Hati-hati! 'Penyakit Ekonomi' China Bisa Tulari RI

Arrijal Rachman & Cantika Adinda Putri, CNBC Indonesia
08 June 2023 09:30
Pertemuan Bilateral Republik Indonesia dengan RRT, Bali, 16 November 2022. (Tangkapan Layar Youtube Sekretariat Presiden)
Foto: Pertemuan Bilateral Republik Indonesia dengan RRT, Bali, 16 November 2022. (Tangkapan Layar Youtube Sekretariat Presiden)

Jakarta, CNBC Indonesia - Kabar tidak sedap datang dari China. Kinerja perdagangan raksasa global tersebut yang tercatat melorot sepanjang Mei 2023.

Berdasarkan dana bea dan cukai China yang dirilis Rabu (7/6/2023), ekspor Negeri tirai bambu turun 7,5% secara tahunan sepanjang Mei. Senada dengan ekspor, realisasi impor juga turun 4,5% secara tahunan.

Hasil tersebut membuahkan tanda tanya besar terkait pemulihan ekonomi negara tersebut yang belum lama ini mencabut kontrol ketat terkait Covid-19. Pasalnya, lemahnya kinerja perdagangan juga menggambarkan permintaan global yang melemah di tengah tekanan suku bunga yang masih tinggi.

Adapun, ekspor China turun menjadi US$ 283,5 miliar, berbalik dari pertumbuhan kuat 8,5% yang tak terduga pada April. Impor turun menjadi US$ 217,7 miliar, cenderung moderat dari kontraksi 7,9%pada bulan sebelumnya.

Sementara itu, surplus perdagangan global China menyempit sebesar 16,1% menjadi US$ 65,8 miliar pada Mei.

Pelemahan perdagangan menambah tekanan ke bawah pada ekonomi terbesar kedua di dunia itu menyusul aktivitas pabrik dan konsumen yang lesu serta lonjakan pengangguran di kalangan kaum muda.

Sebelumnya, Biro Statistik Nasional (NBS) China melaporkan Indeks manajer pembelian manufaktur (PMI) turun ke level terendah lima bulan di 48,8 tercatat turun dari 49,2 pada April. Angka PMI ini juga mematahkan perkiraan kenaikan menjadi 49,4.

Data PMI kerap digunakan untuk memahami ke mana arah ekonomi dan pasar serta mengungkap peluang ke depan. Ekonomi Asia sangat bergantung pada kekuatan ekonomi China, yang sedang terhuyung-huyung karena pemulihan pasca-Covid kehilangan momentum saat ini.

Kondisi ini jelas merupakan lampu kuning bagi Indonesia. Mengapa demikian?

China ada salah satu mitra dagang dan investasi utama Indonesia. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pernah mengungkapkan, kontraksi 1% ekonomi China dapat menyebabkan penurunan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 0,3% hingga 0,6%.

Ekonom senior BCA Barra Kukuh Mamia menjelaskan, dibukanya aktivitas ekonomi di China pasca lockdown pandemi Covid-19, membuat China masih berjibaku untuk memulihkan ekonominya.

Produksi industri di China hanya tumbuh 5,6% (yoy), investasi aset tetap 4,7% dan penjualan ritel tumbuh 18,4%. Penjualan ritel memang menunjukkan pertumbuhan yang signifikan. Namun itu hanya dampak dari based effect setelah China memberlakukan lockdown.

"Ini efek dasar yang rendah dari lockdown Shanghai tahun lalu, dan sebenarnya menunjukkan penurunan tajam secara bulanan atau kontraksi 7,8%," jelas Barra dalam laporannya China's warehouses are full, and it is spilling over to the global economy, dikutip Kamis (8/6/2023).

Perekonomian China 25% berasal dari permintaan domestik, sementara sisanya atau 75% berasal dari ekspor, terutama ekspor manufaktur. Adapun, sektor manufaktur di China saat ini tengah mengalami kontraksi. Tak pelak hal ini dapat mempengaruhi ekonomi China yang menjadi penopang banyak negara berkembang, termasuk Indonesia.

Penurunan ekspor yang tengah dihadapi Indonesia dapat menekan kinerja neraca eksternal. Alhasil, motor pertumbuhan RI, yakni ekspor akan tertekan.

Sri Mulyani juga mengingatkan akan kondisi China. China, menurutnya, berencana mendorong pertumbuhan ekonominya dengan memperkenalkan kebijakan baru, terutama sektor properti.

"Ini kita berharap kalau berhasil dapat memberikan dampak pada pertumbuhan RRT, dunia dan tentu pada permintaan komoditas kita, ekspor dan impor kita yang cenderung terkoreksi ke bawah," kata Sri Mulyani.


(haa/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ada Apa Xi Jinping? China Tak Baik-Baik Saja, Ini Buktinya

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular