Pengusaha Doyan Parkir Dolar di Luar Negeri, Lah Kenapa?

haa, CNBC Indonesia
Selasa, 13/09/2022 11:15 WIB
Foto: Ilustrasi dolar Amerika Serikat (AS). (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Terbatasnya pasokan valuta asing atau valas di dalam negeri ditenggarai akibat sejumlah eksportir enggan memarkir keuntungan hasil ekspornya di perbankan dalam negeri.

Seperti diketahui, likuiditas valas di dalam negeri tengah tertekan. Hal ini ditandai dengan pertumbuhan kredit valasnya lebih tinggi dibandingkan dana pihak ketiga valas. Mengutip data terakhir Otoritas Jasa Keuangan (OJK) April 2022, kredit valas tumbuh 16,82% dan DPK valasnya 5,8%.


Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bidang Energi & Sumber Daya Mineral, Sammy Hamzah mengungkapkan pelaku industri sektor tambang, tertama batu bara, melihat likuiditas valas dalam negeri masih mencukupi.

Hal ini dikarenakan hasil ekspor tambang yang melesat masih mampu menopang peningkatan kebutuhan investasi di sektor ini.

"Hasil ekspor batu bara mendatangkan valas yg cukup besar, kami melihat masih biasa saja di Industri," tegasnya, dalam Power Lunch, CNBC Indonesia Senin (12/09/2022).

Adapun soal tren pemberian kredit bank ke sektor pertambangan, dia memandang ketatnya kredit dari bank sudah lama terjadi. Kondisi ini sejalan dengan maraknya isu lingkungan.

"Pemain di Industri melihat semakin selektif, terutama batu bara. Kalau selektif sudah lama terutama isu net zero," paparnya.

Namun demikian, jika ke depannya likuditas menyusut, dia menilai hal tersebut pasti akan menjadi kekhawatiran bagi pengusaha. "Apakah (valas) akan tetap available jika dibutuhkan di kemudian hari?" ujarnya.

"Pemerintah harus menyiapkan instrumen-instrumen yang memberi kenyamanan bagi pengusaha dalam hal ini pengusaha batu bara, agar mereka bersedia secara leluasa dan ikhlas untuk menaruh dananya di luar negeri," tegas Sammy.

Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David E. Sumual menjelaskan bahwa kebutuhan valas berbeda-beda, tergantung sektornya.

Dalam sektor pertambangan, dia mengungkapkan ada macam-macam jenis tambang a.l. mineral logam, mineral nonlogam dan lain sebagainya.

Di antaranya, dia menuturkan ada jenis komoditas tambang yang dana ekspornya bagus sehingga likuiditasnya kuat.

"Tapi ada juga beberapa jenis tambang karena mungkin pendanaannya mungkin banyak dari bank di luar, itu mengakibatkan dana ekspornya, mungkin tidak seluruhnya masuk ke dalam negeri," kata David dalam kesempatan yang sama.

Salah satu pemicunya, menurut David, adalah spread atau gap suku bunga valas yang cukup besar antara perbankan dalam dan luar negeri.

"Kenapa deposit di dalam negeri relatif rendah ya memang karena ada aturan penjaminan dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang mensyaratkan jaminan tertentu untuk nilai tertentu ada batasan dari LPS," ujarnya.

Faktor lainnya adalah ketidaktersediaan instrumen yang sesuai untuk penempatan valas.

"Kalau kita lihat dari instrumen lain dari tenor instrumen swap di dalam negeri, kebanyakan tenornya pendek. Yang mungkin perlu instrumen-instrumen yang lebih panjang yang bisa sewaktu-waktu direpricing sesuai kondisi pasar," katanya.

Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) akan menerapkan kembali sanksi terkait dengan kewajiban menyimpan Devisa Hasil Ekspor (DHE) di rekening khusus dalam negeri, sebagaimana dimuat dalam PBI No. 21/14/PBI/2019 tentang Devisa Hasil Ekspor dan Devisa Pembayaran Impor (PBI DHE dan DPI).

Pada Juli lalu, BI memutuskan untuk memperpanjang batas waktu pengajuan pembebasan Sanksi Penangguhan Ekspor (SPE) hingga akhir Desember 2022.

Dirjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Askolani membenarkan aturan sanksi DHE akan ditinjau untuk kembali.

"Hal tersebut masih dikoordinasikan dengan Kemenko Perekonomian, BI, dan DJBC untuk melakukan penyesuaian ke depan," ujarnya ketika dihubungi, Jumat (9/9/2022).


(haa/haa)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Batubara Sebagai Tulang Punggung Ketahanan Energi Nasional