Ekonomi RI Diramal Kalahkan China di 2023

Jakarta, CNBC Indonesia - Di tengah kondisi dunia yang penuh ketidakpastian, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2023 digadang-gadang akan menyalip China. Posisi Indonesia saat ini diperkirakan tetap kuat sejalan dengan pertumbuhan ekspor dan konsumsi yang bakal menjadi penopang ekonomi ke depannya.
S&P Global Ratings memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan tetap tinggi di kisaran 5% pada tahun depan.
Ekonom Asia-Pasifik S&P Global Ratings Vishrut Rana mengungkapkan ekspor dan konsumsi menjadi motor utama dalam menopang pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Namun dengan kondisi eksternal yang penuh ketidakpastian, dia melihat ada risiko perlambatan dalam ekspor dan konsumsi.
"Prospek ekonomi adalah untuk berkelanjutan pemulihan, tetapi beberapa risiko telah meningkat dari inflasi dan lingkungan eksternal yang lebih lemah," papar Rana, Kamis (8/9/2022).
Menurutnya, konsumsi berpotensi turun seiring dengan risiko inflasi yang meningkat. Dia meyakini inflasi inti akan terus meningkat ke depannya.
Sejalan dengan inflasi yang tinggi, Bank Indonesia (BI) dipastikan akan menaikkan suku bunganya. Namun, Rana memperkirakan BI tidak akan terlalu agresif dalam menyesuaikan suku bunga kebijakan.
Lantas, bagaimana dengan China?
Dana Moneter Internasional (IMF) telah memangkas proyeksi pertumbuhan China tahun ini dan tahun depan sebesar 1,1 persentase poin dan 0,5 persentase poin. Alhasil, China diperkirakan tumbuh 3,3% pada 2022 dan 4,6% pada 2023.
Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual mengungkapkan China memang tengah mengalami perlambatan dibandingkan dengan akhir tahun lalu.
"Itu mengapa Bank Sentralnya baru menurunkan suku bunga lagi, dua kali, di tengah banyak yang menaikkan dia malah nurunin suku bunga," papar David kepada CNBC Indonesia, Kamis malam (8/9/2022).
David mengingatkan bahwa kondisi China tersebut dapat berpotensi menekan surplus perdagangan Indonesia. Pasalnya, dia melihat permintaan batu bara dari Negeri Panda ini akan menyusut.
"Batu bara kita lihat volume impornya China itu turun jadi otomatis pembelian batu bara dari kita turun," tegasnya.
Kendati demikian, David mengungkapkan permintaan batu bara dari Eropa justru meningkat mengingat kebutuhan besar jelang musim dingin.
Lebih lanjut, ekspor nikel Indonesia juga berpotensi melambat karena faktor lesunya sektor properti di China akibat efek kasus Evergrande yang menimbulkan gagal bayar.
David menerangkan bahwa nikel yang diekspor Indonesia ke China itu paling banyak digunakan untuk membuat baja yang diperuntukkan untuk properti.
"Jadi properti mereka representasi sekitar 25% ekonomi mereka. Tapi sektor propertinya penjualan rumah baru dan penjualan rumah bekas itu turun terus, jadi memang sektor properti lagi kena masalah," ujarnya.
Data ekonomi terkait menunjukkan perdagangan China melemah pada Agustus karena harga energi yang tinggi, inflasi dan langkah-langkah anti-virus membebani permintaan konsumen global. Dikutip dari SFGate, ekspor China naik 7% dari tahun lalu menjadi US$ 314,9 miliar. Angka ini melambat dari ekspansi Juli sebesar 18%.
Lebih lanjut, data bea cukai China menunjukkan Impor turun 0,2% menjadi US$235,5 miliar, dibandingkan dengan pertumbuhan 2,3% bulan sebelumnya yang sudah lemah.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan bahwa ekonomi Indonesia bisa tumbuh sekitar 5,3% pada 2023. Pertumbuhan ini ditopang oleh konsumsi dan investasi, serta perbaikan di kinerja manufaktur.
Kendati demikian, dia melihat potensi revisi ke bawah dari pertumbuhan ekonomi Indonesia. Hal ini disebabkan oleh sikap hawkish dari bank-bank sentral di negara maju yang diperkirakan akan menaikkan suku bunga pada 2023.
Tingginya suku bunga global dibarengi dengan melambatnya ekonomi negara maju akan menghantam ekspor Indonesia.
"Kalau kita lihat 2023 akan ada tendensi revisi ke bawah terhadap proyeksi ekonomi," ujarnya. Lebih lanjut, konsumsi dalam negeri juga berpotensi melemah dengan kenaikan harga komoditas.
Meskipun demikian, David Sumual menilai booming komoditas masih akan berlanjut karena permintaan batu bara masih cukup kencang dan hal ini tentunya akan menguntungkan bagi Indonesia.
Hal ini diperkuat oleh permintaan batu bara dari Eropa yang diperkirakan masih kuat ke depannya dan langkah OPEC menurunkan quota produksi minyak.
"Jadi OPEC gak mau harga terlalu rendah atau terlalu tinggi. Kalau terlalu tinggi ekonominya melambat," ungkapnya. Dengan demikian harga minyak diyakini tetap tinggi di kisaran US$ 90 per barel.
Kondisi ini pun dibarengi dengan pergerseran di dunia. Beberapa negara penjual komoditas kini tak lagi mematok pembayaran dalam dolar AS. Arab Saudi kini mau menerima pembayaran dengan yuan dan rubel.
"Jadi sebenarnya pengaruh dari pengetatan moneter AS ini bisa saja enggak sesignifikan dulu untuk harga minyaknya turun dalam," katanya.
[Gambas:Video CNBC]
'Kegelapan' China Menjadi-jadi, Akankah RI Terseret?
(haa/haa)