Menimbang Untung & Rugi Tahan Dolar Eksportir di Tanah Air

Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia sudah meninggalkan aturan kontrol devisa sejak tahun 1960-an. Kebijakan kontrol devisa ditinggalkan oleh pemerintah sejalan dengan kebijakan Indonesia membuka diri kembali terhadap modal asing.
Namun, wacana mengembalikan kontrol devisa ini mencuat ke permukaan belakangan ini. Seperti diketahui, sejak pertengahan 2022, Indonesia mengalami pengetatan likuiditas dolar AS.
Kekeringan dolar AS di Tanah Air ini tidak mencerminkan kondisi perekonomian Indonesia. Padahal, surplus neraca perdagangan akibat durian runtuh atau windfall profit dari harga komoditas tercatat muncul beruntun selama 31 bulan.
Situasi yang sebenarnya bisa dihindari jika dolar milik eksportir disimpan dan dikonversikan ke dalam mata uang rupiah.
Alih-alih menyimpan dan menukarkan dolar di dalam negeri, eksportir lebih memilih menyimpan dolarnya yang seharusnya terhitung sebagai devisa hasil ekspor (DHE) di luar negeri, salah satunya di Negeri Jiran, Singapura.
Alhasil, cadangan devisa stagnan di kisaran US$ 130 - US$ 140 miliar. Bank Indonesia (BI) pun turun tangan.
Pada Desember ini, BI meluncurkan instrumen operasi moneter valuta asing (valas) baru. Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan instrumen tersebut akan memberikan imbal hasil deposito valas yang kompetitif berdasarkan mekanisme pasar.
"Bank bisa pass-on simpanan DHE dari para eksportir. Jadi eksportir menyimpan dana ke perbankan, terus perbankan bisa pass-on ke BI dengan mekanisme pasar dan suku bunga atau imbal hasil yang menarik," ungkap Perry.
Dia mencontohkan jika rata-rata bunga deposit valas negara lain ada di angka 3,70% maka BI akan menawarkan bunga kepada perbankan di kisaran 3,75-4,0% melalui lelang.
"Bank akan tetap mendapatkan spread. Tergantung kondisi akan bergerak dari waktu ke waktu karena mekanisme pasar sesuai perkembangan yang ada dengan suku bunga dan daya tarik eksportir untuk ini," kata Perry.
Dengan skema ini, BI artinya akan memberikan subsidi terhadap suku bunga pinjaman valas perbankan. Sayangnya, skema ini dinilai tidak efektif.
konom INDEF Agus Herta menilai instrumen ini dapat menjadi salah satu faktor daya tarik yang sangat baik. Namun jika tidak dibarengi dengan perbaikan, dia khawatir ini tidak membuahkan hasil yang efektif.
"Kebijakan untuk mendorong transaksi ekspor di dalam negeri harus komprehensif, tidak boleh hanya mengandalkan sektor moneter atau fiskal saja," katanya kepada CNBC Indonesia, dikutip Kamis (5/1/2022).
Dalam hal ini, dia mengemukakan bahwa pemerintah sangat mungkin melakukan kontrol devisa karena hal ini adalah praktik yang pernah dilakukan sebelumnya. BI sudah pernah membuat peraturan yang mewajibkan seluruh transaksi perdagangan yang dilakukan di Indonesia harus menggunakan mata uang rupiah.
"Sangat mungkin dan sangat bisa. Sudah saatnya Indonesia menghentikan menganut rezim devisa bebas. Atau paling tidak mengurangi sistem rezim devisa bebas," ujarnya.
Untung & Rugi
Direktur CELIOS Bhima Yudhistira menuturkan bahwa devisa bebas yang dianut Indonesia memiliki kelemahan dan sisi negatifnya lebih banyak dari sisi positif.
"Konteksnya saat ini ketika ada booming harga komoditas, surplus perdagangan berlanjut tapi rupiah kecenderungan melemah. Artinya, devisa hasil ekspornya karena terlalu bebas akhirnya menetap di bank luar negeri," kata Bhima.
Dampak negatifnya, lanjutnya, adalah persaingan bunga deposito valas yang tidak sehat antar negara.
"Ketika bank di Singapura bunga valasnya tinggi, maka DHE dengan mudah menetap lama di luar negeri. Praktik ini kalau dibiarkan akan gerus neraca pembayaran," tegasnya.
Bhima pun menilai Indonesia bisa belajar dari Thailand. Saat krisis 1998, Thailand mengatasi persoalan guncangan moneter dengan rezim devisa terkendali.
"Kalau kita tidak belajar dari sejarah, maka ancaman resesi global bisa tekan rupiah sangat dalam. Reformasi rezim devisa memang mendesak dilakukan," tegasnya.
Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk. David Sumual menuturkan tingkatan ketatnya kontrol devisa di berbagai negara berbeda-beda tergantung kebijakan di masing-masing negara. Indonesia, menurutnya, relatif di tengah-tengah.
"Kalau kita mau melakukan ekspor dan impor itu kan harus ada underlying," ungkap David kepada CNBC Indonesia.
Jika ke depannya pemerintah memperkat kontrol devisa, David menilai risikonya investor bisa kabur. Pasalnya, investor akan takut jika terjadi pengambilalihan. Menurutnya, investor bursa yang akan banyak terpengaruh. Mereka akan takut jika dividen dibagikan, repatriasinya seperti apa.
"Kalau soal pengendalian, kita sudah mengendalikan. Masalahnya sedalam apa pengendaliannya," ujar David.
[Gambas:Video CNBC]
Pengusaha Doyan Parkir Dolar di Luar Negeri, Lah Kenapa?
(haa/haa)