa, angin, laut, panas bumi, serta hidrogen dan nuklir.

Cara lain adalah dengan menurunkan tingkat emisi karbon. PT Pertamina (Persero) serius menurunkan tingkat emisi karbon di dalam beberapa proyek minyak dan gas bumi (migas)-nya. Salah satu contohnya yakni dengan perusahaan yang akan menerapkan teknologi untuk menekan emisi karbon melalui Carbon Capture Storage (CCS)/Carbon Capture Utilization and Storage (CCUS).

Pertamina terus berupaya dalam menyeleksi lapangan-lapangan yang dapat digunakan sebagai tempat injeksi CO2. Keenam lahan potensial tersebut berada di lepas pantai Sumatera Utara dan cekungan Sumatera Tengah basin, Sumatera Selatan dan Jambi basin. Kemudian Sunda-Asri basin, Jawa Timur basin, Kutai-Barito basin, dan di Sulawesi Tengah basing.

Teknologi ini merupakan rangkaian pelaksanaan proses yang terkait satu sama lain, mulai dari pemisahan dan penangkapan (capture) CO2 dari sumber emisi gas buang (flue gas), pengangkutan CO2 tertangkap ke tempat penyimpanan (transportation), dan penyimpanan ke tempat yang aman (storage).Pemisahan dan penangkapan CO2 dilakukan dengan teknologi absorpsi yang sudah cukup lama dikenal oleh kalangan industri.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(ras/ras) Next Article Ini Alasan Batu Bara Sulit Ditinggalkan Secara Penuh

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular